Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Mi dan Identitas Kuliner
9 Maret 2024 7:23 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Robit Nurul Jamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu pagi, saya menyaksikan sejumlah orang memadati perumahan, dengan sebagian di antaranya berkerumun di sekitar pedagang sayur keliling. Di tengah keramaian tersebut, terlihat seorang ibu yang menarik perhatian saya.
ADVERTISEMENT
Saat hendak berbelanja dari seorang penjual sayur, ibu tersebut bertanya, "Pak, enek sawi? Aku tak masak mi." Pertanyaan ini memunculkan pertimbangan dalam pikiran saya mengenai alasan ibu tersebut memilih memasak mi pada pagi hari.
Saya teringat akan beberapa kreasi kuliner lokal yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat desa, terutama dalam konteks tradisi keagamaan. Mi, yang pada awalnya hanya dianggap sebagai makanan pokok, kini telah menjadi bagian dari menu lauk pauk. Sebagai contoh, pada acara-acara besar Islam di desa, selamatan bersih desa, hingga perayaan hari-hari besar, mi sering dijadikan lauk pauk bersanding dengan tempe, tahu bahkan ayam.
Penggunaan mi dalam konteks tersebut mencerminkan kearifan lokal dan variasi dalam kebudayaan. Di beberapa wilayah. Selain sebagai bagian dari tradisi lokal, hal ini juga mencerminkan kreativitas budaya yang ada di masyarakat.
Mindset mi sebagai lauk pauk sejajar dengan tempe dan tahu, pada masyarakat pedesaan juga berimbas kepada masyarakat kota, Fenomena ini menunjukkan bahwa mindset urban tidak dapat dipisahkan sepenuhnya dari mindset masyarakat pedesaan. Urbanisasi, yang umumnya terjadi karena motivasi mencari pekerjaan dan perbaikan hidup, membawa serta pergeseran budaya dari desa ke kota.
ADVERTISEMENT
Dengan melihat perubahan preferensi makanan seperti yang saya temui pada pagi itu, kita dapat melihat bahwa perpindahan budaya dari desa ke kota tidak hanya terbatas pada aspek pekerjaan dan kehidupan ekonomi, tetapi juga mencakup pergeseran dalam selera kuliner.
Keberlanjutan tradisi lokal, seperti memasak mi sebagai lauk pauk, menjadi cerminan kekayaan budaya yang tetap hidup dalam masyarakat perkotaan. Sehingga kita boleh berasumsi bahwa mi di indonesia sudah menjadi lokal genius yang memiliki identitas kuliner yang berbeda. Bagi saya menarik untuk lebih jauh melihat mi dalam konteks sejarah.
Sebagai contoh, di Italia, pasta atau mi Italia, memiliki sejarah panjang yang bermula dari zaman Romawi. Pada abad ke-13, Marco Polo membawa teknik pembuatan mi dari Tiongkok ke Italia, mengilhami perkembangan pasta Italia. Mi jenis pasta sudah dikenal di Italia sejak abad ke-13 dan terus berkembang sepanjang sejarahnya.
ADVERTISEMENT
Di Prancis, mi memiliki sejarah yang kaya dan beragam, termasuk adopsi teknik Italia dalam pembuatan pasta. Spaetzle, jenis mi khas Jerman, juga populer di wilayah-wilayah Prancis tertentu. Pengaruh Italia pada penggunaan mi di Prancis terjadi sejak abad pertengahan.
Jerman memiliki spaetzle, mi khasnya, yang diyakini berasal dari abad ke-18. Namun, pasta dan mi jenis lainnya juga menjadi bagian dari masakan Jerman. Spaetzle berkembang sebagai hidangan khas Jerman pada abad ke-18.
Di Inggris, penggunaan mi dalam hidangan dapat ditelusuri kembali ke Abad Pertengahan. Pada abad ke-14, sudah terdapat hidangan seperti "macrows," yang merupakan awal dari hidangan mirip makaroni. Penggunaan mi di hidangan Inggris tercatat sejak abad ke-14.
Spaetzle, yang juga dikenal sebagai "knedli" atau "knydlíky," masuk ke masakan Swedia melalui pengaruh budaya Jerman. Spaetzle diperkenalkan di Swedia melalui pengaruh Jerman.
ADVERTISEMENT
Di Spanyol, paella, hidangan nasi khasnya, kadang-kadang menggunakan mi dan berasal dari abad ke-19 di wilayah Valencia. Paella berkembang pada abad ke-19 di Valencia, Spanyol. Penggunaan mi di Amerika Serikat mencakup berbagai jenis, mulai dari pasta Italia hingga ramen Jepang. Macaroni and cheese menjadi populer di Amerika pada awal abad ke-19. Macaroni and cheese menjadi populer di Amerika pada awal abad ke-19.
Di balik gemerlap kota metropolitan, di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, terdapat jejak-jejak sejarah dan kekayaan budaya yang tersembunyi, menunggu untuk dijelajahi. Salah satu yang tak terbantahkan adalah cerita panjang mi di Indonesia, sebuah kisah yang menggambarkan akulturasi budaya, kearifan lokal, dan dampaknya yang meluas ke seluruh lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Awalnya, asal-usul mi di Indonesia menjadi misteri yang belum terpecahkan. Beberapa ahli sejarah memperkirakan bahwa mi diperkenalkan oleh pedagang Tiongkok pada abad ke-15, sementara pendapat lain menyarankan bahwa mi sudah ada sejak zaman sejarah.
Bukti tertulis tentang keberadaan mi di Indonesia dapat ditemukan dalam prasasti-prasasti kuno, seperti prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno, yang merujuk pada hidangan "bakmi" yang disebutkan dalam Prasasti Rukam bertarikh 907 M, pada abad ke-8.
Perlu dicatat bahwa tanggal-tanggal tersebut bersifat perkiraan dan bisa bervariasi tergantung pada sumber sejarah yang digunakan.
Mi tidak hanya menjadi sekadar hidangan, tetapi juga memainkan peran penting dalam budaya Indonesia. Di berbagai daerah, mi mengalami akulturasi dengan budaya lokal, menghasilkan ragam jenis mi dengan cita rasa yang khas, seperti mi Aceh yang kaya rempah, mi kocok Bandung dengan kuah kaldu sapi, dan mi Celor Palembang yang dihidangkan dengan santan dan udang.
ADVERTISEMENT
Mi desa yang menjadi lauk pauk seringkali mencerminkan kearifan lokal dan tradisi kuliner yang turun-temurun. Hidangan mi dalam konteks ini tidak hanya menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, tetapi juga menjadi ekspresi dari budaya lokal dan nilai-nilai komunitas.
Beberapa hari sebelum artikel ini dipublikasikan, saya menyaksikan suatu fenomena yang menarik dan mengundang refleksi tentang perbedaan budaya. Saat itu, saya melihat seseorang sedang menikmati mi dari kedai Mi Gacoan bersama teman-temanya, namun ada tindakan yang agak menarik bagi saya, dia membuka sebuah bungkus nasi dan menyantapnya bersamaan dengan mi tersebut.
Fenomena ini, meskipun terlihat sederhana, seakan menjadi pemandangan yang kontras dan memicu pertanyaan mengapa harus sambil live atau merekamnya dalam medsos.
ADVERTISEMENT
Saya merenung, apa sebenarnya motif di balik tindakan tersebut? Apakah hanya sebuah kebiasaan pribadi ataukah ada aspek budaya yang lebih dalam? Pemandangan ini mengingatkan saya pada kajian ilmiah tentang konsep karbohidrat dalam budaya makan masyarakat perkotaan.
Di tengah arus urbanisasi dan globalisasi, mi telah menjadi lebih dari sekadar makanan pokok, tetapi juga menjadi simbol dari gaya hidup perkotaan yang dinamis. Bisa jadi tindakan pemuda itu, menyantap mi dengan nasi di gacoan adalah sesuatu yang tidak lazim di kalangan masyarakat, dan benar sekali di medsos sangatlah ramai mendapatkan respons.
Saat seseorang memilih untuk menikmati mi dengan nasi, mungkin itu bukan hanya soal kenikmatan rasa, tetapi juga ekspresi dari identitas urban yang terus berkembang. Ini menjadi bukti bagaimana budaya makan mi menjadi bagian integral dari identitas dan gaya hidup.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, saya merasa bahwa pemuda yang saya amati tidak hanya sedang mengkomunikasikan rasa laparnya, tetapi juga sedang menyampaikan pesan tentang bagaimana mereka meresapi dan mengadopsi aspek-aspek budaya perkotaan yang semakin dominan. Ini menjadi contoh nyata dari bagaimana konsep dan makna makanan dapat berubah seiring dengan perubahan sosial dan budaya.