Konten dari Pengguna

Pilkada 2024: Melampaui Dogmatisme dan Esensi Otonomi Daerah Seharusnya

Robbi Herfandi
Robbi Herfandi, Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Andalas
13 Juli 2024 23:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 1 September 2024 8:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Robbi Herfandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Istockphoto Kotak Suara (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Istockphoto Kotak Suara (Pixabay)
ADVERTISEMENT
Drama PEMILU surut, sekarang Drama PILKADA akan pasang , Pada Rabu, 27 November 2024 Pemilihan Kepala Daerah atau yang sering kita kenal dengan (PILKADA) hampir menampakan diri nya, Pemilihan Kepala daerah yang dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia benar-benar menjadi ajang pemilih untuk memikirkan kepada siapa amanah ini akan diberikan, dan ajang yang dipilih Seharusnya bersiap-siap mengeluarkan gagasan, ide, dan sistem berpikir nya yang akan cermati oleh pemilih.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki banyak permasalahan sosial yang harus diselesaikan, Masalah sosial menurut Lesli adalah suatu kondisi atau situasi yang berpengaruh. Masalah sosial tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan sebagian besar suatu masyarakat. Masalah sosial adalah situasi yang tidak disukai, bahkan tidak diinginkan. Oleh karena itu, masalah sosial perlu diatasi dan diperbaiki.
Berbagai macam masalah sosial yang ada di Indonesia yang perlu diselesaikan oleh pemimpin terpilih nantiknya seperti
Ketimpangan Sosial, Pendidikan, Lingkungan, Kesehatan. Namun, tantangan untuk melahirkan pemimpin tercerahkan itu juga menjadi kerumitan seperti.
Demokrasi Kultus
Masalah Indonesia kian menarik untuk dibahas untuk PILKADA nantik nya, karena melihat masalah yang sangat rumit itu harus ditangani oleh pemimpin yang berkompeten bukan hanya mengandalkan Retorika semata, tapi, pemilih mampu melihat logika dan sistem berpikir dari masing-masing kandidat, memang benar tantangan untuk PILKADA nantik nya adalah Demokrasi kultus, Demokrasi Kultus adalah suatu hal yang dogmatis mengagungkan seseorang tanpa kritis. Yang potensial membuat pemimpin sosiopat dan miskin gagasan dapat terpilih, dengan modal ekstrovert tapi tong kosong nyaring bunyinya. terkadang masyarakat mengalami kemiskinan realitas untuk memahami ruang kosong yang tak mampu mereka jamah karena ada Dogmatisme. Dogmatisme dapat dipandang sebagai keyakinan tanpa tanda tanya pada suatu rumusan kerangka konseptual. Rumusan tersebut bisa dalam bentuk suruhan moral tanpa bantahan, atau penjelasan atas sesuatu yang tak boleh lagi dipertanyakan. Segala hal di alam semesta baik itu gagasan, koherensi berpikir ini selalu bisa untuk dipertanyakan. Namun, dogmatisme melarang segala bentuk yang ditanyakan dan pertanyaan.
ADVERTISEMENT
Otonomi Daerah
Dalam hal ini pemimpin benar-benar harus memikirkan gagasan yang akan dirancang untuk "5 Periode" nantik nya dengan artian gagasan itu tidak sekedar hidup pada waktu ia menjabat melainkan dapat dikenang dan dirasakan, karena permasalahan sosial tidaklah bisa diselesaikan tanpa ada komitmen yang tegas dan pengetahuan yang mapan musti harus memahami betul dengan memutar logika, kenapa otonomi daerah di adakan.
Otonomi Daerah adalah suatu kebijakan yang dihadirkan dalam bentuk pembagian daerah sehingga memberikan wewenang kepada kepala daerah untuk mengatasi permasalah yang berbeda-beda di tiap daerah.
Asisten Deputi Bidang Politik Dalam Negeri Sekretariat Kabinet RI Page 2 UU Nomor 23 Tahun 2014 mengatur, Urusan pemerintahan konkuren diterangkan di pasal 9 ayat (4) adalah pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan provinsi serta kabupaten/kota, untuk tujuan kesejahteraan masyarakat di setiap daerah Pada fakta nya otonomi daerah hanya sebagai formalitas lingkungan administratif yang jauh dari demokrasi. Melihat masyarakat di tingkat lokal dalam pembangunan daerah. Namun dalam kenyataannya, paradigma demokrasi yang welfare State tersebut tidak ada bukti kongkrit nya karena ketimpangan semakin menjulang tinggi. Dan bahkan Praktik yang terjadi di lapangan otonomi daerah justru melahirkan rezim oligarkis berbasis Pelobi Aristokratik, Nepotisme, Politik Klientelisme, perjuangan Neo-Primordialisme, serta kolusi dan korupsi yang kian terdesentralisasi merata di daerah. Hal itu potensial terjadi karena adanya kontestasi kepentingan terselubung antara elit pusat dan daerah sehingga tujuan otonomi daerah untuk mensejahterakan masyarakat semakin jauh dari harapan, namun pertanyaannya nya adalah apakah Pemilu kemaren juga berdampak kepada Pilkada yang akan pasang?.
ADVERTISEMENT
Otonomi daerah itu bukan sekedar pembagian keuangan, wilayah administratif, maupun bagi hasil. Karena setiap daerah memiliki ciri khas tertentu Otonomi Daerah itu mempunyai tiga aspek dimensi yang harus dikelola dan tidak bisa dilupakan oleh para pemangku jabatan di daerah, yaitu dimensi politik, dimensi administratif, dan pelaksanaan pembangunan Jika setiap pemangku jabatan di daerah paham, memiliki integritas atau tidak keluar dari konteks tentang konsep dan esensi dari sistem otonomi daerah, Otonomi daerah bisa menjadi jalan dan semangat untuk membangun kemakmuran bagi masyarakat Kemakmuran dapat dipahami juga bukan hanya masalah pertumbuhan ekonomi wilayah, tapi juga, kesempatan kerja, tingkat kemiskinan, pengangguran, pendapatan, serta pendidikan.
Peran Kaum Intelektual dan Masyarakat
Universitas di Indonesia sebanyak 3.277 maka dapat dimengerti, ketika setiap mahasiswa terjun ke masyarakat untuk menyadarkan dan memberikan ilmu apa yang telah dia pelajari di bangku perkuliahan maka distulah letak peran kaum intelektual sebagai mana mestinya, untuk menjaga dan melahirkan pemilih berkualitas dan mengilhami demokrasi yang berkualitas pula, karena melihat realitas kaum intelektual harus bisa mengajak masyarakat untuk melampaui Dogmatisme yang menjadi absolutisme bagi masyarakat Indonesia yang telah mengakar cukup lama, sehingga masyarakat bisa kritis setiap gagasan yang akan menjadi poin-poin program kerja dari kepala daerah tersebut. Dan masyarakat bisa beralih dari mengagungkan kepala daerah kepada kritis dan mempertanyakan segala hal. Dan kaum intelektual semestinya juga mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk hadir dalam mengawal demokrasi negara ini dan tetap kritis setiap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh kepala daerah terpilih nantik nya, untuk melahirkan dan menghadirkan cita-cita otonomi daerah yang bagaimana seharusnya.
ADVERTISEMENT