Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Gorr the God Butcher dan Batasan dari Teknologi
11 Juli 2022 15:42 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rizky Ridho Pratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peringatan: artikel ini mengandung beberapa spoiler
Biasanya, ketika menonton film superhero, saya akan fokus ke perkembangan karakter utamanya dan ceritanya seperti apa. Itu termasuk film Thor 4: Love and Thunder. Karakter Thor memang sangat menarik dan merupakan favorit saya.
ADVERTISEMENT
Thor adalah karakter yang memunculkan sisi manusiawi yang dirasakan setiap manusia selama mereka hidup. Dari yang awalnya seorang pangeran, kemudian menjadi raja, dan akhirnya menjadi seorang petualang yang narsis.
Akan tetapi, di film Thor yang terbaru, ada satu karakter yang menjadi perhatian tersendiri bagi saya. Karakter itu adalah Gorr the God Butcher.
Gorr awalnya hanya manusia biasa. Dia seorang penganut suatu agama yang taat. Dikisahkan, dia memiliki seorang anak perempuan yang sedang sakit. Dia pergi meminta pertolongan pada dewa.
Mereka berdua menempuh perjalanan melewati ganasnya padang pasir, Mereka menahan rasa lapar dan haus yang luar biasa.
Naasnya, sebelum sampai ke tujuan, takdir tidak mengizinkan anaknya bertemu penolongnya. Anak perempuannya meninggalkan Gorr lebih dulu, yang membuat hatinya hancur. Namun, dia masih belum putus harapan, karena dia yakin dewanya akan membantunya.
ADVERTISEMENT
Namun, dia tak kunjung menemukan apa yang dicari. Dia hampir menyerah. Sebelum Gorr kehilangan semangatnya, dia mendengar sebuah suara memanggilnya. Dia mengikuti suara tersebut dan tiba di suatu oasis yang entah bagaimana bisa muncul di tengah padang pasir.
Sesampainya di hutan tersebut, dia melihat banyak makanan. Karena dia kelaparan, dia segera melahapnya sampai puas. Namun, saat dia makan, di hadapannya berdirilah dewa yang dia puja selama dia hidup, Dewa Rapu.
Gorr langsung menyapanya dengan penuh rasa hormat, dan dia langsung meminta pertolongan kepada Dewa Rapu. Akan tetapi, apa respon yang dia dapatkan? Dia hanya mendapatkan cemooh dan tertawaan dari Dewa Rapu. Dewa Rapu memandang Gorr rendah dan penuh hina.
Sikapnya itu membuat Gorr sakit hati. Dia sangat kecewa terhadap dewanya dan tidak ingin menyembahnya lagi. Mengetahui hal itu, Dewa Rapu marah dan ingin membunuhnya.
ADVERTISEMENT
Sesaat sebelum Gorr dibunuh, ada suara lagi yang memanggilnya. Dan dia baru sadar bahwa suara yang memanggilnya sebelum itu bukanlah Dewa Rapu, melainkan sebuah pedang hitam nan legam, Necrosword. Pedang itu yang menuntunnya ke oasis.
Necrosword sebagai Simbol Teknologi
Setelah memiliki Necrosword, Gorr mendapatkan kekuatan yang setara dengan dewa. Dia tidak lagi mengharapkan apapun terhadap dewanya. Baginya, dewa yang dia sembah tidak lagi signifikan bagi kehidupannya.
Akhirnya, dia membunuh dewanya dan seberjalanannya cerita, dia membunuh dewa lainnya. Dia berjanji untuk membunuh semua dewa.
Jika bicara simbolik, Necrosword bisa dikatakan representasi dari teknologi. Dia menjadi solusi masalah bagi penggunanya, Yuval Noah Harari, dalam bukunya Homo Deus, mengatakan bahwa mungkin akan ada agama baru. Kita bisa menyebutnya Dataisme.
ADVERTISEMENT
Dataisme sendiri berakar dari perkembangan teknologi mutakhir. Kita telah lihat sendiri bagaimana teknologi membuat kitab isa melakukan banyak hal. Masih ada teknologi yang lebih canggih yang sedang dalam tahap pengembangan, seperti kecerdasan buatan, nanoteknologi, teknologi kuantum,dan bioteknologi.
Bayangkan, dengan CRISPR-Cas9, kita bisa menyembuhkan penyakit yang sulit disembuhkan. Kecerdasan buatan membuat kita bisa mengembangkan self-driving car. Meskipun semua teknologi tersebut masih dalam perkembangan, ketika teknologinya tersebar di masyarakat, dampak jangka panjangnya adalah manusia bisa jadi akan memandang teknologi sebagai tujuan, bukan cara.
Gorr menjelma menjadi seseorang yang percaya bahwa teknologi bisa menyelesaikan banyak hal. Necrosword adalah solusi yang dia impikan. Solusi yang membuat dia bisa menyelesaikan tantangan apapun. Teknologi yang membuat Gorr menjadi jauh lebih kuat dari manusia biasa, meskipun dampaknya adalah mengubah kepribadian dan mendapatkan kutukan dari Necrosword.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan kekuatan yang dimiliki, apakah Gorr bisa menggapai apa yang dia inginkan?
Batasan
Meskipun Gorr telah menjadi sangat kuat dan mampu menandingi Thor, Gorr sadar bahwa ada beberapa hal yang mustahil dia lakukan.
Ini mungkin saya melihatnya sebagai ironi. Mengapa? Dengan kekuatan yang dia miliki, Gorr bisa saja menjatuhkan banyak dewa dan mungkin saja menguasai banyak dunia. Akan tetapi, dia tidak mampu mewujudkan keinginannya yang terdalam. Dan dia sadar akan hal itu. Selain itu, hidup dia juga tidak lama lagi.
Oleh karena itu, dia mencari satu entitas yang dia yakini dapat mengabulkan keinginannya. Untuk mencapai entitas tersebut, Gorr sadar bahwa Necrosword bisa digunakan untuk mencapai tujuannya.
Namun, Necrosword saja tidak cukup. Dia perlu menggunakan teknologi lainnya, yaitu Stormbreaker, untuk mencapai entitas tersebut. Apakah dia berhasil memenuhi keinginan terdalamnya? Anda harus menonton film tersebut.
ADVERTISEMENT
Karakter Gorr memberikan perspektif penting bahwa sekuat-kuatnya seseorang, kita masih merupakan makhluk yang rapuh. Secanggih-canggihnya teknologi, ada batas tertentu terkait apa yang bisa dilakukan. Teknologi memang menyediakan solusi cepat dan mungkin juga akurat, yang mungkin membuat kita merasa bisa melakukan apapun.
Namun, ada hal-hal yang tidak bisa kita gapai hanya dengan kekuatan kita. Karena ada batas itulah, kita mencari perlindungan dari entitas yang lebih kuat dan lebih tinggi. Itulah yang Gorr the God Butcher lakukan: mencari entitas tertinggi untuk mengabulkan permintaannya, dengan menggunakan teknologi yang dia miliki.