Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bertemu Teman Lama: Nomophobia
2 Maret 2024 10:03 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Robit Nurul Jamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada suatu pagi yang begitu istimewa, saya menerima undangan dari seorang teman lama melalui pesan WhatsApp. Ia ingin bertemu dan berbagi secangkir kopi bersama saya. Keistimewaan hari itu terletak pada fakta bahwa kami belum bertemu selama hampir 7 tahun, dia teman SMP dan kami dari desa yang sama. Penasaran, penuh kebahagiaan dan antusiasme karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan teman lama.
ADVERTISEMENT
Saya menjemputnya di Stasiun Jember, dan kami bergegas ke warung kopi di sekitaran kampus. Sambil menunggu pesanan datang, saya tak bisa menyembunyikan kekaguman melihat perubahan pada teman lama. Glowing, putih, dan begitu modis dengan outfit yang begitu modern. Saya tertawa lepas, mencoba bercanda, "saiki wis nggawe Klambi branded”. Percakapapun mengalir sambil bernostalgia ke-masa lalu yang belum pernah kita tuntaskan. Mencoba mencari teka-teki yang hilang di masa lalu.
Namun, percakapan kami terhenti saat dia mengeluarkan handph0ne-nya. Awalnya, saya kira dia hanya memeriksa pesan singkat, namun ternyata dia sedang bekerja. Singkatnya, teman saya bilang bahwa Keterlibatan penuh dengan gadget membuatnya seperti ini. Kemudian saya tertarik ingin tahu lebih banyak tentang kehidupannya, saya menanyakan pekerjaannya. Ternyata, dia adalah seorang freelancer yang intens menggunakan handphone dalam aktivitasnya. Saya mendengar kisahnya, bagaimana handphone adalah kebutuhan yang tak bisa dia tinggalkan, bahkan dalam waktu istirahatnya.
Dalam obrolan kami, saya mengetahui bahwa teman saya ini bukanlah satu-satunya yang mengalami ketergantungan pada smartphone. Dia mengaku merasa stres jika handphone ditinggalkan di rumah. Bahkan, keberadaannya di sebelah kasur saat tidur adalah suatu keharusan, dan ketidakhadirannya dapat mengganggu kenyamanan tidur. Saya teringat pada suatu argumen yang pernah saya baca, bahwa perilaku keterikatan yang disertai kurangnya kontrol terhadap smartphone dapat disebut sebagai kecanduan. Bahkan, saat kita menikmati pesanan kopi, saya merasa ada sesuatu yang terabaikan di antara kami saat kami saling mengeksplorasi dunia virtual masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks riset di Indonesia, efek kecanduan smartphone dapat menciptakan perasaan cemas dan mengganggu hubungan sosial. Teman saya mengakui bahwa terkadang ia merasa tidak nyaman jika tidak menonton sesuatu di handphone saat makan dan merasa bingung atau gugup saat koneksi internet di handphon-nya off. Hal ini membuat saya semakin yakin bahwa ia mengalami apa yang disebut sebagai "nomophobia" atau kecanduan smartphone, yaitu ketakutan atau kecemasan yang berlebihan ketika tidak memiliki akses terhadap smartphone atau terputus dari koneksi internet. Seperti halnya L. Widyanto dan I. Gunawan pada tahun 2018 meriset tentang nomophobia dengan judul “"Nomophobia: Ancaman Baru di Era Digital," Gejala-gejala Nomophobia, seperti kecemasan, ketidaknyamanan, ketidakmampuan untuk fokus, kebutuhan untuk selalu terhubung, dan perilaku kompulsif, tampak mencirikan pengalaman teman saya.
ADVERTISEMENT
Dan yang membuat saya terheran-heran adalah keahlian teman saya dalam memahami kondisi perpolitikan Indonesia. Dia mengakui bahwa kecanggihan teknologi, khususnya peran handphone, memberikan kontribusi besar dalam peningkatan pemahamannya. Sekarang ini, kita dapat melihat betapa cepatnya penyebaran informasi melalui teknologi media, terutama di masa transisi menuju era 5.0. Semua orang, tanpa terkecuali, secara tidak langsung sudah bergantung pada teknologi. Saya tidak begitu terheran dengan kondisi transisi tersebut, yang benar-benar membuat saya heran adalah betapa lengkapnya pemahaman politik yang dimiliki teman saya. Meskipun hanya menempuh bangku SMP, dia mampu menganalisis dengan sangat baik kondisi politik Indonesia. Bahkan, dia membuat klaim yang cukup mencengangkan terkait kegagalan demokrasi dan juga membahas tentang nasionalisme. Teman saya ini seakan-akan sedang berbicara sebagaimana aktivis di lingkungan akademis.
ADVERTISEMENT
Dia merasa bahwa di tengah kondisi masyarakat yang kurang percaya terhadap keadaan saat ini, diperlukan sikap dan gerakan yang tegas. Meskipun mungkin hanya sebagian kecil benar-benar sadar akan hal tersebut, teman saya yakin bahwa dengan argumentasi dan kinerja yang baik, ketidakpercayaan tersebut dapat diatasi. Baginya, konstitusi tidak dapat diganti kapan saja dan direnovasi sesuai kebutuhan pribadi. Akibatnya jika itu di abaikan maka, nilai menjadi tidak terlalu penting dan konsepsi tidak selalu bernilai.
Majunya transformasi dari era 4.0 ke era 5.0 membuat masyarakat semakin cerdas secara politik. Saya yakin bahwa jika saya bertanya kepada teman saya tentang tragedi 98, dia mungkin tidak terlalu mempedulikannya karena di masa SMP, topik tersebut tidak di ajarkan. Baginya, tragedi tersebut hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak relevan dan menjadi ritme 5 tahunan.
ADVERTISEMENT
Dalam gemerlapnya revolusi teknologi informasi dan komunikasi (TIK), kita menyaksikan keajaiban transformasi dari era 4.0 menuju era 5.0. Begitu megahnya perkembangan ini, hingga kita seakan terhanyut dalam arus kecanggihan. Masa Era 5.0, sebuah fase gemilang di mana teknologi seperti Internet of Things (IoT), Big Data, dan Artificial Intelligence (AI) berdansa indah dan harmonis. Ada yang menyebut ini adalah puncak kejayaan teknologi, semua informasi semakin cepat dan mudah di akses, maka saya tidak heran teman saya memahami perpolitian pemilu kemaren.
Dari secangkir kopi bersama teman. Saya melihat transfer semu yang tidak bisa di lihat, siapa sangaka teman saya dari kalangan yang hanya merasakan embusan pendidikan SMP. Namun, seiring dengan keterlibatan intensif pada smartphone, TIK menjadi senjata ajaib yang merubahnya menjadi raja pengetahuan politik. Mungkin kita bisa anggap sisi positif dari nomophobia. Transisi menuju era 5.0, sebuah pergeseran besar yang mengguncang panggung politik. Dalam pemandangan yang dramatis, masyarakat disajikan dengan kemudahan terhubung dan memperoleh informasi politik melalui berbagai platform online. Partisipasi politik seolah menjadi drama yang memikat hati, memunculkan sosok-sosok pakar politik dadakan yang memainkan peran dan mengiasi kolom komentar. Pemerintah pun dihadapkan pada sorotan yang begitu terang benderang, menggambarkan epik pertarungan antara akuntabilitas dan keterbukaan.
ADVERTISEMENT