Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Temukan Barang di Tempat Umum: Rezeki atau Sanksi?
23 Oktober 2024 18:43 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Romi Hardhika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 17 Oktober 2024, akun Tiktok @tvoneofficial merilis konten video berita mengenai penangkapan seorang pengemudi ojek daring di Makassar, Sulawesi Selatan. Berdasarkan informasi reporter, pengemudi tersebut menemukan dompet di pinggir jalan berisi kartu ATM dan KTP yang tidak diketahui pemiliknya. Namun alih-alih melaporkan temuan ini, ia lalu pergi mencari mesin ATM dan memasukkan kombinasi PIN berupa tanggal lahir yang tercantum pada KTP. Tak disangka, spekulasi tersebut membuahkan hasil. Digit PIN yang dimasukkan ternyata tepat sehingga uang di dalam rekening ATM terkuras hingga Rp36 juta.
ADVERTISEMENT
Konten ini selanjutnya menuai sekitar 8 ribu tanggapan di kolom komentar. Tak sedikit yang mengecam tindakan pengemudi ojek daring karena dianggap merugikan pemilik dompet. Namun yang menarik, sebagian komentar justru menjustifikasi perbuatan tersebut karena merasa barang temuan merupakan “rezeki” bagi si penemu. Menurut argumen kebanyakan akun, pelaku dianggap hanya menemukan barang secara kebetulan sehingga tidak bisa dianggap sebagai mencuri. Ada pula opini lain yang berpendapat perbuatan pengemudi ojek daring tidak keliru selama “bukan korupsi”. Fenomena ini kemudian menimbulkan pertanyaan: Bagaimana tindakan mengambil barang temuan dari perspektif hukum?
Di Inggris, terdapat pepatah yang berbunyi “finders, keepers; losers weepers”. Secara harfiah, frasa tersebut berarti “yang menemukan, menyimpan; yang kalah menangis”. Dengan kata lain, siapa pun boleh mengklaim barang atau benda yang ia temukan tanpa perlu mengembalikannya ke pemilik asal. Di Skotlandia, ungkapan yang identik menyatakan possession is nine-tenths of the law atau penguasaan adalah sembilan per sepuluh dari hukum. Maknanya berarti siapa pun yang secara nyata menguasai benda fisik, maka hampir pasti ia adalah pemiliknya. Dalam konsep hukum perdata yang diadopsi dari Belanda, terdapat terminologi yang dikenal sebagai bezit, yakni keadaan memegang atau menikmati suatu benda seakan-akan objek itu adalah miliknya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pencurian merupakan tindakan mengambil benda milik orang lain yang biasanya dilakukan secara diam-diam. Menurut Pasal 362 KUHP, terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam tindak pidana pencurian. Unsur objektif delik pencurian adalah “mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain”, sedangkan unsur subjektifnya yaitu “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”. Melalui Elektriciteitsarrest tanggal 23 Mei 1921, Mahkamah Agung Belanda memperluas interpretasi “barang” meliputi pula materi tak berwujud seperti energi listrik. Dengan demikian, perbuatan menyalahgunakan tenaga listrik secara ilegal seperti memanipulasi meteran tetap dapat dianggap sebagai pencurian.
Tidak semua perbuatan mengambil barang kepunyaan orang lain merupakan tindak pidana pencurian. Berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan, orang yang keliru mengambil suatu benda yang mirip dengan milik sendiri tidak bisa dijatuhi sanksi karena faktor kesalahannya tak terbukti. Begitu pula individu dengan gangguan kleptomania yang memiliki urgensi untuk mencuri barang tanpa alasan. Meskipun seluruh unsur perbuatan pencurian telah terpenuhi, mereka tak dapat dijatuhi sanksi karena terdapat alasan pemaaf.
ADVERTISEMENT
Pada konteks barang temuan di jalan, perbuatan pelaku yang memungut atau mengusai objek tersebut telah memenuhi unsur “mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain”. Menurut berbagai putusan pengadilan, tidak ada kewajiban untuk terlebih dahulu mencari siapa pemilik yang asli, selama dapat dibuktikan bahwa barang tersebut bukan milik orang yang mengambil. Meskipun demikian, ia tak dapat dipersalahkan jika tujuan penguasaan tersebut bukan untuk dimiliki sendiri. Misalnya apabila barang temuan kemudian diberikan kembali kepada pemiliknya atau diserahkan kepada pihak yang berwenang. Dengan kata lain, unsur subjektif berupa “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum” tidak terpenuhi.
Dalam hal tujuan penguasaan barang temuan adalah untuk disimpan dan dimiliki sendiri tanpa izin dari miliknya yang sah, maka perbuatan ini telah memenuhi rumusan “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”. Akibatnya, perbuatan pelaku dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian dengan ancaman sanksi hingga lima tahun penjara. Namun, konsekuensi yang berbeda akan timbul jika niat semula pelaku dilandasi alasan yang sah. Misalnya seseorang menemukan handphone di tepi jalan umum dan memungutnya dengan niat untuk diserahkan pada polisi. Di tengah-tengah perjalanan menuju kantor polisi, tiba-tiba timbul keinginan untuk memiliki handphone temuan itu untuk dirinya sendiri. Karena alasan penguasaan suatu benda timbul “bukan karena kejahatan”, maka perbuatan ini dikualifikasikan sebagai tindak pidana penggelapan sebagaimana ketentuan Pasal 378 KUHP.
ADVERTISEMENT
Penemuan barang di tempat umum memang menjadi perdebatan yang menarik karena melibatkan dilema antara etika moral dan aspek sosiologis yang berlaku di masyarakat setempat. Bagi sebagian orang, ada anggapan bahwa temuan barang di tempat umum merupakan “rezeki”. Namun dalam perspektif hukum positif, Indonesia tidak menganut prinsip finders, keepers; losers weepers. Artinya, tetap ada kewajiban yuridis yang mengikat bagi setiap orang untuk mengembalikan barang temuannya kepada pemilik asal. Jika regulasi ini dilanggar, maka pelakunya terancam dengan sanksi pidana dalam Pasal 372 KUHP tentang pencurian atau Pasal 378 KUHP tentang penggelapan. Perbandingan dengan korupsi untuk membenarkan perilaku mencuri juga termasuk kesesatan berpikir dalam bentuk whataboutism. Artinya, mengemukakan perbuatan lain yang lebih jahat tidak serta merta membuat kejahatan lain menjadi lebih benar atau dapat dibenarkan.
ADVERTISEMENT