Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Gen Z dan Alpha Melawan Bias Informasi
14 Oktober 2024 9:48 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Heru Wahyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Generasi Z dan Alpha mengalami tantangan besar tatkala menyaring dan menangkap informasi yang diterimanya. Bias informasi jadi salah satu gangguan yang mesti dihadapi dalam penjelajahan mencari kebenaran. Bias informasi bisa diartikan sebagai keinginan untuk menyuguhkan atau menafsirkan informasi secara tidak ilmiah, potensinya menimbulkan penyimpangan dalam pengetahuan dan pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
Gejala bias informasi semakin kentara di masa digital, di mana informasi tersebar dengan cepat dan masif lewat berbagai panggung media sosial dan situs berita online. Sebagian bentuk bias informasi yang acap kali kita temui antara lain bias konfirmasi, bias ketersediaan, bias kelompok, dan bias algoritma.
Bias konfirmasi, semisal, memaksa seseorang untuk mencari dan menafsirkan informasi yang mendukung keyakinan atau pendapat yang sudah ada, meremehkan bukti yang berseberangan. Sementara itu, bias algoritma memproduksi "echo chamber" atau "filter bubble" yang mempersempit kacamata pengguna media sosial dan mesin pencari.
Generasi Z dan Alpha, yang besar dalam jagat digital, sungguh rentan terhadap berbagai bias ini. Keduanya sering kali terpapar informasi yang belum terbukti dan bisa dengan mudah tertipu dalam lingkaran “pembenaran” bias lewat algoritma media sosial. Untuk memerangi provokasi ini, penting bagi kita untuk mengembangkan literasi digital dan kemampuan berpikir kritis.
ADVERTISEMENT
Karakteristik Gen Z dan Alpha
Generasi Z dan Alpha, sebagai digital natives sejati, punya cara unik dalam mengonsumsi informasi di zaman digital ini. Berikut beberapa karakteristik utamanya :
Generasi Z membuang waktu untuk mengakses media digital. Survei pada 1.177 responden Gen Z di Indonesia mengindikasikan bahwa mayoritas dari Gen Z mengakses media digital lebih dari 8 jam per hari, (R. A. Asmarantika et al 2022). Sementara itu, Generasi Alpha bahkan lebih “getol” lagi dalam mengkonsumsi teknologi, dengan sekitar 25% anak usia 5-7 tahun sudah punya smartphone sendiri.
Media sosial menjadi pintu Gen Z dalam berburu informasi dan berita. Sebanyak 71% responden Gen Z mengaku mendapat informasi dari media sosial. Untuk Generasi Alpha, opsi seperti YouTube, TikTok, dan aplikasi game interaktif menjadi sumber hiburan dan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Gen Z condong terpapar informasi secara tak sengaja lewat media sosial (incidental news exposure), baru belakangan melakukan pencarian lebih dalam dari berbagai sumber. Generasi Alpha lebih menyukai konten yang interaktif dan berisi unsur gamifikasi atau permainan.
Walaupun Gen Z memuji kecepatan informasi, Gen Z lebih mendahulukan kualitas konten dan kredibilitas media saat menyortir sumber informasi. Generasi Alpha, yang besar dengan teknologi yang lebih canggih, diperkirakan akan punya ekspektasi lebih tinggi pada personalisasi dan kualitas konten.
Kedua generasi ini memperlihat kepedulian tinggi pada isu-isu sosial dan lingkungan. Keduanya berminat memakai media digital untuk mencari informasi dan terlibat dalam kegiatan digital.
Gen Z dan Alpha biasa dengan multitasking digital, kendati hal ini juga berimbas pada rentang ketertarikan yang cenderung lebih pendek. Keduanya lebih menggemari konten yang singkat, padat, dan visual.
ADVERTISEMENT
Generasi ini lebih suka melacak jawaban sendiri lewat sumber online daripada bergantung pada orang lain. Hal ini memotivasi kemerdekaan dalam belajar dan mengeksplorasi berbagai topik.
Keunikan ini mencetak cara Gen Z dan Alpha berinteraksi dengan dunia digital. Keduanya tak sekedar jadi konsumen pasif, tapi juga kreator konten digital. Kemampuannya untuk memfilter informasi dan berpikir kritis akan jadi kiat dalam menyongsong banjir informasi.
Dampak Bias Informasi
Bias informasi sudah jadi fenomena yang kian meresahkan, apalagi bagi generasi muda yang tumbuh dengan akses informasi yang tak terbatas. Dampaknya pada penciptaan opini dan perlu kita awasi dengan seksama.
Pertama, bias informasi dapat menyebabkan polarisasi opini yang berlebihan di kalangan generasi muda. Algoritma media sosial yang membangun "echo chamber" menjadikannya cenderung terpapar informasi yang sesuai dengan opininya sendiri, sehingga memperkuat “fanatisme” yang sudah ada dan mempersulit dialog positif dengan pihak yang berbeda pendapat. Hal ini bisa mengakibatkan terbentuknya kelompok-kelompok yang saling berseberangan dan sulit untuk mencapai kecocokan dalam isu-isu penting.
ADVERTISEMENT
Kedua, bias informasi berpotensi menghambat perkembangan pemikiran kritis. Generasi muda yang terbiasa menerima informasi yang sesuai dengan pilihannya mungkin akan sulit untuk mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda atau mengevaluasi informasi secara benar. Resikonya, kemampuannya untuk menganalisis masalah secara matang dan membuat keputusan yang benar dapat terganggu.
Ketiga, bias informasi dapat menyebabkan penyebaran misinformasi dan disinformasi yang cepat di kalangan generasi muda. Riset membuktikan bahwa berita palsu menyebar 6 kali lebih cepat daripada berita yang akurat di media sosial. Generasi muda yang terpapar bias informasi mungkin lebih rentan untuk mempercayai dan membagikan informasi yang belum terverifikasi, terutama jika informasi tersebut sesuai dengan pandangannya.
Keempat, bias informasi dapat mempengaruhi persepsi generasi muda pada realitas sosial dan politik. Misalnya, jika terus-menerus terpapar berita negatif tentang suatu kelompok atau isu tertentu, hal ini dapat membentuk stereotip dan prasangka yang tidak berdasar. Akibatnya, pemahaman tentang peliknya masalah sosial dan politik jadi bias.
ADVERTISEMENT
Kelima, bias informasi juga dapat berdampak pada kesehatan mental generasi muda. Paparan terus-menerus pada informasi yang bias, terutama yang bersifat negatif atau mengkhatirkan, dapat meningkatkan tingkat kecemasan dan stres. Hal ini bisa mempengaruhi ketentraman emosional dan kemampuan untuk berinteraksi secara positif dengan lingkungan sekitar.
Untuk mengikis dampak negatif ini, mesti ada usaha bersama dari berbagai pihak. Sejatinya, institusi pendidikan harus memperkuat kurikulum literasi digital dan pemikiran kritis. Orang tua dan pendidik perlu aktif membimbing generasi muda dalam mengevaluasi sumber informasi. Media sosial juga mesti bertanggung jawab dalam membatasi penyebaran informasi yang menyesatkan. (*)