Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hak Tenurial Masyarakat Adat Penuh Aral
4 September 2020 16:45 WIB
Tulisan dari Sadam Afian Richwanudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masih segar dalam ingatan kita penangkapan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing di Kalimantan Tengah beberapa waktu lalu. Hal ini menjadi ironi sebab belum lama dari peristiwa itu, kita memperingati hari masyarakat adat sedunia yang jatuh pada 9 Agustus. Meskipun tema utama dalam seremoni tersebut adalah bahasa adat, nampaknya tidak berlebihan jika kita juga menyinggung salah satu isu sentral bagi masyarakat adat khususnya di Indonesia, yaitu mengenai hak masyarakat adat terhadap sumber daya alam (SDA).
ADVERTISEMENT
Masyarakat adat sebagai salah satu komunitas yang mayoritas tinggal di daerah pedalaman yang masih terjaga kelestarian sumber daya alamnya, sering menghadapi masalah terkait hak tenurialnya. Hak tenurial sendiri secara umum merupakan hak yang dimiliki suatu subjek hukum terhadap pemanfaatan SDA yang berada dalam wilayahnya (Anne M.Larsson, 2013). Hak tersebut mencakup aspek yang luas terkait dengan siapa yang memiliki, memanfaatkan, mengelola, dan mengambil keputusan terkait sumber daya. Secara lebih praktis, suatu entitas diatur terkait hak akses, hak pakai, hak pengelolaan, hak eksklusif, maupun hak pengalihannya dalam mengelola SDA.
Persoalan menjadi pelik ketika permasalahan hak tenurial di lapangan melibatkan berbagai entitas yang memiliki power yang besar, seperti Pemerintah hingga korporasi besar. Tengoklah kasus di Kalimantan, di mana masyarakat adat setempat harus menerima kenyataan hutan karetnya di bulldozer oleh perusahaan sawit nasional. Atau di Sulawesi Selatan di mana seorang warga adat setempat harus dipenjara karena tidak tahu jika wilayah hutan yang ada di sekitar lingkungannya telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Fakta-fakta ini tentu cukup menggambarkan bagaimana tidak seimbangnya ‘pergulatan’ masyarakat adat jika yang menjadi lawannya adalah Negara dan korporasi yang memiliki kekuatan dan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada pendapat beberapa ahli hukum, di Indonesia hak tenurial yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat lebih dikenal dengan beschikkingsrecht atau hak ulayat. Secara prinsipal, mereka berhak dengan bebas melakukan tindakan pemanfaatan tanah seperti dengan membuka tanah, mendirikan tempat tinggal, mengumpulkan bahan makanan, berburu, dan sebagainya dalam wilayah teritorinya. Akan tetapi, karena dalam perkembangannya muncul berbagai aturan legislasi nasional maka hak ini menjadi adaptif, fleksibel, dan dinamis.
Dalam sejarahnya, UU No 41/1999 tentang Kehutanan mengkategorikan hutan adat sebagai bagian dari hutan Negara. Sebagai implikasinya, Negara memiliki hak menguasai yang sangat kuat. Konsekuensi dari norma tersebut adalah dimungkinkannya Negara memberikan hak-hak atas tanah di wilayah adat kepada subyek hukum tertentu tanpa disertai adanya persetujuan dari masyarakat hukum adat setempat. Lebih riskan lagi, Negara juga dapat melakukan tindakan tersebut tanpa adanya kewajiban hukum untuk membayar kompensasi kepada adat yang terdampak. Hal ini sangat merugikan masyarakat hukum adat yang terkena dampak dari berbagai proyek pemerintah maupun korporasi berskala besar yang dapat membuat mereka kesulitan untuk mencari sumber makanan maupun penghasilan mengingat ketergantungan yang tinggi pada alam.
ADVERTISEMENT
Angin segar berhembus ketika pada 2012 Mahkamah Konstitusi mengubah arah pengaturan mengenai hutan adat. Kawasan yang tadinya masuk dalam kategori hutan Negara tersebut kini menjadi kawasan hutan hak. Artinya masyarakat hukum adat memiliki hak sepenuhnya untuk mengelola kawasan hutan yang masuk dalam teritori hutan adat. Meskipun begitu, putusan ini sebenarnya masih memiliki setitik permasalahan. Memasukkan hutan adat ke dalam hutan hak sejatinya tidak benar-benar sesuai dengan prinsip hutan adat sendiri yang telah diuraikan dalam UU Pokok Agraria. Hutan adat dan hutan hak memiliki dua karakteristik yang berbeda.
Perbedaan tersebut terletak pada ranah kekuasaannya. Hutan hak hanya memiliki aspek privat yang lingkupnya sempit seputar hak yang dimiliki oleh suatu entitas terhadap penguasaan hutan yang dimiliki. Sedangkan idealnya hutan adat seharusnya memiliki dua aspek sekaligus, yakni aspek privat yang termanifestasikan dalam hal hutan ulayat sebagai kepemilikan bersama anggota masyarakat adat dan yang jauh lebih vital adalah aspek publiknya yang menurut ahli hukum UGM, Maria Sumardjono aspek tersebut meliputi kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur kawasan hutan miliknya sebagai ruang hidup yang memberikan mata pencaharian dan sumber makanan, pemanfaatan dan pemeliharaannya, hubungan hukum antara masyarakat dan tanahnya, serta perbuatan hukum terkait dengan pemanfaatan kawasannya.
ADVERTISEMENT
Pun pada praktiknya, Putusan MK tersebut ternyata tak benar-benar dipatuhi oleh pelaksana kebijakan dalam hal ini merupakan Pemerintah. Faktanya, Kementerian Kehutanan sebagai pelaksana langsung terkait dengan aturan ini lebih banyak mempersulit peralihan hutan adat dari hutan Negara menjadi hutan hak. Misalnya Kementerian membuat pengaturan peralihan yang mensyaratkan adanya subjek hukum yang terkualifikasi sebagai perorangan atau badan hukum. Padahal masyarakat hukum adat, sebagaimana kita ketahui bersama merupakan komunitas yang lebih banyak bersifat komunal dan tradisional. Terlebih lagi persyaratan pengakuan masyarakat hukum adat yang mengharuskan masih terselenggaranya peradilan adat dan aktivitas masyarakat yang melakukan pemungutan hasil hutan makin mempersulit pengakuan terhadap keberadaan hutan adat.
Respons pemerintah yang seperti ini tentu menjadi alarm bagi pelaksanaan Putusan MK seputar hak tenurial masyarakat hukum adat dalam memanfaatkan SDA di wilayahnya. Pemerintah seakan-akan menegaskan kembali, bahwa bagaimanapun hukum berjalan Pemerintah tetap memiliki kuasa untuk menegaskan status hutan yang ada dalam wilayah NKRI apakah akan menjadi hutan Negara atau menjadi hutan adat. Kontrol Negara yang mencengkeram ini sangat merugikan masyarakat hukum adat yang pada pelaksanaannya memiliki kuasa yang lemah. Terlebih potensi pemberian konsesi oleh Negara kepada pihak-pihak tertentu yang ingin mengeksplorasi hasil hutan di wilayah adat akan meruncingkan kembali potensi konflik horizontal masyarakat adat dengan pihak-pihak masyarakat di luar mereka.
ADVERTISEMENT
Hingga hari ini perkembangan pengaturan dan praktik pengakuan hak tenurial masyarakat adat terhadap hutan adat belum signifikan. Beberapa saat lalu, Jokowi melakukan pengakuan terhadap hutan adat terhadap 9 adat di berbagai daerah yang mencakup luasan sekitar 75.000 hektare. Hal ini masih jauh dari angka perkiraan hutan adat menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang mengklaim bahwa hutan adat di Indonesia mencapai 7-8 juta hectare yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Pemerintah mesti segera melakukan pengakuan hutan adat ini demi turut menjaga keberlangsungan hutan adat secara khusus maupun hutan secara umum. Sebab sepanjang hutan-hutan tersebut masih berstatus hutan Negara maka akan sangat rawan terhadap konsesi pihak ketiga. Tindakan ini akan sangat merugikan kehidupan masyarakat adat yang tinggal di sekitarnya karena dapat menyebabkan hilangnya sumber penghidupan mereka, dan yang lebih parah dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup mereka akibat rusaknya alam di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Penundaan pengakuan status hutan adat juga dapat berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang beraktivitas di sekitarnya. Perlu diingat bahwa keberlangsungan hidup masyarakat hukum adat telah dijamin eksistensinya oleh Konstitusi sehingga Pemerintah wajib menyelenggarakan kebijakan-kebijakan yang selaras dengan penjaminan tersebut. Sebab hak tenurial masyarakat adat bukan sekadar hak untuk mengelola hutan demi keberlangsungan hidup tapi juga hak seputar sosial dan budaya mereka berkaitan hubungan masyarakat adat dengan hutan.