Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Anak Muda, Jadikan Membaca Buku Sebagai Teman Mental Health-mu
8 Desember 2024 14:10 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Rochmad Widodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada ungkapan menarik tentang membaca buku yang banyak mencuri perhatian dan menjadi viral di berbagai media dari Prof. Karlina Supelli, seorang filsuf dan salah satu astronomer perempuan pertama di Indonesia. “Kegiatan membaca buku, tidak bisa digantikan dengan TikTok atau menonton film. Karena kerja otak itu, hanya bisa dilatih menjadi tajam kalau otak itu berdialog. Contohnya dengan membaca buku,” ungkap Karlina Supelli di Instagram @bukukompas.
ADVERTISEMENT
Aktivitas membaca buku memang memiliki sejumlah kelebihan tersendiri dibandingkan dengan menonton, apa pun itu, apakah video-video TikTok, Instagram, Facebook, YouTube, atau bahkan film sekalipun. Banyak ahli mengungkap fakta, bahwa kegiatan menonton cenderung membuat otak bersifat pasif. Karena pada saat menonton aktivitas otak hanya menerima atau menikmati informasi dari apa yang ditonton melalui media audio visual. Sedangkan membaca, merangsang otak bersifat aktif. Karena saat membaca, otak akan aktif menggali informasi, menganalisis, mengimajinasikan, mengkonstruksikan data-data ke fakta dan realita di kehidupan. Bahkan seringkali diilustrasikan, saat kita membaca buku sejatinya seperti sedang berdialog secara imajiner dengan penulisnya.
Membaca buku pun sebenarnya memiliki tingkatan berbeda dengan membaca artikel atau tulisan-tulisan berita di berbagai media. Karena setiap buku membangun konsepsi pembahasan secara mendalam, pembahasan yang utuh, dan tuntas atas topik yang menjadi pembahasan. Adapun berita atau artikel, lebih kepada sekadar informasi atau pembahasan yang sifatnya parsial. Itulah mengapa, buku memberikan pemahaman yang utuh bagi pembaca dan berbeda dengan bacaan lainnya. Demikian halnya dengan berbagai pembahasan suatu topik di media sosial atau podcast di YouTube. Atas dasar itu jugalah, kemudian setiap pengukuran daya literasi selalu dengan seberapa banyak membaca buku.
ADVERTISEMENT
Mental Health dan Generasi Strawberry
Tidak bisa dipungkiri, anak-anak muda sekarang memang dunianya berbeda dengan orang-orang yang lahir pada generasi-generasi sebelumnya. Umumnya mereka terlahir dari keluarga lebih sejahtera. Mereka juga tumbuh seiring dengan kamajuan dunia digital yang sangat pesat. Kehidupan mereka diwarnai dengan media sosial yang banyak mempengaruhi gaya hidupnya. Hari-hari mereka tidak pernah terlepas dari gadget dan menyajikan beragam informasi. Keberadaan kemajuan teknologi, memanjakan mereka dengan berbagai kemudahan.
Namun hal itu sekaligus menjadi seperti dua sisi mata uang, bernilai positif dan negatif. Di sisi lain positifnya, mereka menjadi anak-anak yang memiliki daya inovasi dan kreativitas yang tinggi. Memiliki kecakapan dalam memanfaatkan kemajuan teknologi. Akan tetapi di sisi tertentu, mereka memiliki kelemahan dari sisi mental dan ketahanan juang. Mereka cenderung lemah dan rapuh. Hingga generasi anak muda sekarang, kerapkali diistilahkan sebagai generasi strawberry (strawberry generation).
ADVERTISEMENT
Menurut ycabfoundation.org, awal mula muncul istilah generasi strawberry sendiri adalah dari Taiwan. Alasan pemilihan buah strawberry sebagai penyebutan generasi baru ini karena dianggap mewakili gambaran mereka, layaknya seperti buah strawberry yang tampak indah dan eksotis, akan tetapi sangat mudah sekali hancur jika ditekan. Demikian juga anak-anak muda generasi baru saat ini, yang mentalnya cenderung rapuh dan mudah hancur.
Padahal di tengah usia mereka yang memasuki fase peralihan dari remaja menuju dewasa, tantangannya cukup berat. Mereka harus menghadapi berbagai problem kehidupan sebagai orang dewasa, seperti percintaan, karier, keluarga, dan juga finansial. Yang semua itu menuntut mereka untuk bersikap lebih dewasa, tangguh, dan penuh tanggung jawab. Tak mengherankan, jika kemudian pada fase ini mereka menjadi mudah mengalami kondisi krisis emosional, seperti depresi, frustrasi, terjebak dalam kecemasan, tidak bahagia, bingung, ketakutan, dan terkadang sampai merasa sulit keluar dari berbagai emosi negatif itu. Yang kemudian fase ini dijelaskan dalam artikel Dini Fadillah (clsd.psikologi.ugm.ac.id, 12/11/2021), sering disebut juga dengan istilah Quarter Life Crisis (QLC).
ADVERTISEMENT
Idealnya dalam menghadapi QCL, anak-anak muda mengkonsultasikannya kepada para ahli, apakah ke psikolog atau konselor. Minimal setidaknya kepada orang tua atau orang-orang dewasa yang dipercaya memiliki kebijaksanaan dan berpengalaman. Namun umumnya kecenderungan anak muda, ketika di tengah kondisi emosional tidak stabil lebih banyak lari kepada teman. Mereka lebih nyaman meluapkan keresahan, kemarahan, kesedihan, kekecewaan, dan berbagai emosi negatif lainnya, dengan curhat kepada teman yang dianggap dekat.
Di sisi lain, itu bukan sebuah kesalahan, namun tidak juga sepenuhnya tepat. Karena tak selalu seorang teman bisa memberikan nasihat atau arahan yang tepat. Naasnya, jika temannya tidak bisa menjaga amanah untuk tidak menceritakan kepada orang lain. Justru bisa menimbulkan masalah lain. Yang memprihatinkan lagi, terkadang banyak juga ketika tidak mencurahkan permasalahannya kepada teman, justru diumbar ke media sosial yang justru dampak buruknya lebih besar.
ADVERTISEMENT
Terkadang karena tidak mau menanggung banyak risiko, sebagian anak muda akhirnya memendam emosi negatifnya sendiri, memilih diam, lalu berusaha melakukan self diagnosis tanpa melibatkan seorang ahli. Tapi dengan mengandalkan informasi yang beredar di sosial media, apakah TikTok, Instagram, atau pun YouTube yang membahas berbagai topik mental health (kesehatan mental). Mereka menyerap berbagai informasi itu layaknya spons menyerap air. Padahal semua informasi belum tentu tepat dan disampaikan bukan dari seorang ahli. Kemudian mereka mencoba mencocok-cocokkan dengan apa yang terjadi kepada dirinya. Langkah ini pun berisiko dan rentan terjadi kesalahan diagnosis. Alih-alih mendapatkan ketenangan dan bisa meredakan emosi negatifnya, justru bisa menjadi overthingking dan mengalami kecemasan. Karena banyak di media sosial yang mendadak menjadi seolah pintar berbagi tips, namun tanpa latar belakang keahlian.
ADVERTISEMENT
Ada satu alternatif lain yang bisa dijadikan pilihan solusi sebagai teman anak-anak muda ketika dalam kondisi emosional tidak stabil atau sedang mengalami berbagai emosi negatif, yaitu dengan membaca buku. Buku bisa dijadikan sebagai teman untuk mengurangi stres dan kecemasan, digunakan untuk pengembangan diri, sekaligus juga bisa untuk melatih kemampuan memecahkan masalah. Dalam ilmu psikologi, terapi dengan menggunakan bahan bacaan seperti buku dan cerita, sebagaimana dalam artikel dr. Airindya Bella (allodokter.com, 26 Juni 2023), sering juga disebut sebagai ‘Biblioterapi’.
Multimanfaat Berteman dengan Buku
Layaknya sebagai teman, buku bisa dijadikan sebagai teman yang baik, yang senantiasa menemani di kala suka maupun duka. Bahkan juga sebagai support system dalam tumbuh dan berkembang menjadi versi yang lebih baik di dalam kehidupan. Ketika sedang ‘gabut’ dan ingin hiburan, bisa membaca buku-buku jenis fiksi, seperti novel, kumpulan cerpen, dan lain sebagainya. Adapun ketika sedang ada banyak masalah, bisa membaca buku-buku self help, buku motivasi, biografi, atau berbagai jenis buku pengembangan diri lainnya. Karena itulah, seorang novelis dan wartawan asal Amerika, Ernest Hemingway, pernah berkata, “Tidak ada teman yang setia seperti buku.” Sebagai gambaran positifnya menjadikan buku sebagai teman dalam berbagai kondisi di dalam kehidupan.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, seseorang saat membaca buku, mereka di otaknya akan berdialog. Menciptakan ruang imajinasi, refleksi, instrospeksi, dan juga menggali informasi. Ada banyak aktivitas yang dilakukan sekaligus saat orang sedang membaca. Termasuk juga menstimulusasikan rasa di dalam hati mereka atas apa yang dibaca. Atas alasan itu juga, dalam pembukaan Bandung Readers Festival 2019 dikatakan oleh Prof. Bambang Sugiharto, "dengan membaca (novel) seseorang akan tumbuh empatinya."
Di samping itu, banyak juga manfaat daripada membaca buku yang diungkap oleh para ahli di berbagai jurnal, artikel, maupun buku-buku khusus pembahasan tentang membaca. Sebagaimana dirangkum dalam artikel jurnal Dahlia Patiung (Al Daulah, Vol. 5/No. 2/Desember 2016), diantaranya melatih otak dan membuat otak berkembang, menambah wawasan dan pengetahuan, meningkatkan daya ingat, konsentrasi dan kemampuan dalam analisa, memperbanyak kosa kata, mengurangi kecemasan, memberikan ketenangan, meredakan stres, membangun kepercayaan diri, menjauhkan dari penyakit alzheimer, dan lain sebagainya. Pada intinya, bisa dikatakan berteman dengan buku memiliki multimanfaat.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi tentu dianjurkan agar berteman dengan buku, bukan berarti lantas tidak berteman di dunia nyata dengan orang lain, atau kemudian mengasingkan diri dari sosial. Justru berteman dengan buku, harus bisa dijadikan sebagai bekal untuk menjadikan pertemanan atau bersosialisasi dengan orang lain, menjadi lebih baik, sehat, dan bisa menularkan energi positif dari berbagai buku yang dibaca. Karena itulah hakikat tujuan utama dari membaca buku. []