Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membumikan Ekoteologi: Konsepsi Manusia sebagai Khalifah fil Ardh
19 Oktober 2023 11:29 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Saifiddaulah Shofiyullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika Prof. M. Quraish Shihab mempopulerkan istilah “membumikan Al Quran” dan Ahmad Syafi’i Ma’arif dengan istilah “membumikan Islam”, hal tersebut merupakan buah kecintaan beliau kepada Al Quran maupun ajaran Islam.
ADVERTISEMENT
Mencoba memahami, menafsirkan sampai mengaktualisasikan secara konsisten nilai-nilai dan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya di kehidupan sehari-hari. Maka sudah seyogyanya kita juga ramaikan kampanye membumikan ekoteologi, melihat realitas isu krisis lingkungan telah menjadi isu global.
Secara sederhana ekoteologi adalah gabungan dari ekologi dan teologi. Ekologi adalah salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari antara hubungan makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya juga dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan teologi adalah suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan keyakinan beragama atau ilmu tentang tuhan.
Perkawinan dari ekologi dan teologi ini menghasilkan nilai-nilai tentang bagaimana agama memandang alam atau lingkungan sekitar dengan kesadaran spiritualitas, keimanan, moralitas dan world view. Sehingga dapat membawa semangat untuk menumbuhkan rasa kepedulian sesama makhluk hidup, menjaga dan merawat lingkungan sekitar kita.
ADVERTISEMENT
Saat ini penulis merasa harmonisasi antara manusia dengan lingkungan telah dirusak. Perubahan iklim sangat kita rasakan, curah hujan yang tidak menentu, musim kemarau yang berkepanjangan, pemanasan global (global warming) adalah fakta yang tidak bisa dibohongi.
Bahkan kerusakan hutan disertai eksploitasi kayu secara berlebihan masih terus masif dilakukan manusia, ditandai dengan kenaikan produksi kayu setiap tahunnya yang telah mencapai 64,65 Juta m3. Tentu angka ini cukup signifikan dan begitu terasa dampaknya.
Jauh-jauh hari Seyyed Hossein Nasr sudah mengingatkan tentang arogansi manusia dalam “memperkosa alam”. Beliau menjelaskan bahwa bumi kita sedang berdarah-darah oleh luka-luka yang dideritanya akibat ulah manusia yang tidak ramah pada lingkungan.
Pandangan kapitalisme yang didorong kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang melepaskan diri dari akar spiritualitas dan agama menjadikan bumi kita kian memperihatinkan, seolah-olah alam dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan hidup belaka dan tidak bernilai sama sekali.
ADVERTISEMENT
Bahkan Al-Quran juga sudah mewanti-wantikan itu. Hal tersebut senada firman Allah swt dalam Qs. Al Ruum/30: 41
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Kata “Al-Fasaad” Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak di daratan maupun di lautan sehingga berkurangnya kemanfaatan. Misalnya air laut tercemar, sehingga hasil laut berkurang, penebangan atau penggundulan hutan sehingga kualitas udara menurun dan daratan semakin panas. Hal tersebut menyebabkan keseimbangan lingkungan menjadi kacau.
ADVERTISEMENT
Posisi manusia tentu paling tepat untuk disalahkan. Manusia sering dinisbatkan sebagai makhluk yang ‘istimewa’ karena memiliki akal, yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Bahkan dalam Islam, manusia memiliki peran khalifah fil ardh.
Melihat hal ini, Refleksi mengenai cara pandang manusia dalam memahami alam sangat penting untuk dijelaskan kembali. Seringkali konsepsi manusia disalahartikan sehingga manusia merasa lebih superior dan memiliki porsi lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Menurut hemat penulis, meninjau ulang ajaran agama harus dihidupkan kembali dalam konteks ekologi agar masyarakat perlahan sadar pentingnya menjaga alam, sadar akan tanggung jawab moral untuk melestarikan dan menjaga kualitas lingkungan kita.
Konsepsi Manusia sebagai Khalifah fil Ardh
Allah telah menciptakan alam raya ini dengan sistem yang sangat serasi dan saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Ada Ulama kontemporer yang menggambarkan sistem tersebut laksana satu badan dalam keterkaitannya, baik dalam pelaksanaan kegiatan dan kewajibannya bahkan pada rasa sakit dan sehatnya. Hal ini mengandung konsekuensi semua pada akhirnya saling mempengaruhi. Jika salah satu bagian tidak berfungsi atau tidak berjalan sesuai aturannya, tentu akan muncul dampak negatif yang mempengaruhi lainnya.
ADVERTISEMENT
Manusia adalah salah satu bagian penting alam raya ini, bukan satu-satunya yang terpenting. Ia diciptakan oleh Allah swt. menjadi Khalifah Fil Ardh untuk menjalankan tugasnya dalam mengelola dan menjaga alam ini dengan indah. Bukankah Tuhan juga menyukai keindahan?.
Penamatan kata “Khalifah” kepada manusia sering berujung pemerasan kekayaan alam saja tanpa peduli kelestariannya. Mereka menganggap alam sebagai objek yang harus dikuasai dan dimanfaatkan, terkadang juga berdalih demi menjaga stabilitas ekonomi. Untuk itu manusia harus faham dengan definisi manusia sebagai khalifah itu sendiri.
Kata “Khalifah” sendiri disebutkan dua kali dalam al-Qur’an yang bertempat di Qs. Al Baqarah/2: 30 dan Qs. Sad/38: 26. Menurut Ahmad Thib Raya, konteks pada surah Al-Baqarah adalah tentang Nabi Adam as. di mana ayat ini menunjukkan bahwa manusia dijadikan khalifah di bumi ini untuk memakmurkannya sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah swt sebagai yang menugaskannya. Sedangkan konteks pada surah Sad adalah Nabi Daud as. yang menjadi khalifah di mana beliau diberi tugas mengelola wilayah yang terbatas.
ADVERTISEMENT
Makna Khalifah yang sering penulis dengar adalah pengganti/wakil dan pemimpin. Maka sebagai pengganti atau wakil Tuhan, manusia seharusnya menjalankan tugasnya dalam membangun dan memakmurkannya sesuai kehendak-Nya. Sebagai pemimpin, seharusnya manusia bertanggung jawab atas keseimbangan dan keharmonisasian ini secara bijak.
Dapat dipahami bahwa manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang khalifah tidak boleh sewenang-wenang atau mengikuti hawa nafsunya. Allah swt. melarang manusia untuk menyimpang dari sistem ini dengan merusak alam. Sebagaimana Firman Allah dalam Qs.Al-A’raf/7: 56.
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
ADVERTISEMENT
Permasalahannya ada pada diri kita sendiri sebagai manusia. Jangan sampai kita baru sadar ketika tanah sudah tak mau lagi produktif menumbuhkan tumbuhan, pohon terakhir telah ditebang, udara telah berubah menjadi polusi, sumber mata air mengering. Apakah engkau akan memakan uang?