Konten dari Pengguna

Dari Sumpah Pemuda hingga Generasi Z

Robit Nurul Jamil
Akademisi Universitas Jember
27 Oktober 2024 8:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Robit Nurul Jamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada malam ini 26 oktober 2024, saya berkesempatan menjadi pemateri sebuah acara yang sangat menarik: sebuah gathering mahasiswa yang ber tema “cerita mahasiswa dan eksplorasi Sumpah Pemuda”. Sumpah Pemuda, yang diperingati setiap 28 Oktober, adalah momen krusial dalam sejarah bangsa kita, yang melahirkan tiga pilar kebangsaan value: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Ini adalah fondasi bagi identitas nasional kita.
Dokumentasi Pribadi 26 Oktober 2024
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Pribadi 26 Oktober 2024
Malam itu, ketika saya menyampaikan sejarah Sumpah Pemuda, saya seolah terlempar kembali ke tahun 1928. Para pemuda yang penuh semangat, yang melawan penjajahan dengan ide-ide brilian, seakan berbisik kepada kita: "Jangan biarkan semangat kami mati!" Dalam buku Imagined Communities karya Benedict Anderson, kita diajarkan bahwa identitas nasional dibangun oleh narasi yang menghubungkan setiap individu dengan sejarah dan harapan yang sama. Sejarah bukan hanya sekadar catatan; itu adalah nyawa yang harus dijaga dan diwariskan.
ADVERTISEMENT
Namun, saat saya duduk di depan mahasiswa-mahasiswa ini, ada perasaan campur aduk. Di satu sisi, saya melihat wajah-wajah muda yang cerdas dan kreatif. Di sisi lain, saya merasakan beban yang sangat berat mereka pikul—sebuah beban yang tidak terlihat, tetapi sangat nyata. Seperti yang pernah saya ulas tentang, neo-kolonialisme kini merasuki kehidupan kita dengan cara yang lebih halus. Ia bukan lagi tentara bersenjata seperti era pergerakan dulu, tetapi bisa jadi pseudo-economic yang menggoda, media sosial yang penuh tipu daya, atau bahkan gaya hidup yang dipaksakan oleh standar viralitas dan enkulturasi baru.
Franz Fanon dalam The Wretched of the Earth mengingatkan kita akan bahaya ini. Seperti racun yang menyebar tanpa terlihat, penjajahan baru ini menggerogoti kepercayaan diri generasi muda. Saat saya mendengarkan mahasiswa berdiskusi, saya menyadari bahwa mereka seringkali terjebak dalam informasi yang tidak jelas—satu klik saja, dan dunia terbuka di depan mereka, tetapi apakah mereka siap untuk menyaringnya? Dalam benak saya terlintas: Apakah kita akan membiarkan diri kita terbelenggu oleh ilusi kemudahan?
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang generasi Z, kita tak bisa menghindar dari realita bahwa mereka tumbuh dalam era yang serba digital. Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite tahun 2023, sekitar 77% populasi Indonesia aktif menggunakan media sosial. Namun, apa jadinya jika media sosial bukan hanya alat, tetapi juga sangkar? Hasil penelitian Twenge et al. (2019) menunjukkan, penggunaan media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan ganguan kesehatan mental. Seolah-olah kita hidup dalam dunia yang terhubung, namun di dalamnya ada belenggu yang mendalam.
Dalam penyampaian materi didepan mahasiswa gathering, saya memberikan studi kasus dalam kelas mata kuliah Pancasila yang saya ajar, saya mengadakan sebuah eksperimen. Saya bertanya, "Apa itu demokrasi Pancasila?" Hampir semua mahasiswa langsung mengeluarkan ponsel, mencari definisi, kemudian menyampaikan isi ponselnya. Saya merasa seolah-olah pengetahuan mereka terpenggal oleh jari-jemari yang bergerak cepat di layar. Apakah kita akan membiarkan kebiasaan ini terus berlanjut, sehingga kemampuan berpikir kritis mereka terenggut? Nicholas Carr dalam The Shallows menegaskan bahwa internet dapat mengubah cara kita berpikir—dan membuat analisis kita cenderung lebih dangkal jika kita limitatif dan tertutup dalam informasi luar, bahkan lebih terfragmentasi. Meskipun dalam berbagai riset banyak sisi positif pula yang diberikan, namun “proses” dalam kerangka akademik menjadi sebuah pertanyaan, apakah proses tersebut atas dasar dialektis atau dasar instanisme
ADVERTISEMENT
Lalu, saya kembali menegaskan kepada audiens. Apa yang akan terjadi jika kita membiarkan generasi mendatang terjebak dalam informasi yang salah? Apakah mereka akan terus menerus menjadi konsumen pasif? Pew Research Center (2020) mengungkapkan bahwa kurang dari 20% remaja merasa percaya diri dalam menilai keakuratan informasi online, yang mencerminkan keterbatasan keterampilan kritis di kalangan mereka. Hal ini menciptakan tantangan yang serius, di mana banyak remaja kesulitan membedakan antara informasi yang valid dan yang tidak, terutama di tengah maraknya berita palsu dan misinformasi di media sosial. Keadaan ini tidak hanya berpotensi menimbulkan kecemasan dan kebingungan, tetapi juga memengaruhi kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang informatif. Temuan ini menekankan pentingnya pendidikan literasi media yang lebih baik, agar remaja dibekali keterampilan untuk mengevaluasi informasi—seperti memeriksa sumber, memahami bias, dan mengenali penipuan—sehingga mereka dapat menavigasi dunia digital dengan lebih percaya diri dan bijak. Ini adalah lonceng peringatan bagi kita semua!
ADVERTISEMENT
Persatuan dan Kesatuan
Di tengah gegap gempita dunia yang tak pernah tidur, Generasi Z, "putra dan putri Indonesia," muncul dengan semangat baru. Mereka dibesarkan dalam palet globalisasi, terpapar beragam budaya yang saling beradu. Namun, tantangan terbesar bukanlah pilihan yang melimpah, melainkan menjaga "tumpah darah yang satu, tanah air Indonesia." Di balik layar media sosial yang riuh, tersimpan panggilan untuk merajut kembali persatuan dalam keberagaman. Merekalah penerus Sumpah Pemuda, yang diharapkan tidak hanya merayakan perbedaan, tetapi juga memperkuat ikatan kebangsaan. Dalam setiap aktivisme digital, mereka berjuang untuk menyadari bahwa meski identitas mereka beragam, mereka adalah satu bangsa.
Identitas Nasional
Dalam refleksi diri, dsikusi kali ini berharap menemukan identitas yang kompleks. "Kami mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia," adalah seruan untuk mengingat bahwa di balik keragaman, ada sejarah dan perjuangan yang menyatukan. Generasi Z, dengan semangat juang yang membara, harus menanggalkan ego individu dan mengangkat nilai-nilai kolektif. Mereka adalah garda terdepan dalam melanjutkan perjuangan untuk keadilan sosial dan lingkungan. Setiap langkah yang mereka ambil, sekecil apapun, adalah kontribusi berharga bagi perjalanan bangsa.
ADVERTISEMENT
Bahasa Persatuan
Bahasa Indonesia, sebagai "bahasa persatuan," kini terancam oleh istilah asing dan viralitas yang menjamur. Namun, di tangan Generasi Z, bahasa ini dapat bangkit kembali. Dengan semangat yang tak tergoyahkan, mereka menjunjung tinggi penggunaan bahasa yang baik dan benar. Dalam setiap kata yang diucapkan dan kalimat yang dituliskan, mereka menggenggam kekuatan untuk memperkuat identitas bangsa. Bahasa bukan sekadar alat; ia adalah senjata untuk mempertahankan jati diri.