Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Safari Takjil: Berbuka dengan yang Pahit
18 Maret 2024 8:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Robit Nurul Jamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah kesibukan kota yang diselimuti oleh suasana sore menjelang magrib, saya memutuskan untuk singgah sejenak di warung bensin eceran setelah menghabiskan hari yang penuh dengan rutinitas kerja yang melelahkan. Sorotan matahari mulai memudar di balik cakrawala, dan jalanan dipenuhi dengan keriuhan kendaraan yang seakan-akan bergegas pulang ke rumah masing-masing. Pada saat yang sama, mata saya tak sengaja menangkap pemandangan yang menggelitik pikiran.
ADVERTISEMENT
Di sana (sebelah warung), berdiri dua anak kecil dengan wajah yang penuh dengan kepolosan, sedang menggenggam erat sebuah ponsel, dan melakukan live tiktok. Saya tanya usianya, ternyata delapan dan sembilan tahun, dan kenyataan bahwa dia asyik bermain TikTok di tengah keramaian jalan, bagi saya tidak mengherankan, karena banyak influencer melakukan itu bahkan menjadi tren tertentu.
Setelah menyelesaikan urusan pengisian bensin, saya beranjak meninggalkan tempat itu, namun bayangan anak kecil itu masih menghantui benak saya. Perjalanan selanjutnya, saya tiba di pasar Takjil insidental, pasar ini muncul secara dadakan saja di pinggir jalan dan hanya tersedia di bulan Ramadhan… dan di sana, saya disambut dengan pemandangan yang lebih mengejutkan.
Di antara deretan lapak-lapak yang dipenuhi oleh ibu-ibu yang sibuk menjajakan dagangannya, saya melihat seorang ibu yang tampaknya tengah menyelesaikan transaksi dengan seorang pembeli. Namun, yang membuat saya terkesima bukanlah itu, melainkan fakta bahwa dia juga tengah asyik dengan ponselnya, ketika saya mengamatinya lebih dekat, ternyata dia sedang asyik melakukan siaran langsung di TikTok.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, kemampuannya untuk menjalankan aktivitas jual beli sambil tetap terhubung dengan media sosial begitu luar biasa. Saya tak bisa menahan rasa kagum terhadap tingkat kreativitasnya untuk mencari "Gift Tambahan" di dunia maya. Namun, ketika saya beranikan diri untuk bertanya tentang pendidikan, kenyataan yang saya dapatkan begitu mencengangkan.
Anak kecil itu ternyata masih berada di tingkat sekolah dasar, sementara ibu penjual itu hanya lulusan SD. Hal ini membuat saya merenung dan berfikir akan masalah yang lebih besar di balik kemajuan teknologi.
Di tengah gemerlapnya layar digital, tersembunyi sebuah paradoks yang membingungkan. Hari ini kita berada diposisi keyakinan terhadap para akademisi dan institusi pendidikan semakin merosot seiring berjalannya waktu. Media sosial, yang diharapkan menjadi sumber pengetahuan yang luas, kini berubah menjadi medan ancaman yang masif. Perubahan ini mungkin dipicu oleh kemunculan informasi yang mudah diakses melalui media sosial, yang kadang membingungkan dan diragukan kebenarannya. Hanya 0,33% dari masyarakat yang mampu menyerap informasi kritis.
ADVERTISEMENT
Menurut Laporan Global tentang Krisis Kepercayaan 2023 oleh Edelman Trust Barometer, hanya 36% dari responden di Indonesia yang mengatakan mereka mempercayai informasi yang mereka dengar. Kepercayaan terhadap media, pemerintah, dan bisnis juga menurun, seperti yang dilaporkan dalam laporan tersebut.
Survei Katadata Insight Center 2023 menunjukkan bahwa 67% dari responden di Indonesia terpapar hoaks dalam setahun terakhir, dengan hoaks paling banyak ditemukan di bidang politik, ekonomi, dan kesehatan. Suara-suara menyesatkan dan propaganda politik terus merajalela, membingungkan masyarakat dan memanipulasi kebenaran.
Dalam kebisingan dunia digital, kita dihadapkan pada gambaran mengejutkan tentang tingkat pendidikan penguna media sosial di Indonesia. Data dari We Are Social dan Meltwater mengungkapkan keadaan yang tak jauh berbeda antara tahun 2022 dan 2023 dalam hal rata-rata pendidikan, pengguna media sosial. Pada tahun 2022, angkanya adalah 34% hanya tamat SD, 22% tamat SMP, dan 31% tamat SMA/SMK.
ADVERTISEMENT
Tidak jauh berbeda, pada tahun 2023, angka tersebut turun sedikit naik menjadi 33.8%, 22.2%, dan 31.5%. Tidak hanya itu, pendidikan tinggi seperti Diploma I/II, Diploma III, S1, S2, dan S3 juga masih didapati dalam angka yang rendah. Tantangan besar yang menghadang adalah akses pendidikan yang tidak merata, terutama di daerah terpencil.
Dampak dari rendahnya rata-rata pendidikan pengguna media sosial sangatlah mencemaskan. Mereka menjadi lebih rentan terhadap penyebaran hoax dan propaganda, yang berpotensi merusak harmonisasi kehidupan. Produktivitas bangsa juga terancam mengalami penurunan signifikan, mengingat tingkat pendidikan yang rendah dapat menghambat kemajuan dalam era teknologi.
Data statistik tahun 2022-2023 sebagian besar masyarakat indonesia masih tergolong rendah tingkat pendidikannya:
• 23,40% (2022) dan 23,22% (2023) hanya tamat SD.
ADVERTISEMENT
• 14,54% (2022) dan 14,76% (2023) hanya tamat SMP.
• 20,89% (2022) dan 21,11% (2023) hanya tamat SMA/SMK.
Persentase yang mencapai pendidikan tinggi juga rendah:
• Hanya 4,39% (2022) dan 4,45% (2023) yang meraih gelar S1.
• Bahkan, untuk gelar S2 0,31 % dan S3, angkanya 0,02%.
Di era digital ini, media sosial bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi alat komunikasi dan informasi yang menjembatani masyarakat dari berbagai wilayah. Di sisi lain, ia menjelma monster yang siap menerkam mereka yang lengah, terutama bagi mereka dengan tingkat pendidikan yang rendah.
Didalam beberapa penelitian misalnya yang berjudul Social media and the spread of misinformation: Evidence from the 2019 Indonesian presidential election. Kemudian The Jakarta method: Jokowi's Indonesia and the rise of populism, Media sosial dan politik di Indonesia. Serta “The impact of social media on political participation: Evidence from a survey experiment in Indonesia”. Ditemukan korelasi yang signifikan antara tingkat pendidikan dan pola penggunaan media sosial.
ADVERTISEMENT
Masyarakat dengan pendidikan rendah, cenderung lebih banyak menggunakan media sosial, menghabiskan waktu berjam-jam tanpa filter informasi yang memadai. Keterbatasan akses informasi, rendahnya literasi digital, dan kecenderungan kecanduan media sosial menjadi faktor utama yang menjerumuskan mereka
Ironisnya, bahaya yang mengintai tak hanya berdampak pada individu, tapi juga merembes ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misinformasi dan disinformasi bagaikan virus yang tersebar luas di media sosial, memicu perpecahan dan konflik di masyarakat.
Propaganda dan ujaran kebencian meracuni opini publik, memperkuat polarisasi politik, dan mempersulit terciptanya dialog yang konstruktif (Bevins, 2020). Sehingga seolah-olah semuanya bias dan tak terkendali, ini membuat ruang akademik semakin menurun. Jangankan biacara soal demokrasi dan kebangsaan lainnya, mungkin kita teriak merdeka, mereka masih asik dengan gawainya.
ADVERTISEMENT
Kita harus menerima kenyataan pahit ini, mungkin ini rasinonalisasi… “kenapa makin kesini makin sulit menyadarkan masyarakat”. Dan yang lebih parah, ada beberapa kaum akademisi dan politisi yang mempropagandakan dan menurunkan drajad intelektual, banyak bertebaran dimedia sosial dan televisi nasional.
Selamat Berbuka Puasa