Konten dari Pengguna

Memupuk Asa akan Lahirnya Petani-Petani Muda

Romi Febriyanto Saputro
Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen
12 Mei 2023 19:07 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Romi Febriyanto Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petani beraktivitas di persawahan Desa Puca, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu (8/1/2022) Foto: Abriawan Abhe/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petani beraktivitas di persawahan Desa Puca, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu (8/1/2022) Foto: Abriawan Abhe/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Oppenheimer (2010) dalam buku Eden in The East menjelaskan bahwa dunia pertanian yang tertata rapi di Indonesia terbukti mendahului dunia pertanian pada masa Revolusi Neolitikum di Timur Jauh (Rusia dan negeri sekitarnya). Budidaya ketela rambat dan talas di Indonesia tercatat pada 15.000 dan 10.000 tahun SM (Sebelum Masehi). Budidaya beras di Thailand tercatat berusia 6.000 sampai 7.000 tahun SM (Sebelum Masehi). Teknologi pertanian di Asia Tenggara terbukti jauh lebih tua daripada Cina.
ADVERTISEMENT
Oppenheimer meyakini bahwa sebelum Paparan Sunda Tenggelam, penduduknya sudah memiliki kemampuan teknologi pertanian, teknologi perikanan, dan tembikar. Kemampuan pertanian ini merupakan tertua di dunia. Belum pernah tercatat ada masyarakat di belahan dunia lain yang memiliki kemampuan seperti ini.
Saat Paparan Sunda terendam oleh banjir besar Zaman Es, penduduknya menyelamatkan diri berpencar ke seluruh dunia. Pelayaran ke arah Barat membawa nenek moyang bangsa Indonesia ini sampai Benua Eropa. Pelayaran ke arah timur mengantar mereka sampai Benua Amerika dengan melewati Selat Bering, yang masa ribuan tahun lalu masih berupa daratan sehingga masih dapat dilewati dengan berjalan kaki setelah naik perahu.
Catatan Oppenheimer di atas merupakan tinta emas sejarah yang jarang terungkap. Nenek moyang kita bukan hanya pelaut tetapi juga petani tertua di dunia. Petani kita adalah guru dari petani-petani di seluruh belahan dunia. Negeri kita adalah negeri dengan potensi pertanian yang luar biasa. Bahkan rempah-rempah negeri tercinta mengundang kehadiran penjajah dari Kerajaan Portugal, Inggris, dan Belanda pada masa lalu.
ADVERTISEMENT
Orde baru dengan segala kekurangannya pernah memiliki prestasi hebat di dunia pertanian. Pada tanggal 14 November 1985, Direktur Jenderal FAO Dr. Eduard Saoma mengundang khusus Presiden Soeharto untuk memberikan pidato Konferensi ke-23 Food and Agriculture Organization (FAO) yang digelar di Roma, Italia. Presiden Soeharto mendapat kehormatan berpidato di forum resmi FAO karena prestasi swasembada pangan yang diraih Indonesia pada tahun 1984.
Sejarah ibarat kaca spion kendaraan. Memberikan pelajaran untuk selalu melakukan kerja yang lebih baik di masa depan tanpa melupakan masa lalu yang manis. Diakui atau tidak prestasi dunia pertanian di tanah air kurang menggembirakan.
Data Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian, menyebutkan, 90 persen dari total jumlah petani Indonesia sudah memasuki fase kurang produktif.
ADVERTISEMENT
Data BPS juga menunjukkan bahwa di wilayah perdesaan hanya sekitar 4% anak muda berusia 15-23 tahun yang tertarik bekerja menjadi petani. Sisanya memilih bekerja di sektor industri, sektor industri kecil-menengah, atau sektor informal kota. Hal itu  karena pekerjaan non-pertanian itu  dipandang lebih potensial untuk menjamin kesejahteraan di masa depan (Republika, 14 Maret 2020).
Jumlah petani yang terus menurun ternyata berbanding lurus dengan penurunan produksi beras pada tahun 2019. Menurut BPS, Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan selama tahun 2019 produksi beras di Indonesia mencapai 31,31 juta ton. Jumlah produksi beras tersebut turun dari angka produksi tahun 2018 yang sebanyak 33,94 juta ton. Luasan panen sawah pada 2019 sebesar 11,38 juta hektare, turun 6,15 persen dari tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Potret buram dunia pertanian ini tidak boleh dibiarkan selalu berulang setiap tahun. Kebijakan pemerintah perlu memperhatikan aspirasi petani. Harapan petani itu cukup sederhana, pertama, bibit murah dan mudah diperoleh. Ini membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk terus melakukan penelitian dan pengembangan sehingga mampu menghasilkan bibit unggul dengan harga terjangkau. Tahanlah nafsu untuk impor bibit pertanian karena bibit impor belum tentu sesuai dengan keadaan lahan pertanian di negeri tercinta.
Kedua, pengairan lancar. Selama ini kondisi irigasi di negeri tercinta ini masih memprihatinkan. Menurut Kementerian PUPR seperti ditulis Kompas, 16 Juli 2018, dari 7,2 juta hektare daerah irigasi yang ada di Indonesia, 30 persennya atau 2,16 juta hektare dalam kondisi rusak. Kerusakan irigasi itu tersebar merata di seluruh wilayah di Indonesia. Republika, 4 Juli 2019 melansir berita bahwa di Jawa Barat, 47 persen saluran  irigasi di Jawa Barat dalam kondisi rusak, hanya 53 persen yang dapat beroperasi maksimal.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pupuk murah dan mudah didapat. Republika, 4 Juni 2020 mencatat bahwa para petani di Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mengeluhkan pupuk SP36 yang langka. Sebelum benar-benar menghilang, harga pupuk itupun melambung tinggi. Dalam kondisi normal, harga pupuk TS yang diproduksi oleh PT Petrokimia Gresik itu hanya Rp 200 ribu per kuintal. Namun selama dua pekan terakhir, harga pupuk tersebut naik menjadi Rp 300 ribu per kuintal. Sejak tiga hari terakhir, harga pupuk TS bahkan naik lagi jadi Rp 320 ribu per kuintal. Tapi itupun barangnya sekarang tidak ada sama sekali
Keempat, skema harga jual panen yang menguntungkan petani. Kebijakan ini perlu didukung semua kementerian dan lembaga negara. Jangan sampai kementerian A mendorong harga panen yang layak bagi petani sementara kementerian B malah mengizinkan impor beras ketika masa panen tiba. Jangan sampai pula negara mengimpor beras padahal masih ada cadangan beras di gudang Bulog yang mengendap terlalu lama sehingga memasuki masa kedaluwarsa.
ADVERTISEMENT
Formula mujarab ini kelak akan menjadi cerita yang indah bagi petani muda jika ada komitmen pemerintah mendorong pemuda untuk menjadi petani bukan menjadi buruh migran. Sekolah vokasi untuk menjadi petani perlu direvitalisasi dan diakselerasi kembali dengan narasi bahwa negeri ini adalah negeri kepulauan dengan lahan yang subur untuk bercocok tanam. Bahkan masih banyak pulau tak bernama dan tak berpenghuni yang dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian maupun peternakan.
Negeri dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa ini dapat menjadi makmur jika para pemuda mau turun ke sawah. Dana desa yang melimpah itu dapat dipergunakan untuk memberikan insentif bagi pemuda desa yang berminat menjadi petani muda.
Mereka dapat diberikan pelatihan dan pendampingan agar dapat menjadi petani yang sejajar dengan petani di Amerika atau Australia yang lebih modern dan sejahtera. Jika dana desa tidak mencukupi pelatihan dapat diberikan oleh pemerintah pusat dengan materi pelatihan yang aplikatif dan sesuai dengan kondisi di tanah air.
ADVERTISEMENT
Penggusuran lahan pertanian untuk membangun kawasan industri tidak boleh terulang lagi. Kalau perlu kawasan industri yang telanjur berdiri di kawasan pertanian yang subur dapat dipindahkan ke lahan yang tidak subur. Kesalahan bukan untuk dilestarikan melainkan untuk diluruskan demi terwujudnya kedaulatan pangan nasional.
Semoga!