Konten dari Pengguna

Mengurai Sengkarut Industri Kelapa Sawit

Sadam Afian Richwanudin
Peneliti Hukum dan Sumber Daya Alam
22 Juni 2022 18:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sadam Afian Richwanudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kebun Sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. (Sumber foto: Koleksi Auriga Nusantara)
zoom-in-whitePerbesar
Kebun Sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. (Sumber foto: Koleksi Auriga Nusantara)
ADVERTISEMENT
Industri kelapa sawit masih merupakan sektor yang menyumbang pemasukan yang besar bagi negara. Merujuk catatan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), industri kelapa sawit mencatatkan pendapatan 72,45 triliun rupiah pada 2021, atau naik sekitar 241% dari tahun 2020. Sebagian besar pemasukan tersebut berasal dari pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya. Namun, hingga saat ini masih terdapat beberapa persoalan menahun pada beberapa proses bisnis kelapa sawit. Persoalan tersebut muncul dari sektor hulu hingga hilir, tidak segera dapat diselesaikan meski telah berlangsung dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT
Kajian "Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit" yang dikeluarkan oleh KPK pada 2016 telah menyebutkan tiga persoalan utama dalam industri kelapa sawit. Pertama, tidak akuntabelnya sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit sehingga tidak dapat memastikan kepatuhan pelaku usaha. Kedua, pengendalian pungutan ekspor komoditas kelapa sawit yang tidak efektif. Ketiga, pungutan pajak sektor kelapa sawit oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang tidak optimal.
Selain ketiga persoalan tersebut, terdapat persoalan lain seperti angka deforestasi yang masih tinggi. Menurut catatan Auriga, dari 8,4 juta hektare kebun kelapa sawit yang bertambah sepanjang tahun 2001-2019, sebanyak 37% penambahan lahan berasal dari hutan. Artinya, hingga tahun 2019, sebanyak 3 juta hektare kebun kelapa sawit sebelumnya merupakan hutan alam yang menopang ekosistem daratan. Angka tersebut menunjukkan tingginya konversi hutan alam ke kebun kelapa sawit. Meski dalam beberapa tahun ke belakang angka tersebut terus menurun, namun pada 2019 angka transisi hutan ke kebun kelapa sawit masih berkisar 63 ribu hektare. Pada titik inilah konsistensi penerapan aturan moratorium sawit diuji.
ADVERTISEMENT
Pada sektor perizinan, koordinasi lintas lembaga dalam pengendalian izin kebun kelapa sawit juga masih karut-marut. Kondisi ini mengakibatkan tidak optimalnya pemanfaatan lahan yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara, baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan nonpajak. Selain merugikan negara, pengendalian yang tidak efektif terhadap perizinan kebun kelapa sawit juga berimplikasi kepada kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan. Hingga 2019, angka kebakaran hutan dan lahan tertinggi masih berada pada wilayah-wilayah yang juga merupakan provinsi dengan angka luasan kebun kelapa sawit yang besar seperti Riau, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan.
Koordinasi yang tidak optimal antar lembaga dalam perizinan kebun kelapa sawit juga dapat dilihat dari tidak menentunya nasib lahan izin konsesinya dicabut. Secara prinsip, pencabutan izin konsesi perusahaan sawit tidak serta merta mencabut Hak Guna Usaha (HGU) dari perusahaan terkait. Meskipun begitu, melihat kebijakan Pemerintah yang mencabut konsesi melalui Kementerian LHK, maka idealnya HGU perusahaan terkait juga dicabut agar tidak menimbulkan persoalan dalam menentukan status lahan setalah pencabutan. Sayangnya, dengan mengikuti asas contrarius actus, izin harus dicabut oleh masing-masing lembaga sesuai dengan lembaga yang mengeluarkan izin. Melihat persoalan ini, sebaiknya seluruh pihak berkomitmen menerapkan one map policy baik yang telah diterapkan pada sistem OSS maupun kebijakan lain sehingga harmonisasi dan sinkronisasi perizinan dapat berjalan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Selain persoalan di sektor hulu, persoalan pada tata niaga juga masih dijumpai dalam pungutan ekspor kelapa sawit. Hingga saat ini belum terdapat lembaga yang secara pasti melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pungutan ekspor. Usai dicabutnya larangan ekspor, Pemerintah harus melakukan pengawasan terhadap pencatatan penerimaan negara dari pungutan ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya sehingga berjalan sesuai peraturan perundang-undangan. Hal ini penting sebab jika merujuk pada Kajian KPK pada 2016, ditemukan hasil uji petik yang menunjukan tidak akuratnya data verifkasi teknis terhadap ekpor kelapa sawit yang berdampak kepada selisih perhitungan pembayaran pungutan ekspor.
Disamping persoalan pungutan ekspor, persoalan pajak merupakan sektor yang harus diperhatikan. Hal ini penting karena pajak dari kelapa sawit merupakan potensi yang besar bagi pemasukan keuangan negara. Keinginan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Pandjaitan untuk mengaudit seluruh perusahan kelapa sawit di Indonesia harus disambut baik. Banyaknya perusahaan yang berbasis di luar negeri menyebabkan kehilangan potensi pajak dalam negeri. Selain itu, Pemerintah harus berkomitmen untuk mendata keseluruhan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan HGU yang sudah diverifikasi dengan data Wajib Pajak (WP). Pendataan ini dilakukan untuk mendeteksi dan mencegah perusahaan yang tidak patuh terhadap pajak dan potensi pajak di sektor kelapa sawit yang belum terpungut.
ADVERTISEMENT
Serangkaian persoalan dari hulu ke hilir tersebut memberikan potret masih sengkarutnya industri kelapa sawit. Berlarutnya permasalahan dalam proses bisnis menyebabkan besarnya kehilangan potensi pendapatan negara. Indonesia sebagai negara dengan luasan kebun kelapa sawit terbesar di dunia sudah seharusnya mendapatkan manfaat ekonomi yang besar. Manfaat tersebut pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, utamanya para petani kelapa sawit.