Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Disparitas Penjatuhan Pidana dalam Kasus yang Serupa
4 Februari 2024 14:23 WIB
Tulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasal 1 ayat (11) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, sesuai dengan ketentuan undang-undang.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, masih banyak kasus dimana putusan hakim tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, karena adanya inkonsistensi dalam proses pemidanaan. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam hasil peradilan pidana, yang menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana hakim memenuhi tugasnya untuk menegakkan hukum dan memastikan keadilan.
Terjadinya disparitas dalam penegakan hukum pidana merupakan realitas yang menimbulkan kekhawatiran masyarakat tentang apakah hakim dan pengadilan benar-benar menjalankan tugasnya untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dari perspektif sosiologis, disparitas ini dianggap sebagai bukti tidak adanya keadilan masyarakat. Namun, secara hukum, kondisi ini tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum, meskipun perlu diingat bahwa unsur "keadilan" secara inheren harus ada dalam putusan pengadilan.
Penggunaan Istilah “Disparitas” dalam Hukum Pidana
ADVERTISEMENT
Disparitas hukuman pidana, mengacu pada penerapan hukuman yang tidak konsisten untuk pelanggaran yang sama atau pelanggaran dengan tingkat keseriusan yang sebanding tanpa alasan yang jelas. Hal ini terjadi ketika individu yang berbeda menerima hukuman yang berbeda untuk kejahatan yang sama, yang mengarah pada variasi hukuman yang tidak dapat dibenarkan. Masalah ini menyoroti perlunya dasar yang jelas dan dapat dibenarkan untuk keputusan hukuman untuk memastikan keadilan dan menghindari kesenjangan yang sewenang-wenang dalam sistem peradilan pidana.
Sementara menurut Cheang Molly, disparitas pemidanaan atau disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap delik yang sama atau delik yang mempunyai tingkat bahaya yang sebanding, tanpa alasan yang jelas. Konsep ini menyoroti ketidakkonsistenan dalam penjatuhan hukuman pidana dan tidak adanya pedoman yang jelas dalam menentukan hukuman yang tepat untuk kejahatan yang serupa.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Disparitas putusan perkara pidana sebenarnya lebih tertuju pada pada perbedaan hasil keputusan yang diberikan oleh pengadilan terhadap kasus-kasus yang sejenis atau serupa. Disparitas dapat muncul dalam berbagai aspek, seperti hukuman yang dijatuhkan, pertimbangan hukum, atau interpretasi terhadap fakta-fakta yang sama.
Disparitas pidana, sebagaimana didefinisikan oleh Harkristuti Harkrisnowo, dapat terjadi dalam beberapa kategori, antara lain; disparitas antara tindak pidana yang sama, disparitas antara tindak pidana dengan tingkat keseriusan yang sama, disparitas hukuman yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim, dan disparitas hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama. Disparitas ini menyoroti perlunya pedoman dalam penjatuhan hukuman untuk memastikan proporsionalitas dan rasionalitas dalam sistem peradilan pidana.
ADVERTISEMENT
kurangnya pedoman yang jelas untuk menjatuhkan hukuman dalam undang-undang pidana yang ada, yang mengarah pada pengambilan keputusan yang sewenang-wenang oleh hakim dan berkontribusi pada terjadinya disparitas dalam hukuman pidana. Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang pidana harus secara eksplisit mencakup pedoman yang tepat untuk pengenaan hukuman, yang bertujuan untuk mencegah pengambilan keputusan yang sewenang-wenang oleh hakim dan mengurangi disparitas dalam penjatuhan hukuman pidana. Masalah ini sering muncul dan berdampak pada konsistensi dan keadilan hasil peradilan.
Mengapa Bisa Terjadi Disparitas Putusan.?
konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka dan otonom berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Seharusnya, sebagai penegak hukum, hakim wajib mematuhi serangkaian prinsip-prinsip dasar, baik di dalam maupun di luar tugas resmi mereka, untuk memastikan standar yang tinggi dan meminimalkan kesenjangan dalam penjatuhan pidana.
ADVERTISEMENT
Pertama, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 1, yang menjamin prinsip kebebasan peradilan atau kekuasaan kehakiman yang merdeka. Prinsip ini menjamin bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menggunakan penilaian dan diskresi mereka dalam membuat keputusan dalam lingkup tugas yudisial mereka. Prinsip ini menekankan independensi dan otonomi hakim dalam sistem peradilan Indonesia.
Kedua, lahirnya teori Ratio Decidendi, adalah istilah Latin yang biasanya diterjemahkan sebagai alasan keputusan. Istilah ini mengacu pada prinsip hukum atau poin spesifik dalam suatu kasus yang menjadi dasar putusan. Menurut Black's Law Dictionary, ini adalah "poin dalam sebuah kasus yang menentukan putusan," sedangkan Barron's Law Dictionary mendefinisikannya sebagai "prinsip yang ditetapkan oleh kasus tersebut."
Hal ini didukung oleh Dissenting Opinion hakim, yang mengacu pada perbedaan keputusan hukum dalam kasus tertentu, terutama dalam masyarakat yang beragam dan multikultural di mana variasi dalam pemahaman hukum adalah hal yang umum. Hal ini menandakan penyimpangan dari pendapat mayoritas dan mencerminkan sudut pandang alternatif dari hakim yang berbeda pendapat tentang masalah tersebut. Konsep ini mengakui adanya perspektif dan interpretasi yang berbeda dalam sistem hukum.
ADVERTISEMENT
Ketiga, karena adanya doktrin Res Judicata Pro Veritate Hebetur, yang biasa disingkat Res Judicata, mengacu pada prinsip hukum yang berarti perkara yang telah diputuskan. Menurut Black's Law Dictionary, Res Judicata menandakan masalah yang telah ditindaklanjuti atau diputuskan secara yudisial, dan ini menetapkan bahwa putusan akhir yang diberikan oleh pengadilan yang kompeten atas dasar fakta-fakta yang meyakinkan mengenai hak-hak para pihak yang terlibat, yang berfungsi sebagai penghalang absolut untuk tindakan selanjutnya yang melibatkan klaim, permintaan, atau penyebab tindakan yang sama.
Pada intinya, Res Judicata memastikan finalitas dan sifat mengikat dari keputusan pengadilan, mencegah relitigasi dari masalah yang telah diselesaikan.