Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketika Ideologi Partai Menjadi Ilusi
31 Mei 2021 21:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rudi Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perbincangan perihal ideologi partai politik kembali menghangat setelah Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto , melontarkan pertanyaan ketidakmungkinan terjalinnya koalisi antara PDIP dengan Partai Demokrat dan PKS lantaran tidak mempunyai kesamaan ideologi. Sontak pernyataan itu mendapatkan respons dari politisi Demokrat.
ADVERTISEMENT
Adalah Andie Arief yang tegas mengatakan jika menjalin koalisi dengan PDIP hanya mendatangkan kerugian terhadap Demokrat. Sebab citra PDIP belakangan ini cukup bermasalah dikarenakan kasus korupsi yang melibatkan kader partai. Mendiskreditkan pihak lain dan/atau melakukan pembelaan diri dari serangan adalah lumrah dalam panggung politik.
Karenanya yang menarik untuk ditelisik lebih jauh, dalam konteks ini, bukan mengenai statement yang terlontar dari masing-masing pihak. Lebih dari sekadar itu, yang menarik ditelisik adalah sejauh mana klaim Hasto Kristiyanto menemukan justifikasi empiriknya. Apakah pembentukan koalisi kepartaian di Indonesia pasca Orde Baru di determinasi faktor ideologis atau justru oleh kepentingan elite (partai)?
Sejak kelahiran rezim pemilihan umum langsung, pada 2004 lalu, pembentukan koalisi kepartaian tampak menampilkan paradoks. Di satu sisi, pembentukan koalisi kepartaian di aras nasional tidak selalu sama dengan realisme politik di tingkat lokal. Sedangkan pada sisi yang lain, kontrasnya kepentingan dari masing-masing partai telah melahirkan poros koalisi yang rapuh.
ADVERTISEMENT
Pertentangan Demokrat dengan PDIP di pentas nasional membuat keduanya sangat sulit disatukan dalam biduk koalisi. Namun perkara ini justru tidak berlaku dalam politik lokal, seperti Pilkada. Ketika pagelaran elektoral 2020 berlangsung, tercatat jika PDIP dengan Demokrat mampu menjalin koalisi di 32 daerah . Tentu soalnya di sini bukan tentang berapa jumlah, namun adanya koalisi menjadi fakta yang tidak dapat disangkal.
Terjalinnya koalisi PDIP dengan Demokrat di Pilkada 2020 lalu, lantas menyisakan pertanyaan: bagaimana peranan ideologi dalam proses pembentukan poros koalisi? Tidakkah dengan adanya fakta koalisi menunjukkan kepentingan tertentu dari kedua partai yang masih bisa disatukan? Untuk itu diferensiasi ideologi, seperti kata Hasto Kristiyanto, hanya bisa diterima sebagai klaim namun tidak sebagai fakta!
Bersilat Lidah
ADVERTISEMENT
Pemilu 2019 merupakan antagonisme elite yang memicu lahirnya polarisasi masyarakat ke dalam dua kutub yang ekstrem. Koalisi TKN dan BPN tampil dengan wajah yang begitu kontras layaknya air dengan minyak yang tak mungkin menyatu. Kontestasi yang berlangsung sengit rupanya tidak mencerminkan antagonisme ideologis dalam arti sesungguhnya.
Sejak awal penjajakan poros koalisi dilakukan. Hampir semua partai berbicara soal nama tetapi tidak menyangkut nilai, cita-cita dan keyakinan. Tidak heran jikalau kemudian publik dibuat kaget dengan munculnya Sandiaga Uno, “penjegalan” Mahfud MD, dan pada akhirnya partai politik dipaksa menerima realita politik yang ada, dengan tetap melanjutkan koalisi, sebab kondisi tidak memungkinkan membentuk poros ketiga.
Munculnya Jokowi-Maruf dan Prabowo-Sandi ke hadapan publik membuat rakyat tidak ubahnya seperti seorang tamu yang sediakan makanan oleh tuan rumah. Di titik ini tamu hanya mempunyai dua pilihan: menyantap, atau tidak sama sekali, hidangan yang sudah disediakan tuan rumah. Akan tetapi, apakah seorang tamu dapat menentukan menu makanan apa yang seharusnya dihidangkan di atas meja? Tentu saja, tidak!
ADVERTISEMENT
Tetapi rakyat bukanlah tamu yang sekadar memilih calon kandidat yang sudah disediakan elite politik. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan dalam alam demokrasi, yang dengan itu seharusnya terlibat menentukan siapa yang seharusnya diorbit sebagai calon kandidat, sebelum akhirnya para kandidat itu dipilih. Memberi kesempatan untuk memilih, tapi tidak terlibat dalam menentukan proses kandidasi merupakan cerminan dari terkooptasinya demokrasi oleh oligarki dan kartelisasi partai.
Tidak mengherankan jika setelah Pemilu usai, Gerindra kemudian memutuskan masuk dalam barisan pemenang Pemilu. Jika benar ideologi masih memiliki relevansi dalam dunia kepartaian, lantas, mengapa sikap politik PDIP saat Pemilu tidak dijadikan sebagai dasar untuk menolak kehadiran Gerindra dalam koalisi pemerintah? Bukannya memilih menolak, justru PDIP menyambut hangat Gerindra lewat diplomasi nasi goreng .
ADVERTISEMENT
Yang jadi soal, apakah sambutan hangat PDIP terhadap Gerindra adalah cerminan atas kesamaan ideologi kedua partai? Jika, benar. Untuk apa memilih trayek berbeda di Pilpres daripada menyatu dalam biduk koalisi? Di titik ini, tentu, ideologi tak menemukan relevansi untuk dijadikan dalih pembenaran. Karen koalisi kepartaian di Indonesia oleh Ambardi (2009) disebut menyerupai sistem kartel, yang ditandai hilangnya peran ideologi dalam menentukan arah koalisi partai.
Alhasil, bukannya terbentuk sebuah koalisi kepartaian yang kuat yang bersandarkan pada nilai dan cita-cita. Justru kuatnya kepentingan sempit elite politik menciptakan koalisi yang rapuh. Kasus PPP, PAN dan Golkar di periode pertama pemerintahan Jokowi, atau kasus Gerindra di periode kedua Jokowi merupakan cerminan akan ilusi ideologi sebagai faktor determinan bagi terbentuknya koalisi kepartaian.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya pandangan Hasto Kristiyanto sehubungan dengan diferensiasi ideologi sebagai sebab ketidakmungkinan terjalinnya koalisi PDIP dengan Demokrat lebih mencerminkan antagonisme yang tidak berkesudahan antara elite di masing-masing partai. Ini dapat dicermati lewat disharmoni antara Megawati dengan SBY yang disebabkan oleh preseden masa lampau.
Personifikasi Partai
Sulit untuk menyimpulkan bila PDIP akan menjalin koalisi partai dengan alasan-alasan ideologis. Wacana koalisi Gerindra dengan PDIP yang diproyeksikan akan menduetkan sosok Prabowo-Puan Maharani, semisal, telah diwarnai dengan isu lawas sehubungan dengan konsensus antara kedua pada Pemilu 2009 silam atau lebih dikenal dengan istilah perjanjian batu tulis.
Artinya jika nantinya kedua partai tersebut menyatu dalam biduk koalisi, maka tidak dapat disimpulkan kalau keduanya menyatu karena faktor ideologi: sama-sama nasionalis. Studi Burhanuddin Muhtadi secara tegas menyebut dalam hal kebijakan dan ideologi, partai politik di Indonesia nyaris tak bisa dibedakan. Satu-satunya pembelahan (division) dalam dunia kepartaian hanya menyangkut seberapa besar mendudukkan peranan agama dalam kehidupan publik.
ADVERTISEMENT
Jika dicermati hampir semua partai mengeklaim dirinya nasionalis atau religius, atau penggabungan atas keduanya. Maka itu, wacana yang digaungkan Hasto Kristiyanto, betapa pun tidak bisa dipisahkan dari perkara disharmoni hubungan antara Megawati dengan SBY. Keduanya tidak cuma tampil sebagai figur pemimpin atau pengelola partai, melainkan telah menjadi citra dari partai itu sendiri–suatu kondisi yang mencerminkan gejala personifikasi partai politik.
Maka, apa dan bagaimananya hubungan dari kedua figur sentral di masing-masing partai, akan sangat menentukan arah dan sikap politik partai, utamanya dalam hal koalisi kepartaian. Alih-alih karena pertimbangan ideologis.