Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Liminalitas Religi: Fitri sebagai Fitur
22 April 2023 9:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Robit Nurul Jamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bulan suci Ramadhan telah usai. Kemenangan dalam tafsir bulan suci di rayakan bahkan disematkan dalam momen Idul fitri, bahkan tak jarang menafsirkan Idul fitri hal yang demikian. Jika esensi kemenangan itu menjadi sesuatu yang sakral maka boleh kita pastikan kemenangan yang dimaksud adalah kemenangan yang memiliki capaian. Sehingga Idul fitri merupakan hari mendapatkan kemenangan tersebut. Saya mengingatkan pada diri sendiri dan teman-teman sekalian dalam hal memaknai bulan suci ini.
ADVERTISEMENT
Bulan suci Ramadhan penuh dengan hikmah, bagaimana mungkin kita benturkan dengan kemenangan, seolah bulan tersebut ada Batasan-batasan limitatif dalam bertindak sehingga tafsir kemenangan terbebas dari bulan suci Ramadhan. Padahal kalau boleh kita katakan bulan Ramadhan itu memang seharusnya menjadi aktivitas muslim dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa harus menunggu bulan Ramadhan kita diharapkan Salat malam, puasa, sodaqoh dan membaca ayat suci al-quran.
Semua anjuran yang ada di bulan suci ada perintahnya di luar bulan Ramadhan. Memang ada penegasan dan ganjaran yang berbeda Ketika itu dilakukan pada Ramadhan, di bulan ini muslim diwajibkan puasa penuh satu bulan. Jika anjuran itu dikerjakan selama sebulan harapannya menjadi habit ketika ramadhan usai. Inilah yang menjadi identitas baru bagi muslim. Dalam teori liminalitas kita mengenal tiga fase pembentukan karakter manusia lewat jalur kebudayaan. Fase itu pra-liminal, liminal dan pasca-liminal.
ADVERTISEMENT
Pra-liminal biasanya cenderung terhadap enkulturasi, pembiasaan-pembiasaan sebagai permulaan memasuki liminal, dalam Ramadhan biasanya umat muslim cenderung Bahagia dengan kehadiran tersebut di dalam adat jawa banyak masyarakat melakukan tasyakuran sebagai bentuk syukur masih diberikan kesempatan untuk menjalani Ramadhan, di Banyuwangi biasanya dinamakan “Mapag Poso”.
Fase yang kedua yaitu fase liminal, fase di mana kita telah meninggalkan kehidupan sebelum Ramadhan dan memulai dengan enkulturasi baru, fase yang menjaga jarak dari kehidupan sebelumnya mencoba merefleksikan diri yang bersifat evaluatif, sehingga dapat menemukan values dalam fase liminal. Mungkin maksud fitri adalah pasca-liminal atau fase ke tiga, dalam teorinya seseorang pasca-liminal tersebut siap kembali ke dalam komunitas asal dengan identitas baru dan siap menghadapi perkembangan baru.
ADVERTISEMENT
Jika kita kaitkan dengan Ramadhan maka, manusia yang terbiasa dengan aktivitas ramadhan di luar ramadhan. Maka dibalik makna fitri itu tidak hanya sebatas kembali suci, namun menjadi pengharapan untuk menjalani kehidupan yang seharusnya memang didasarkan atas kesucian. Mampu menahan diri dari sesuatu yang merusak esensi kesucian diri. Seseorang yang suci adalah seseorang yang berada dalam zona religius dan mengaplikasikan nilai-nilainya dalam kehidupan bermasyarakat. Orientasi horizontal dia penuhi dan vertikal dia internalisasi.
Jika memahami ini maka zona bermasyarakat menjadi orientasi logis dalam mencapai kemaslahatan, sebab capaiannya adalah kesucian. Ketika kita analisis semua agama memiliki hal tersebut, orientasi kesucian tidak menjadi paradoks sama sekali. Maka sebenarnya “suci” itu secara value mengajarkan tata perilaku individu religius yang sudah diberikan indikator-indikator dalam menjalani kehidupan.
ADVERTISEMENT
Tentu selain tuntunan, larangan dan perintah ada sangsi yang menyertainya. Begitu pula ada ganjaran yang setimpal dengan apa yang dikerjakan. Karena sifatnya keyakinan maka orientasi itu memiliki sakralitas masing-masing.
Efek dari value “suci” tadi secara otomatis akan membentuk sinergitas dan integritas dalam berbangsa dan bernegara. Individu dengan kesuciannya akan berkontribusi dalam menciptakan kemaslahatan Bersama, sebab hubungan vertikal semua Kembali kepada kesejahteraan. Tidak ada yang menginginkan chaos atau hancur, akan tetapi lebih ke makna “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Ada keseimbangan antara kepentingan horizontal dan vertikal. Jika kita pahami ini sebagai konsep berbangsa maka kehadiran bangsa haruslah menjadi jembatan dalam membentuk dua kepentingan ini, sehingga tidak ada dehumanisasi.
Watak bangsa yang cenderung korup, wajah politik yang cenderung diskriminatif maka jika dikembalikan dalam wadah kesucian, sebenarnya melenceng dari jalur horizontal maupun vertical. oleh karena itu perlu kita melihat “Fitri” sebagai nilai bukan sebagai sesuatu yang insidental, atau momentum tahunan yang lalu-lalang saja. Jika Kembali suci kita tafsir sebagai identitas baru dalam fase pasca-liminalitas maka hendaknya kita Kembali pada esensi ketuhanan yang memberikan arahan dan aturan yang jelas. Kemenangan merupakan manifestasi itu, kita mendapatkan diri yang lebih mengutamakan kesucian. Hidup sebagai kader tuhan.
ADVERTISEMENT
Di 2024 kita hendak menghadapi pemilu raya dengan identitas baru pasca-liminal, tentunya kita berharap pada wajah politik yang semestinya, anti terhadap dehumanisasi dan diskriminasi. Kesenjangan pemilu dari tahun-ketahun mudah kita jalani dan selesaikan secara baik. Aktivisme digital, netizenisme mampu kita bawa ke-arah kemaslahatan dan tidak riuh hujatan maupun ujaran kebencian. Kita hendak Bersatu untuk tujuan yang suci, maka segala bentuk kotoran-kotoran yang berada dalam revolusi mudah kita selesaikan dan hadapi. Kita berharap seperti itu.