Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mematangkan ‘Infrastruktur’ Negara Otoritarian
29 Agustus 2024 6:28 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rozy Brilian Sodik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo kini hanya tersisa kurang dari dua bulan. Waktu yang sangat singkat untuk memastikan seluruh warisan pemerintahan dapat dikenang dan diingat. Pertanyaan krusialnya, apa yang akan Jokowi wariskan, terutama dalam aspek demokrasi?
ADVERTISEMENT
Perlu diakui, Jokowi telah membangun infrastruktur fisik seperti jalan tol, bandara, hingga pelabuhan. Namun, dalam perjalanannya, sifat developmentalisme yang terkait dengan arus masuk investasi ini seringkali problematis, seperti yang terjadi dalam implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang di berbagai kasus berujung pada konflik agraria dan kekerasan terhadap masyarakat.
Selain itu, Jokowi mungkin akan diingat sebagai 'arsitek' yang turut bertanggung jawab atas carut-marut situasi kebangsaan, khususnya dalam bidang demokrasi. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga berbagai produk hukum yang minim partisipasi publik sulit dihilangkan dari ingatan. Puncaknya, anaknya, Gibran Rakabuming Raka, diberi 'karpet merah' untuk berkontestasi dalam Pemilihan Presiden 2024, mendampingi Prabowo Subianto.
Dinasti politik Jokowi hanya merupakan salah satu manuver politik yang berdampak negatif terhadap demokrasi. Merujuk pada Economist Intelligence Unit, yang dengan baik menggambarkan situasi demokrasi, terutama dalam proses elektoral, partisipasi politik, hingga kebebasan sipil (civil liberties), lembaga ini konsisten menyebut Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy). Bahkan, beberapa akademisi tidak ragu menyebut bahwa Indonesia telah terjerembab dalam jurang otoritarianisme.
ADVERTISEMENT
Menjelang peralihan pemerintahan, Jokowi terus memproduksi kebijakan yang berpotensi merosotkan demokrasi, alih-alih mengambil langkah populis untuk memperbaiki situasi di akhir masa kekuasaannya. Namun, penting disadari bahwa berbagai siasat politik yang perlahan mengembalikan rezim diktator ala orde baru merupakan investasi jangka panjang.
Merujuk pada Professor Harvard University, Grzegorz Ekiert, pergeseran rezim diktator didorong oleh pemimpin otoriter yang lepas dari kendali dan secara bertahap menghancurkan lembaga-lembaga independen serta prinsip check and balances, sembari memobilisasi kekuatan anti-liberal.
Gambaran tersebut hampir persis terjadi, setidaknya dalam tiga bulan terakhir menjelang pergantian jabatan Presiden. Penulis melihat setidaknya ada tiga indikasi bahwa infrastruktur negara otoritarian telah dimatangkan sebelum akhirnya Prabowo-Gibran resmi dilantik. Pertama, melemahnya aktor-aktor pengawasan; kedua, menguatnya pendekatan keamanan; dan ketiga, normalisasi penyimpangan yang dimanipulasi seakan-akan sebagai sesuatu yang benar.
ADVERTISEMENT
Ketiga tren ini akan dicatat sebagai bagian dari warisan infrastruktur untuk menguatkan dominasi dan pengaruh pemerintahan. Bukan tidak mungkin, residu dalam skala besar akan bermunculan. Bencana demokrasi akan terjadi secara bertahap, terutama di tengah konsolidasi politik elite yang terus menguat.
Kekuasaan Minim Pengawasan
Gejala otoritarianisme yang paling mencolok adalah runtuhnya check and balances sebagai pilar penting dalam masyarakat demokratis. Selain amburadulnya fungsi kelembagaan seperti KPK, cabang-cabang kekuasaan lain pun tidak luput dari intervensi politik. Sebagai contoh, Mahkamah Konstitusi yang seharusnya independen dan imparsial dalam memutus perkara terbukti melakukan pelanggaran etik saat menerbitkan putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia Capres-Cawapres.
Melemahnya pengawasan terhadap pemerintah juga tercermin dari redupnya kekuatan oposisi di parlemen. Mereka yang di luar kekuasaan dilenyapkan perlahan-lahan lewat ajakan menjadi partai pendukung pemerintah. Akibatnya, daya kritis DPR menyusut dan tak lebih hanya menjadi 'tukang cap' kebijakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Perangkat lainnya adalah penggunaan instrumen hukum untuk membungkam suara kritis. Masyarakat sipil diharapkan terus diam karena pasal-pasal karet siap digunakan untuk menjerat kriminalisasi. Sebut saja Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang, meskipun sudah direvisi, masih menyimpan potensi berbahaya. Belum lagi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku pada tahun 2026.
Media, sebagai pilar keempat negara demokrasi, sering kali dikontrol, dan perlindungan terhadap jurnalis sangat lemah. Setiap tahun, selalu ditemukan kasus persekusi terhadap wartawan, hingga berkembangnya wacana untuk menghapus jurnalis investigasi lewat revisi UU Penyiaran.
Absennya pengawasan, baik dari lembaga formal maupun publik, hanya akan berimplikasi pada tersentralisasinya kekuasaan. Kekuasaan otoriter di mana pun tentu memimpikan situasi ini, agar penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan dapat lebih mudah dilakukan.
ADVERTISEMENT
Penguatan Aktor Keamanan
Meluasnya sel-sel otoritarianisme semakin jelas terlihat melalui agenda revisi UU Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam draf yang diajukan, tepatnya pada Pasal 47 ayat (2), disebutkan bahwa prajurit aktif dapat menempati posisi di kementerian/lembaga sesuai kebijakan Presiden.
Bunyi pasal tersebut tentu dihadirkan untuk melegitimasi kembalinya militer ke ranah sipil, sebagaimana terjadi di rezim militeristik orde baru. Panglima TNI bahkan secara terbuka mengakui bahwa situasi saat ini bukan lagi dwifungsi, melainkan multi-fungsi TNI.
Presiden terpilih, Prabowo Subianto, seolah 'mengiyakan' dengan menyatakan bahwa keamanan nasional akan menjadi prioritas dalam pemerintahannya. Pernyataan ini dapat dimaknai secara lebih luas sebagai komitmen untuk memberikan tempat dan peran lebih kepada aktor keamanan seperti TNI.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya RUU TNI, revisi UU Polri pun tidak kalah problematik. Institusi Bhayangkara akan mendapat kewenangan lebih, termasuk melakukan surveillance tanpa pengawasan yang memadai. Padahal, penyadapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas privasi dan berbahaya bagi kebebasan sipil.
Kedua produk hukum ini merupakan wujud dari legislasi otokratik, karena disusun tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Secara substansial, kedua revisi ini akan mengukuhkan dominasi aktor keamanan dan semakin menjauhkan dari semangat reformasi. Padahal, hakikat demokrasi liberal menghendaki adanya pembatasan kekuatan militer beserta pendukungnya.
Hentikan Normalisasi Penyimpangan
Satu fenomena yang makin marak belakangan ini adalah manipulasi narasi. Masyarakat akhirnya semakin sulit untuk menentukan kebenaran. Situasi ini dimanfaatkan oleh penguasa untuk memuluskan agenda politiknya. Terbaru, influencer mendapat ruang yang besar untuk mempromosikan Ibu Kota Nusantara di saat kritik tajam mengarah pada proyek tersebut.
ADVERTISEMENT
Lebih berbahaya lagi, masyarakat seakan terbelah. Mereka yang membenarkan penyimpangan dianggap sebagai representasi pandangan publik yang organik. Di sisi lain, mereka yang menyeimbangkan diskursus yang sedang dibangun oleh negara justru mendapat serangan, dari framing buruk hingga doxing.
Fenomena ini menyebabkan masyarakat diliputi ketakutan. Di saat yang bersamaan, permasalahan datang silih berganti, sehingga perlahan membuat masyarakat apatis dan enggan untuk bicara.
Dengan demikian, perangkat negara otoritarian yang hampir sempurna telah disiapkan bagi Prabowo saat ia memimpin nanti. Seluruh agenda akan berjalan mulus tanpa hambatan ketika pengawasan dihilangkan, kebijakan didukung oleh aktor keamanan, dan narasi yang mudah diputarbalikkan.
Sampai di sini, peran masyarakat sipil menjadi sangat esensial. Akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, hingga media beserta elemen masyarakat lain yang terkonsolidasi seperti buruh dan petani, harus mencegah penyimpangan sejak dini. Pemerintah pun harus memberikan ruang yang aman bagi oposisi untuk melakukan kritik, meskipun tajam menghujam ‘jantung’ kekuasaan.
ADVERTISEMENT