Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Keliru Fatal Konsep Demokrasi Santun
17 November 2024 15:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rozy Brilian Sodik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2024, Presiden terpilih Prabowo Subianto memperkenalkan gagasan tentang "demokrasi santun." Prabowo menyatakan bahwa demokrasi yang diterapkan di Indonesia seharusnya menghindari hasut-menghasut, dilakukan secara sejuk, dan bebas dari kemunafikan. Sepintas, wacana demokrasi yang diajukan Prabowo terdengar positif. Namun, jika ditelisik lebih mendalam, retorika ini memberi pesan yang cenderung berbahaya dan berpotensi mendegradasi nilai demokrasi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di awal masa pemerintahannya, Prabowo seharusnya menentukan arah strategis demokrasi, berangkat dari permasalahan eksisting. Saat ini, indeks demokrasi Indonesia mengalami stagnasi yang signifikan bahkan sempat mengalami fase terburuk sejak reformasi. Sebagai contoh, berdasarkan laporan Economic Intelligence Unit (EIU), Indonesia masih dikategorikan sebagai negara dalam kondisi cacat (flawed democracy), dilihat dari lima dimensi yakni proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik dan kebebasan sipil (civic space).
Alih-alih fokus untuk membenahi catatan buruk tersebut, embel-embel demokrasi santun yang diwacanakan Prabowo justru akan sangat berbahaya pada situasi kebebasan berpendapat di Indonesia. Beberapa hari setelah dilantik saja, muncul kasus pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga (BEM FISIP Unair). Dalam kasus ini, pembekuan dilakukan oleh Dekan setelah kritik berupa karangan bunga yang dianggap terlalu kasar dan tidak sesuai dengan kaidah akademis.
ADVERTISEMENT
Alasan serupa pernah muncul di kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar setelah mengkritik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan atas dugaan keterlibatannya pada ‘permainan’ izin tambang di Papua. Saat itu, Luhut melaporkan dua aktivis HAM tersebut ke Polda Metro Jaya karena merasa dilecehkan nama baiknya. Setelah memberikan kesaksian di persidangan, Luhut juga menyebut konsep serupa bahwa demokrasi tidak ada yang absolut dan harus dijalankan dengan etika.
Legitimasi Kepemimpinan Anti-kritik
Lewat ucapannya soal ‘demokrasi santun’, Prabowo sebetulnya sedang menunjukkan kultur kepemimpinan yang anti kritik. Konsep demokrasi, idealnya menghendaki adanya check and balances antara rakyat sebagai pemegang kedaulatan terhadap penguasa agar terhindar dari kesewenang-wenangan. Membatasi atau mereduksi standar demokrasi dalam hal ini partisipasi, sama saja dengan merestui pemerintah agar bersikap koruptif.
ADVERTISEMENT
Lagipula, penggunaan frasa ‘santun’ dalam ruang publik sebetulnya kurang tepat. Santun atau kesopanan umumnya adalah standar dalam hubungan interpersonal, di mana yang lebih muda menghormati yang lebih tua. Sementara, dalam ‘alam’ demokrasi, relasi yang terbangun adalah antara penguasa dan pemegang kedaulatan. Pemangku kewajiban (duty bearer) dalam hal ini pemerintah dapat diingatkan dan dikritik sekeras-kerasnya kapanpun selama pemegang kedaulatan merasa kinerja yang dilakukan melenceng dari yang seharusnya. Berpendapat pun harus dilakukan sekeras-kerasnya, terlebih ketika telah menyangkut kepentingan publik seperti halnya alokasi uang pajak hingga kebijakan yang menyusahkan rakyat.
Ke depan, sangat dikhawatirkan, karena alasan kritik yang tidak disampaikan secara santun, muncul kasus-kasus represi baik yang dilakukan oleh Kepolisian hingga sesama masyarakat. Frasa demokrasi santun akan dinormalisasi, bahkan menjadi legitimasi bagi aparat untuk membungkam kritik dari publik. Fenomena ini juga dapat berdampak buruk, karena masyarakat akan lebih fokus pada metode penyampaian kritik—apakah sudah santun atau belum—bukan pada substansi kritik itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Padahal, standar etika dan moral bersifat sangat abstrak dan tidak memiliki ukuran yang jelas. Anggapan mengkritik harus beretika hanya akan membuat masyarakat makin bingung bahkan takut dalam menyuarakan aspirasinya. Pemerintah yang jauh dari aspirasi masyarakat, hanya akan mengembalikan model kepemimpinan otoritarian sebagaimana yang terjadi di orde baru. Terlebih, Prabowo telah menunjukkan berbagai indikasinya, mulai dari merebaknya militerisme hingga memberi pesan ‘jangan mengganggu’ pada mereka yang tak mau bekerja sama dalam pemerintahan.
Salah Fokus
Dalam demokrasi, khususnya dalam rezim kebebasan berpendapat, pemerintah seharusnya mencari jalan terbaik untuk memperkuat demokrasi dan penikmatan hak masyarakat, bukan justru menaruh perhatian pada pembatasan-pembatasan yang akan berimplikasi pada pelemahan demokrasi itu sendiri.
Sejauh ini, fenomena pelemahan demokrasi terus terjadi di akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga dimulainya era kepemimpinan Prabowo. Hal tersebut paling nyata ditandai oleh nihilnya oposisi formil di parlemen hingga serangan terus menerus pada kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Represi oleh aparat tak kunjung berhenti, utamanya terhadap mahasiswa, buruh dan elemen masyarakat yang berdemonstrasi di ruang publik. Ruang kebebasan pun terus tereduksi di ranah digital, ditandai oleh masifnya serangan terhadap pembawa pesan kritik. Sebagai contoh, Najwa Shihab menjadi bulan-bulanan netizen di aplikasi TikTok setelah turut menyuarakan aksi peringatan darurat. Bukan hanya doxing, pembunuhan karakter dan sentimen rasial turut didapatkan oleh Najwa. Jika diukur lewat parameter sebagian orang, berbagai serangan, terlebih sifatnya personal hingga kekerasan yang dilakukan aparat, tentu jauh dari kaidah kesopanan.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi demokrasi yang amburadul ini, negara idealnya berperan krusial untuk mewujudkan ruang sipil yang terbuka (open civic space). Masyarakat pun mengharapkan adanya perlindungan dan penciptaan ruang aman bagi mereka untuk terus mengkritik. Dan bersikap ‘santun’ seperti yang disebut Prabowo hanya akan menjauhkan fokus utama dari permasalahan untuk menagih akuntabilitas penyelenggaraan negara. Jika sejak dulu Indonesia menerapkan demokrasi santun, maka kemungkinan besar tidak akan ada momentum bersejarah seperti Reformasi 1998.
Dalam rezim Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan berpendapat dalam masyarakat demokratis (democratic society) memang tidak berlaku secara absolut. Berbagai hak tersebut dapat dibatasi, selama tunduk kepada ketentuan perundang-undangan dan standar HAM internasional yang berlaku secara universal. Sebagai contoh, dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), khususnya Pasal 19 ayat (3) diatur bahwa pembatasan atas dilakukan sepanjang diperlukan untuk menghormati hak atas nama baik orang lain, melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral publik. Dalam konteks melindungi moral publik (public moral), pemerintah pun dituntut untuk sangat hati-hati dan pembatasan diperuntukkan hanya untuk melindungi nilai-nilai fundamental di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, melimitasi demokrasi harus santun jelas salah kaprah dan suatu pemahaman yang keliru. Keyakinan atas argumentasi ini hanya akan menempatkan situasi demokrasi Indonesia jauh dari demokrasi substantif, bahkan manipulatif.