Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Apakah Gunung Api Penyebab Stegodon Punah di Provinsi Nusa Tenggara Timur?
12 Juni 2021 19:37 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Roni Marudut Situmorang (Geologi Gunung Api) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masa Lalu Makhluk Purba di Pulau Flores Tengah
ADVERTISEMENT
Haloo Sobat Gunung, Hari ini Sobat Gunung akan diajak untuk mengetahui sejarah beberapa makhluk purba yang ditemukan di Cekungan Soa dan Liang Boa, Nusa Tenggara Timur. Nah bagi teman-teman yang belum tau, Cekungan Soa merupakan wilayah yang berada di timur dari Kompleks Gunung Api Inielika . Sedangkan Liang Boa berada di barat laut Gunung Anak Ranakah .
Apabila dilihat dari posisi cekungan Soa nih, endapan-endapan yang ada di Cekungan Soa, sebagian berasal dari erosi yang berasal dari Kaldera Welas, Gunung Api Inielika, Kompleks Kerucut Skoria Bajawa, dan gunung api lain disekitarnya pada masa lalu.
ADVERTISEMENT
Punahnya Stegodon di Pulau Nusa Tenggara tidak lepas dari pengaruh iklim, bencana alam dan juga perbuatan manusia itu sendiri. Ada banyak sekali teori-teori yang bermunculan. Namun apakah sebenarnya Stegodon di Nusa Tenggara punah akibat erupsi Gunung Api? Mari sobat Gunung kita akan membahasnya ya!
Jalur migrasi hewan dan manusia purba diperkirakan bermula ketika permukaan di wilayah Nusa Tenggara masih bersatu. Teori ini memberikan kesimpulan bahwa ada lima jalur persebaran manusia purba dari Asia menuju benua Australia besar.
Salah satu jalur manusia purba melakukan transmigrasi dari wilayah semenanjung Sunda menuju ke arah daratan Nusa Tenggara Timur sekarang. Sebagian manusia purba menetap dan sebagian lagi melanjutkan perjalanannya hingga ke wilayah Australia.
Wilayah manusia purba yang cukup banyak ditemukan bukti-bukti peninggalannya berada di Cekungan Soa, di Pulau Flores bagian Tengah, Provinsi NTT. Setidaknya terdapat 15 titik dari hasil eksavasi yang dilakukan Brown, Morwood, dan Tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada September 2003. Penelitian ini mulai berkembang sejak tahun 1950-an dan semakin berkembang hingga mencapai klimaksnya pada September 2003.
ADVERTISEMENT
Pada Desember 1956, Yosep Djuwa Dobe Ngole, Raja Nagekeo, menemukan tulang raksasa di Desa Ola Bula dan melaporkan ke Theodor Verhoeven diidentifikasi sebagai Stegodon trigonocephalus florensis (Hooijer, 1957). Penemuan Stegodon florensis disambut baik oleh H.M.S Hartono dari Direktorat Geologi di Bandung.
Selanjutnya, Direktorat Geologi melakukan investigasi geologi di sekitar Ola Bula dan menetapkan kerangka kerja stratigrafi untuk Cekungan Soa, dari tua ke muda: Formasi Ola Kile (andesit-breksi), Formasi Ola Bula (tuff, batu pasir dan batu kapur (Giro) dan endapan alluvium terbaru (beberapa asal fosil terbaru) dari lapisan batu pasir Formasi Ola Bula (Hartono, 1961).
Pada Tahun 1963, ekspedisi Verhoeven di Boa Lesa (nomor 4 pada peta) menemukan Fosil Stegodon yang berasosiasi dengan batu-batu artefak. Selain itu, di Liang Bua juga ditemukan Tengkorak purba Homo Floresiensis yang lebih kecil dibandingkan tengkorak Homo Erectus yang ditemukan di Sangiran. Beberapa ciri morfologi sangat primitif dari indikasi populasi Homo Floresiensis, bahwa keturunan mereka mendahului keberadaan Homo erectus yang ada di Pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Verhoeven menyimpulkan bahwa alat-alat batu dari Boa Lesa yang pada skala waktu geologi yang sama dari "Homo Erectus" telah sampai ke wilayah Flores (Verhoeven, 1968). Implikasi dari "manusia purba" di Flores dibahas oleh Maringer dan Verhoeven (1970). Namun, bukti ini diabaikan oleh sebagian besar arkeolog. Arkeolog pada masa itu menganggap bahwa Verhoeven adalah seorang amatir.
Temuan Tengkorak Homo Floresiensis atau Manusia Liang Bua penamaannya diberi sesuai dengan lokasi penemuannya. Fosil ini berukuran sangat kecil, tingginya hanya tidak lebih besar dari anak-anak usia lima tahun. Ukuran fosil manusia purba yang kecil ini diakibatkan sumber makanan yang terbatas, sehingga ukuran tubuh menyesuaikan dengan stok makanan yang ada.
Fosil manusia purba tertua di daratan Flores diperkirakan berasal dari 700.000 tahun yang lalu ditemukan di daerah penggalian Mata Menge, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, Flores NTT berupa bagian gigi geraham (Molar), gigi kacip (Incisor), gigi taring (Canine) serta tulang rahang (Mandible) sekitar tahun 2016. Ahli vertebatra Museum Geologi, Fachroel Aziz menjelaskan fosil manusia purba pertama dan tertua di Cekungan Soa punah diduga karena aktivitas erupsi vulkanik di sekitar lokasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Aktivitas erupsi mungkin menjadi sebab antara perubahan ukuran dan jumlah dari fauna-fauna yang ada di Cekungan Soa. Apabila predator berkurang, tentunya memungkinkan bagi Stegodon untuk berevolusi menjadi lebih besar.
Mengapa Stegodon di Pulau Flores Mengerdil?
ADVERTISEMENT
Stegodon Sondaari merupakan stegodon yang paling kecil di Flores. Sedangkan, Stegodon Florensis merupakan stegodon yang besar. Stegodon Florensis masih cukup kecil apabila dibandingkan dengan Stegodon Trogoncephalus, dari Pulau Jawa.
Fachroel Azis, Seorang Panteolog, berteori bahwa di suatu pulau terisolasi dan sumber makanan terbatas, mungkin saja fauna mamalia akan mengerdil. Uniknya, masih berdasarkan Fachroel, saat gajah mengerdil, spesies dari golongan reptilia seperti komodo malah membesar. Sebab di pulau hampir tidak ada predator tandingan.
Stegodon ke Flores Berenang atau Berjalan?
Sebenarnya ada dua teori yang saling didukung oleh berbagai ahli geologi terkini. Teori lama, D.A. Hooijer (1957, 1967) membuat hipotesis tentang Stegoland, yaitu pada masa lalu Jawa dan Nusa Tenggara terhubung sebagai daratan sehingga stegodon dapat berjalan ke Pulau Flores. Konsep Hooijer ini mendapat tantangan dari beberapa ahli paleontologi yang datang lebih kemudian, misalnya Gert van den Bergh. Tentunya, setiap peneliti boleh memilih pendugaan mana yang menurut mereka benar. Bagaimana dengan Sobat Gunung?
ADVERTISEMENT
Menurut Awang Satyana (2014) terdapat daratan yang menghubungkan antara Timor-Sumba-Flores-Jawa-Sulawesi-Sangihe pada sekitar Pliosen-Plistosen-Holosen. Dari model-model dan data satelit dapat diketahui bahwa kemungkinan jembatan seperti yang dimaksud Hooijer (1957) kelihatannya ada walaupun memang sekarang sudah tenggelam. Berdasarkan hal ini, bisa diduga bahwa Stegodon telah bermigrasi sepanjang Stegoland.
Stegodon sebenarnya dapat berenang, tetapi Gajah purba ini maksimal dapat berenang sejauh 30 km (Monk et al.1997). Bila sekarang ada fosil Stegodon ditemukan di suatu pulau, dan pulau-pulau di sekitarnya jauhnya lebih dari 30 km, maka dapat diduga bahwa dulu Stegodon tersebut pindah ke pulau tempat fosilnya ditemukan melalui daratan yang menghubungkannya.
Geolog dan paleontolog dari Universitas Wollongong Australia, Gert van den Bergh, yang mendalami penelitian stegodon di Cekungan Soa mengajukan hipotesis lain, gajah purba di Flores menjadi kerdil akibat adaptasi kondisi pulau. Menurut Gert, di pulau yang kecil tidak diperlukan juga badan terlalu besar karena tak ada pemangsa seperti harimau.
ADVERTISEMENT
Sebagai pulau gunung api yang muncul dari dasar laut, Flores terisolasi sejak jutaan tahun silam. Bahkan tinggi permukaan air laut di tingkat terendah pada masa Oligosen (20 hingga 30 juta tahun lalu), daratan Flores tetap terkepung lautan.
Brum dkk, (2010) menyimpulkan kronologi dari keberadaan manusia dan hewan endemik di Nusa Tenggara Timur selama 1 juta tahun terakhir. Diketahui bahwa endapan di bawah Cekungan Soa dimulai dari endapan breksi vulkanik Gunung Ola Kile pada 1,86 juta tahun yang lalu. Gunung Ola Kile merupakan pusat dari Kaldera Welas di utara Cekungan Soa.
Sekitar 1,02 juta tahun yang lalu Stegodon Sondaari, Komodo (biawak gigan), dan kura-kura raksasa merupakan hewan endemik utama Wilayah Nusa Tenggara. Kemudian terdapat aktivitas erupsi besar sekitar 900 ribu tahun yang lalu, menyebabkan Stegodon berevolusi selama 20.000 tahun menjadi lebih besar, ketika itulah Stegodon digolongkan menjadi Stegodon Florensis. Pada masa ini, Tikus Raksasa Flores mulai berkembang cukup banyak, sedangkan Komodo tetap ada.
Temuan fosil di Flores Barat, tepatnya Liang Bua, menunjukan fosil yang lebih banyak berupa Stegodon florensis yang kembali berevolusi mengecil sekitar 100 ribu-17 ribu tahun yang lalu. Pada periode 17 ribu-11 ribu tahun yang lalu, terdapat erosi tuff putih dan endapan yang cukup besar, yang diduga menjadi periode tahun kepunahan gajah florensis. Kepunahan ini diduga akibat erupsi gunung api yang cukup tinggi disertai kelaparan yang melanda manusia purba, sehingga manusia purba banyak memburu stegodon hingga mengalami kepunahan.
ADVERTISEMENT
Setelah masa hiatus, tepatnya pada masa holosen akhir, keberadaan manusia modern telah ditemukan bersamaan dengan hewan endemik yang ada sekarang.
Terima kasih buat Sobat Gunung yang sudah membaca!
Referensi
Aziz, F., Morwood, M.J. and Bergh, G.D. eds., 2008. Pleistocene Geology, Palaeontology and Archaeology of the Soa Basin, Central Flores, Indonesia. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Aziz, F. and Morwood, M.J., 2009. Introduction: geology, palaeontology and archaeology of the Soa Basin, central Flores, Indonesia. Palaeontology and archaeology of the Soa Basin, central Flores, Indonesia. GS Centre. Bandung, 36, pp.1-18.
Brumm, A., Jensen, G.M., van den Bergh, G.D., Morwood, M.J., Kurniawan, I., Aziz, F. and Storey, M., 2010. Hominins on Flores, Indonesia, by one million years ago. Nature, 464(7289), pp.748-752.
ADVERTISEMENT
National Geographic, 2005. Orang Kerdil dari Dunia yang Hilang Edisi April 2005. Majalah Bulanan.
Satyana, A.H., 2011. SULAWESI: Where Two Worlds Collided-Geologic Controls On Biogeographic Wallace's Line.