Konten dari Pengguna

Menemukan Ramadan di London

Sahabat Beasiswa
Portal Informasi dan pembinaan beasiswa no 1 di Indonesia
10 Juni 2018 7:39 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sahabat Beasiswa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengapa menemukan Ramadan? Karena bagi saya, Ramadan bukanlah bulan biasa. Bukan sekadar menanti sebuah bulan yang menanti datang. Mungkin lebih-lebih dari saat menunggu hari ulang tahun tiba. Saya mungkin awal soal kejar-kejaran target Ramadan.
ADVERTISEMENT
Tapi, saya sangat bisa merasakan sebuah kerinduan yang tak terkira dari suasana lingkungan yang hadir ketika Ramadan tiba. Yang sungguh luar biasa. Teduh, tenang, membahagiakan. Dan ketika sadar, saya harus menjalani Ramadan di negara minoritas Muslim karena perkuliahan di London tahun lalu.
Saat itulah saya mulai menciptakan banyak prasangka tentang apakah bisa saya menemukan Ramadan di tahun itu. Dan tulisan ini adalah sepenggal kisah perjalanan saya menemukannya.
Tantangan Puasa 19 Jam
Tahun lalu, 2017, bulan Ramadan jatuh pada bulan Mei-Juni. Musim panas sudah mendatangi London di bulan-bulan ini. Sebagai anak tropis, apalagi pernah tinggal di Jabodetabek, panasnya London tetap belum bisa mengalahkan panasnya Jakarta atau Depok. Bahkan London masih sempat hujan es di bulan-bulan ini.
ADVERTISEMENT
Namun, matahari tetap saja lambat sekali naiknya. Waktu Subuh paling cepat adalah pukul 2.39 GMT dan Maghrib terlama ialah pukul 21.25 GMT. Yes, saat itu, saya wajib puasa selama hampir 19 jam. Cukup jauh dengan ketika di Indonesia yang hanya sekitar 13 jam.
Kalau di Indonesia ujian puasa sudah bukan lagi makanan dan minuman. Saya seperti kembali menjadi anak kecil lagi! Di waktu awal-awal latihan puasa (mencoba senin-kamis sebelum Ramadan tiba), saya terus-terusan melihat jam sejak mulai jam ke-15. Saya mulai membayangkan enak ya makan ini dan itu. Saya mulai membayangkan tahu isi goreng plus teh hangat yang biasa Ibu sajikan ketika berbuka. Subhanallah, rasanya seperti bisa makan harimau!
ADVERTISEMENT
Tidak hanya soal lamanya waktu berpuasa. Kita juga ditantang untuk bisa mengatur jam tidur dengan baik. Karena isya baru mulai sekitar jam 11 malam sementara jam 3 sudah subuh. Jika ingin komplet mengikuti tarawih (selesai sekitar jam 12), waktu kita untuk tidur malam hanya sekitar 2 jam. Alhamdulillah, saat itu kuliah saya sudah selesai.
Saya hanya sedang mengerjakan thesis sehingga tidak harus kuliah pagi dan tentunya memiliki waktu yang lebih fleksibel. Akhirnya, saya memilih tidur setelah Subuh, dan bangun sekitar jam 10 - 11 pagi. Hal ini tidak begitu berat bagi saya karena memang saya lebih produktif di malam hari. Untuk teman-teman yang morning person, mungkin perlu strategi lain. Kalau teman saya, dia tetap tidur jam 12–2, kemudian tidur lagi jam 4-8.
ADVERTISEMENT
Perubahan Pola Makan Sahur dan Berbuka
Agar dapat bertahan berpuasa selama itu, ternyata nasi bukan lagi makanan yang direkomendasikan untuk disantap saat sahur. Di UK, National Health Service (NHS) mengeluarkan sebuah artikel tentang rekomendasi pola makan ketika berpuasa. Ketika sahur, kita lebih dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang karbohidratnya kompleks, tinggi serat, dan cukup protein.
Contoh makanan yang direkomendasikan adalah sereal, oatmeal, granola, susu kedelai, sayuran dan buah-buahan. Jadilah saya makan sahur seperti perempuan yang sedang diet ketat. Kelihatannya tidak masuk akal ya karena secara porsi jauh lebih sedikit dari porsi makan sahur saya di Indonesia. But, it works! Perut saya jauh lebih tenang ketimbang ketika sahur dengan nasi.
Untuk hidangan berbuka, saya dan teman-teman serumah membuat piket masak. Setiap harinya, ada satu orang yang bertugas memasak menu utama dan satu orang lainnya memasak menu takjil. Jadi, walau tinggal jauh, kami tetap bisa merasakan takjil khas Ramadan, seperti tahu isi, bakwan jagung, risoles, bahkan… es pisang hijau!
Salah satu menu berbuka puasa ketika di London
Bikin tahu isi sendiri butuh 2 jam! Photo by Quatrine Wahyuni
ADVERTISEMENT
Budaya dan Aktivitas Selama Ramadan
Di London, diperkirakan ada 12.4% penduduknya yang memeluk agama Islam. Angka yang cukup besar tentunya. Sebagai ibu kota salah satu negara super power, banyak sekali masyarakat pendatang di sini, termasuk dari negara-negara Islam. Karena itu, kedatangan bulan Ramadan tidak terlihat terlalu asing.
Di University College London sendiri, tempat saya menuntut ilmu, tim manajemen kampus memberikan sebuah surat edaran yang manis sekali kala itu. Karena bulan Ramadan jatuh bersamaan dengan musim ujian akhir, manajemen kampus memberikan imbauan berupa tips dan trik menjaga performa untuk persiapan ujian selama berpuasa. So sweet ‘kan?
Sebegitu tingginya toleransi yang ada di kota ini. Hal yang menarik lagi adalah adanya sebuah program open ifthar yang bernama Ramadan Tent Project. Sesuai namanya, program ini dilakukan secara terbuka di bawah tenda! Semua orang (baik muslim maupun bukan) diundang ke acara buka bersama ini. Para pembicara menarik juga dihadirkan setiap harinya. Volunteer dan orang-orang yang menyedekahkan menu buka puasa juga melimpah ruah.
ADVERTISEMENT
Saya begitu takjub dengan semangat para muslim di sini untuk membumikan Islam, walaupun bukan mayoritas. Betapa keindahan dan keramahan Islam digaungkan dengan manis.
Suasana Ramadan Tent Project. Photo from RTP Fanpage
Tempat Ibadah
Jika di Indonesia berangkat ke masjid saat malam bulan Ramadan adalah hal yang hampir dilakukan oleh semua orang karena sebuah kewajaran, di London, saya merasakan semangat yang berbeda. Selain karena suasana Ramadan akan semakin terasa ketika kita mendatangi masjid-masjidnya, luar biasanya saya bisa menyaksikan keberagaman muslim di sini.
Mau mereka yang salat memakai mukena atau tidak, duduk tahiyat akhir dengan memiringkan badan atau tidak, semua berkumpul untuk meramaikan masjid. Tak terkecuali para orang tua yang sebenarnya sudah sulit untuk salat berdiri. Disediakan banyak kursi-kursi di bagian barisan depan untuk membantu mereka salat. Masya Allah. Sama seperti di Indonesia, kegiatan ibadah di masjid juga banyak sekali di sini.
ADVERTISEMENT
Namun, Ramadan tahun lalu mencatat beberapa terror tidak mengenakkan. Ada sebuah cerita. Ketika itu, terjadi sebuah serangan di London di malam Ramadan. Sebuah mobil mencoba menyerang pejalan kaki di jam setelah tarawih di dekat Finsbury Park Mosque. Dalam kejadian itu, satu orang meninggal dan 10 orang luka-luka. Para Muslim yang baru saja selesai melaksanakan salat tarawih, terekam mereka juga turut membantu dan menjadi saksi atas kejadian ini.
Idulfitri
Kebetulan saya berkesempatan untuk merayakan Idulfitri di Indonesia. Tahun lalu, saya pulang ke Indonesia di hari ke-23 Ramadan. Karena itu, saya tidak merasakan sendiri bagaimana Idulfitri di London. Tapi, dari cerita teman-teman, KBRI-lah yang menjadi rumah bagi kami ketika hari raya tiba.
ADVERTISEMENT
Keluarga kami ya sesama perantau di sana. Makanan-makanan khas lebaran di tanah air pun disajikan di sana. Menyapa keluarga di tanah air juga dilakukan via teknologi video conference yang sudah ada sekarang. Walaupun Idulfitri bukan hari libur nasional di London, kita tetap bisa mengajukan izin kepada dosen atau atasan untuk melaksanakan shalat ied.
Karena masyarakat London sangat toleran dan paham. So lovely! Jadi, walaupun Idulfitri di tanah air tetap tidak bisa digantikan, suasana lebaran di London insyaallah tetap menyenangkan kok! :)
Ah iya, sekembalinya saya dari Indonesia setelah Lebaran, landlord kami mengajak untuk makan-makan. Bahkan dialah yang memasakkan untuk kita! Katanya, sebagai perayaan lebaran juga.
***
Menjalani Ramadan di luar negeri memang menantang. Namun, bukan berarti kekhidmatannya, ketenangannya, keberkahannya sulit untuk kita dapatkan. Justru, banyak hal yang semakin bisa kita syukuri, semakin banyak kebesaran Allah yang bisa kita rasakan. Yakinlah, Ramadan tetap bisa kita temukan di manapun bumi yang kita pijak. Yakinlah, berkah Ramadan itu bagi seluruh alam, selama kita mau mencarinya. Semangat, Bismillah! :)
ADVERTISEMENT
*Penulis
Suci Fadhilah
Master of Arts in Education and Technology
Institute of Education, University College London