Konten dari Pengguna

Ancaman Lone Wolf Terrorism di Indonesia

samsularifin98
Samsul arifin adalah seorang dosen di fakultas hukum universitas muhammadiyah surabaya
4 Oktober 2023 11:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber : Pexels.com
ADVERTISEMENT
Definisi terorisme dan "terorisme serigala tunggal" lone wolf terrorism bervariasi di berbagai negara, bahkan tidak memiliki definisi yang tetap. Berbagai tipologi, seperti yang diusulkan oleh Pantucci, mempertimbangkan banyak faktor.
ADVERTISEMENT
Adapun faktor-faktor itu seperti kesendirian, arahan, motivasi, afiliasi, dan bantuan untuk memahami kerangka kerja multidimensi terorisme lone wolf. Tipologi-tipologi ini membantu dalam membedakan definisi yang berbeda dan memberikan analisis yang lebih luas tentang definisi terorisme lone wolf.
Terorisme dan radikalisme Islam merupakan ancaman keamanan yang signifikan di Indonesia, dengan sejarah yang dimulai sejak era kemerdekaan. Bom Bali pada tahun 2002 menandai titik balik dalam upaya kontra-terorisme di Indonesia, yang mengarah pada pembentukan unit-unit dan lembaga-lembaga khusus yang berfokus pada kontra-terorisme.
Sementara beberapa serangan teroris direncanakan oleh kelompok terstruktur, telah terjadi pergeseran ke arah penyerang tunggal yang dapat direkrut atau bertindak secara independen, yang menghadirkan tantangan bagi penegakan hukum dan upaya kontra-terorisme.
ADVERTISEMENT

Apa Itu Lone Wolf Terrorism?

Studi tentang lone wolf terrorism terutama berfokus pada Amerika Serikat dan Eropa, meneliti berbagai ideologi di balik serangan-serangan ini. Studi Hewitt pada tahun 2003 mengidentifikasi empat jenis penyerang tunggal, termasuk supremasi sayap kanan, ekstremis Islam, militan kulit hitam, dan anti-aborsi.
Lone wolf terrorism mengacu pada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh individu yang bertindak sendiri, tanpa dukungan langsung atau keterlibatan dari organisasi teroris yang lebih besar, yang sering kali melakukan serangan secara spontan atau setelah merencanakannya tanpa mengungkapkan niat mereka kepada orang lain.
Selain itu, lone wolf terrorism sering kali dilakukan oleh individu yang beroperasi secara independen dan tidak memiliki dukungan atau keterlibatan langsung dari organisasi teroris yang lebih besar. Individu-individu ini sering kali memiliki motivasi ideologis atau agama yang kuat dan mungkin terlibat dalam aksi kekerasan sebagai bentuk protes atau pembalasan.
ADVERTISEMENT
Karakteristik khas dari lone wolf terrorism adalah tidak adanya bantuan langsung atau perencanaan dengan orang lain, sehingga sulit untuk mendeteksi atau mencegah serangan semacam itu karena mereka dapat beroperasi secara mandiri dan meninggalkan jejak digital minimal atau indikator rencana mereka sebelum serangan terjadi.
Studi Spaaj pada tahun 2010 mengungkapkan bahwa serangan lone wolf terrorism terjadi di 15 negara yang berbeda, dengan penyerang yang menyebabkan tingkat kematian rata-rata 0,62 persen per serangan. Motivasi di balik serangan-serangan ini ditemukan sebagai kombinasi dari nilai-nilai pribadi, interpersonal, dan politik.
Selain itu, studi Smith pada tahun 2015 membandingkan karakteristik teroris lone wolf dan mereka yang terlibat dalam sel atau kelompok terorganisir—dan menemukan bahwa lone wolf biasanya berjenis kelamin laki-laki, memiliki gelar sarjana, serta sebagian besar belum menikah, rentang usia sekitar 20-40 tahun, dengan usia rata-rata 32 tahun.
ADVERTISEMENT
Sekitar setengah dari penyerang ini adalah wiraswasta, dan 20 persen menganggur, yang mengindikasikan adanya potensi kesulitan ekonomi dan isolasi sosial, yang dapat berkontribusi pada keputusan mereka untuk terlibat dalam serangan lone wolf. Temuan ini sejalan dengan penelitian lain dan menggarisbawahi pentingnya mengatasi faktor sosial dan ekonomi yang mendasari dalam mencegah terorisme lone wolf.

Contoh Kasus Aksi Lone Wolf Terrorism

Poin utama dalam mengidentifikasi lone wolf terrorism melampaui anggota individu. Sangat penting untuk menentukan afiliasi pelaku, apakah mereka terlibat dengan kelompok radikal atau tidak. Hal ini menyoroti pentingnya memahami keterlibatan dan koneksi para pelaku untuk mengklasifikasikan sebuah aksi secara akurat sebagai lone wolf terrorism atau sebagai aksi kelompok teroris yang terorganisir.
ADVERTISEMENT
Persepsi bahwa pengeboman gereja di Surabaya pada tahun 2018, yang dilakukan oleh satu keluarga, adalah contoh dari lone wolf terrorism. Secara teoritis benar karena tindakan mereka yang independen.
Namun, setelah ditelusuri, hal ini merupakan kesalahpahaman dalam memaknai lone wolf terrorism. Pengeboman keluarga di Surabaya tidak dapat dikatakan sebagai lone wolf terrorism karena para pelaku bukanlah individu yang bertindak sendiri tanpa dukungan atau keterlibatan langsung dari organisasi teroris yang lebih besar.
Para pelaku serangan bom keluarga tersebut merupakan anggota kelompok teroris terorganisir bernama Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan kelompok militan ISIS. Hal ini mengindikasikan bahwa serangan tersebut bukanlah tindakan lone wolf terrorism.
Kenapa? Karena individu-individu yang terlibat tidak bertindak secara independen, melainkan menerima dukungan, arahan, dan pelatihan dari organisasi teroris yang lebih besar. Insiden ini menyoroti pentingnya membedakan antara lone wolf terrorism dan terorisme terorganisir dalam memahami dinamika dan motivasi di balik serangan semacam itu.
ADVERTISEMENT
Contoh lone wolf terrorism yang nyata adalah serangan penembakan yang dilakukan oleh Omar Mateen di Orlando, Florida, pada bulan Juni 2016. Mateen, seorang warga negara Amerika Serikat keturunan Afghanistan, menargetkan sebuah klub malam LGBT bernama Pulse, menewaskan 49 orang dan melukai puluhan lainnya sebelum akhirnya terbunuh dalam baku tembak dengan polisi.
Meskipun Mateen bertindak secara independen tanpa dukungan langsung dari organisasi teroris mana pun, ia menunjukkan motivasi ideologis yang kuat dan melakukan serangan tersebut sebagai bentuk protes terhadap gaya hidup LGBT.
Dalam konteks indonesia, kita dapat melihat serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh pasangan suami istri, LVB dan YSF, di Gereja Katedral di Makassar, pada bulan Maret 2021. Pasangan ini bertindak secara independen tanpa dukungan atau keterlibatan langsung dari organisasi teroris mana pun.
ADVERTISEMENT
LVB dan YSF dilaporkan memiliki ideologi radikal dan merupakan pendukung ISIS, menggunakan sepeda motor mendekati pintu masuk katedral pada Minggu pagi, meledakkan bom yang mengakibatkan 20 orang tewas, termasuk mereka sendiri, dan melukai puluhan lainnya.
Berdasarkan fakta-fakta yang ada, jelaslah bahwa ancaman lone wolf terrorism masih ada di Indonesia, mengingat sejarah terorisme dan radikalisme yang panjang di Indonesia. Terlepas dari upaya pemerintah Indonesia untuk memerangi terorisme, lone wolf terrorism tetap menjadi ancaman serius karena sulit dideteksi dan dicegah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunculan lone wolf terrorism di Indonesia antara lain masih kuatnya ideologi ekstremis, mudahnya akses terhadap bahan peledak, kemajuan teknologi informasi yang memudahkan perolehan pengetahuan tentang cara membuat bom dan metode penyerangan.
ADVERTISEMENT