Konten dari Pengguna

Keanggunan dan Tradisi: Peran Geisha dalam Budaya Jepang

salwa ammara azwa
mahasiswa Universitas Airlangga Program Studi Bahasa dan Sastra jepang (S1)
6 Oktober 2024 8:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari salwa ammara azwa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejarah Geisha
Jepang dikenal sebagai negara maju dan modern yang mempertahankan tradisi sejak beberapa abad lalu. Salah satu hasil budaya dan tradisi yang memiliki keunikan adalah Geisha. Pada pertengahan abad ke-13, biksu Ippen mendirikan aliran Ji Buddhisme Tanah Suci dan mulai bepergian ke seluruh Jepang serta menyebarkan gagasan “nenbutsu odori” (mengucapkan nama Buddha sambil melakukan tarian ritual). Melalui keterampilan seni dan hiburan yang ditampilkan kepada orang-orang menjadikan para pengikut Ippen menjadi pelayan bagi para penguasa feodal yang dikenal sebagai “Doboshu”, yang lebih dikenal sebagai geisha pertama. Doboshu khususnya aktif selama Periode Muromachi (1336–1573), saat Jepang terasa seperti terus-menerus berada dalam keadaan perang saudara. Pada saat itu, panglima perang membutuhkan seseorang untuk mengumpulkan dan menganalisis intelijen, seseorang untuk memberi nasihat tentang strategi militer, dan seseorang yang dapat mengalihkan pikiran mereka dari semua darah dan kengerian dengan beberapa upacara minum teh, lukisan tinta, puisi, dan merangkai bunga. Doboshu dapat melakukan ketiganya sekaligus.
ADVERTISEMENT
Perkembangan Geisha sebagai tradisi di Jepang
Pada tahun 1751, Geisha wanita mulai bermunculan dengan ciri khas dan kehidupan yang lebih kompleks. Sebagai bagian dari tradisi dan budaya, keberadaan Geisha didukung oleh pemerintah dan komunitas masyarakat yang menggunakan jasa Geisha serta organisasi yang mengatur kehidupan Geisha. Pada tahun 1779 profesi Geisha diakui sebagai profesi resmi, sehingga pemerintah Jepang membentuk kenban untuk mengawasi mengkoordinir dan mencegah Geisha menjadi pelacur. Kenban adalah istilah yang merujuk pada kantor manajemen yang mengurus jadwal dan penampilan para geisha di distrik-distrik tradisional Jepang seperti Kyoto, Tokyo, dan Kanazawa. Dalam tradisi geisha, kenban memainkan peran penting sebagai penghubung antara klien dan para geisha. Geisha hanya bertugas menghibur tamu dalam pesta, tetapi "menjual diri" sebagai pelacur.
Geisha (Freepix.com)
Keindahan Geisha Sebagai Tradisi
ADVERTISEMENT
Kecantikan tidak selalu menjadi syarat utama yang harus dimiliki seorang Geisha. Kepribadian yang menarik dan keterampilan serta teknik tata rias yang dikuasai seorang Geisha dapat mengubah penampilan seorang Geisha berwajah biasa menjadi Geisha yang sangat cantik yang dapat membuat para pria tergila-gila pada pesonanya. Karakter Geisha yang berkualitas tinggi ditentukan oleh kemahiran dan penghayatannya dalam mempresentasikan seni (gei). Kepiawaian Geisha dalam menampilkan seni hiburan tidak terbatas pada penguasaan seni-seni tradisi seperti tarian tradisional, memainkan alat musik shamisen, tetapi juga penguasaan terhadap materi percakapan yang menyenangkan, diskusi-diskusi hangat yang tertata serta humor-humor yang ditampilkan secara sopan, menjadikan Geisha sebagai penyejuk sekaligus penghangat suasana pesta.
Geisha dapat dikatakan sebagai karier yang berakar pada tradisi. Tradisi masyarakat Jepang yang dilandasi oleh etika Bushido berpengaruh pada kehidupan Geisha. Etika Bushido dihayati Geisha sebagai pedoman hidup terkait dengan tata krama, kesopanan, kehormatan, kesetiaan dan kemurnian. Nilai-nilai moralitas Bushido merupakan kombinasi dari ajaran konfusianisme (kesusilaan dan sopan santun), ajaran Zen(keheningan diri, refleksi, dan permenungan diri) dan Shinto yang mengajarkan keutamaan loyalitas kepada kaisar. Kehormatan yang diajarkan dalam etika bushido menempatkan rasa malu sebagai unsur yang penting sehingga mereka malu dengan dirinya sendiri apabila gagal dalam memperjuangkan sesuatu diri sebagai salah satu ajaran bushido yang mengajarkan tentang "balas budi" sangat melekat pada kepribadian Geisha.
ADVERTISEMENT
Citra Buruk Geisha Dalam Pandangan Masyarakat di Luar Jepang
Pandangan masyarakat di luar Jepang terhadap Geisha (50%) adalah menyamakan Geisha dengan pelacur yang dapat memberikan pelayanan sexual kepada setiap pria dengan imbalan uang. Pandangan masyarakat tersebut tidak seluruhnya salah, karena di distrik pemukiman Geisha (hanamachi) ada juga pelacur yang penampilannya mirip Geisha. Penampilan mereka dibedakan oleh pemakaian obi (pelengkap kimono).
Obi (Frepix.com)
Secara keseluruhan Geisha merupakan simbol budaya Jepang yang mencerminkan perpaduan antara tradisi dan modernitas. Geisha bukan sekadar pelayan hiburan, melainkan seniman yang mahir dalam seni tradisional seperti tari, musik, serta percakapan yang menyenangkan dan sopan. Geisha dituntut untuk menguasai seni, memiliki kepribadian menarik, dan etika yang kuat, termasuk prinsip-prinsip Bushido seperti kehormatan, kesopanan, dan balas budi. Geisha tidak hanya dikenal karena kecantikan fisik, tetapi juga karena pesona dan keterampilannya yang dapat memikat orang.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Suliyanti,T. 2018. “Geisha : Antara Tradisi Dan Citra Buruk”. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
Siswantara, Y. ., & Mujihandono, D. S. (2021). SEMANGAT BUSHIDO ANALISA KULTURAL UNTUK PENGEMBANGAN KARAKTER MASYARAKAT. Sapientia Humana: Jurnal Sosial Humaniora, 1(01), 29–38.