Konten dari Pengguna

3 Penghalang Kebebasan Berkarya dalam Dunia Tari Indonesia

Rosiana Muliandari
Mahasiswi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
20 Mei 2021 19:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rosiana Muliandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tari Kontemporer. Foto via Unsplash.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tari Kontemporer. Foto via Unsplash.
ADVERTISEMENT
Seni tari adalah salah satu jenis seni terpopuler, namun, apakah masyarakat Indonesia sudah ramah dengan dunia tari? Mungkin sudah terlihat seberapa apresiatifnya masyarakat Indonesia terhadap tari tradisional Indonesia. Kami, narasumber, dan saya, tentunya tidak menentang hal itu. Tari tradisional merupakan suatu hal yang wajib menjadi kebanggaan sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, dunia tari lebih dari satu tipe tarian saja, lebih luas daripada yang masyarakat tahu. Masih ada lagi jenis-jenis tari yang tidak kalah indah dan, sayangnya, masyarakat Indonesia belum begitu ramah dengannya. Dengan itu, muncul beberapa stigma yang menjadi penghalang kebebasan berkarya dalam dunia tari.
Minimnya Apresiasi dari Masyarakat
Penghalang pertama adalah bagaimana tidak sedikit orang Indonesia yang meremehkan seni, dalam jenis apapun. Pertanyaan atau pernyataan yang meremehkan juga ikut terlempar. Seperti yang Aurel katakan, jika seseorang memiliki karier dalam seni, baik tari atau jenis yang lainnya, orang-orang tidak akan membanggakan mereka sama seperti orang-orang membanggakan mereka yang seorang bos atau manajer. Tidak sedikit juga yang melontarkan pertanyaan: "Ke mana seni akan membawa kamu?"
ADVERTISEMENT
"Orang tahu ada penari, tapi, cuma 'oh, dia penari'," kata Aurel Larasati, seorang penari balet yang sudah berkecimpung di dunia tari balet selama tujuh belas tahun.
Dengan keadaan seperti itu, masih ada juga yang mengapresiasi seni. Galeri-galeri foto atau lukisan memiliki kemungkinan kecil untuk kosong melompong, penggemar musik sudah tidak perlu ditanya lagi berapa jumlahnya, dan pergelaran tari pun masih kedatangan penonton.
Meski begitu, Aurel merasa bahwa mereka yang datang dan benar-benar menikmati dan mengapresiasi tari adalah hanya mereka yang mencintai dan mengerti seni. Mereka yang merupakan masyarakat umum, dapat dikatakan, hanya memandang sebelah mata.
Saat Kostum dan Gerakan Membatasi Mata-mata membelalak yang mengikuti segala ayunan pinggul, siulan yang terdengar saat seorang penari melakukan split, bahkan lontaran kata "wow" yang terselubung dengan niat jahat. Inilah stigma atau penghalang kedua dalam berkarya dalam dunia tari Indonesia: Sexualizing dancers.
ADVERTISEMENT
Tari sering diartikan sebagai hal yang "seksi" oleh orang Indonesia. Tari sering dipandang sebelah mata karena dianggap seksi padahal tidak ada sama sekali keinginan untuk itu. Tentu, ada juga koreografer yang memasukkan gerakan yang "seksi" namun, kemungkinan besar itu merupakan penyesuaian dengan tema. Tidak mungkin tari balet tradisional yang teratur dan gemulai memiliki gerakan yang "seksi".
"Karena sudah lama dibiarkan saja, jadi sesuatu yang biasa [penonton yang bersiul]. Padahal, sebenarnya kita nggak nyaman," jelas Aurel.
Aurel pernah merasakan hal yang mirip seperti itu saat ia duduk di bangku SMP. Saat itu, ia sedang ada sesi foto untuk sekolah. Ia menggunakan celana panjang, leotard hitam, dan juga sedang dalam kerumunan. Untuk ukuran balet, pakaian yang ia pakai saat itu dapat dimasukkan ke dalam kategori tertutup. Meski begitu, Aurel tetap melihat orang-orang yang mengambil video dari jauh secara diam-diam atau bahkan yang menatap seram. Tentunya, ia ingin menghampiri dan berkata bahwa ia tidak nyaman, namun, ia takut karena tidak tahu apa yang orang-orang itu dapat lakukan padanya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat perlu mengingat bahwa tari tidak selalu "seksi", kostum dan gerakan di dalamnya tidak selalu "seksi". Para penari dan koreografer berkarya untuk memuaskan dirinya dan penonton atau juri jika dalam sebuah perlombaan. Perlu diingat bahwa konteks dari "memuaskan penonton" bukan berarti nafsu penonton. Penari dan koreografer ingin membuat sebuah karya seni, itulah tujuan utama tari.
"Mau menunjukkan ke semua orang kalau balet itu bukan cuma sexy clothes atau sexy everything," tutur Aurel.
Peluang Kecil bagi Laki-laki Penghalang terakhir yang tidak kalah populer adalah sebuah pemikiran masyarakat Indonesia bahwa jika para lelaki menari, ia adalah gay. Stigma ini mayoritas muncul dalam jenis tarian yang "feminin" seperti balet. Stigma ini langsung disetujui keberadaannya oleh Aurel.
ADVERTISEMENT
Ia berkata bahwa teman-temannya yang merupakan penari laki-laki sudah banyak yang berkeluarga atau pacar perempuan. Teman-temannya itu banyak yang "normal" di Indonesia, yang heteroseksual. Ia juga bercerita bahwa banyak temannya yang laki-laki yang sebenarnya menyukai tari, namun, mereka takut dianggap "cemen" atau "softboy".
Menurut Aurel, stigma ini juga tidak hanya untuk jenis tarian yang "feminin". Ia berkata bahwa para teman laki-lakinya yang ingin mencoba tari hip-hop juga masih berpikir dua kali. Padahal, hip-hop itu merupakan jenis tarian yang sering memiliki gerakan yang "maskulin", yang "cowok banget". Ia juga berpendapat bahwa ada stigma kalau seorang laki-laki tidak bisa memiliki pekerjaan atau hobi yang "melembekkan" mereka. Toxic masculinity pun memiliki peran antagonis besar dalam tari.
ADVERTISEMENT
"'Memang cowok nari? Di sini saja nggak ada penari cowok,' ya bagaimana mau ada penari cowok kalau tidak dibolehkan?" ujarnya.
Penyebab kemunculan stigma ini, kemungkinan besar, karena masyarakat Indonesia kurang sadar bahwa, sebenarnya, penari laki-laki bukanlah hal yang tidak wajar. Hal ini terbukti saat Namarina, sanggar di mana Aurel menari, mewawancarai seorang penari balet laki-laki dari luar negeri. Mereka bertanya kepada penari itu mengenai apakah ia pernah dikucilkan karena ia seorang penari dan ia dengan mudahnya berkata bahwa ia sama sekali tidak pernah dikucilkan.
Selain itu, balet pun tidak pernah jauh dari penari laki-laki. Balet muncul pada kisaran tahun 1500-an dan salah satu tokoh yang mempopulerkan balet adalah seorang penari laki-laki bernama Jean-Georges Noverre. Ulang tahun Noverre juga dinobatkan sebagai Hari Tari Internasional. Tak hanya itu, kurikulum balet atau repertoire banyak yang dibuat untuk sepasang penari laki-laki dan perempuan dan juga banyak yang dibuat untuk laki-laki sendiri.
ADVERTISEMENT
Bahkan tidak usah jauh-jauh ke balet, dalam tarian tradisional Indonesia pun juga banyak yang melibatkan penari laki-laki. Seperti Tari Kecak yang sangat identik dengan banyaknya penari laki-laki atau Tari Saman yang sebenarnya dilakukan oleh penari laki-laki. Tarian tradisional berpasangan pun juga tidak akan terkesan romantis tanpa penari laki-laki. Harapan dari Para Penari Tiga stigma di atas merupakan penghalang terbesar dalam berkarya di dunia tari Indonesia. Untuk mendobrak stigma tersebut, tentunya membutuhkan sebuah keberanian yang besar baik dari pihak penari dan masyarakat. Aurel mengatakan bahwa sebuah harapan terbesar darinya dan teman-teman penari yang lain adalah bahwa mereka ingin diapresiasi oleh semua masyarakat. Harapan ini dapat dikatakan sebagai batu loncatan terbesar untuk mendobrak barier dunia tari di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Datang ke acara kita, tonton acara kita, dan ikut mempromosikan," tuturnya.
Selain itu, Aurel juga ingin balet lebih dikenal lagi oleh masyarakat Indonesia. Ia mengingatkan bahwa balet bukan hanya budaya luar, sudah banyak balet yang mencampur dengan budaya Indonesia. Dengan adanya gabungan antara balet dan tradisi Indonesia, ia harap masyarakat barat dapat mengenal lebih jauh tentang tradisi Indonesia karena balet sangat populer di sana.
Satu hal lagi yang Aurel harapkan untuk dunia tari di Indonesia adalah agar masyarakat menerima para penari dan seni itu tersendiri. Hal ini memang langkah perubahan yang tersulit, namun, Aurel ingin sekali agar semua orang tahu bahwa gender bukanlah penghalang dalam tari.
Yuk, kita dobrak barier dunia tari di Indonesia agar semua orang dapat berkarya dan bereskpresi lewat tari!
ADVERTISEMENT