Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Konsep Kohabitasi dalam Pembaharuan KUHP
8 Agustus 2024 9:50 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keinginan intrinsik manusia untuk bersahabat dan berinteraksi sosial, menekankan kebutuhan mendasar manusia untuk hidup bersama dalam berbagai bentuk hubungan. Hal ini menggarisbawahi sifat universal dari keberadaan manusia, di mana individu hidup berdampingan dalam kelompok, membentuk ikatan sosial yang membentuk struktur masyarakat dan interaksi di berbagai budaya dan periode waktu. Konsep ini mencerminkan dinamika hubungan manusia yang rumit dan pentingnya kehidupan bersama dalam konteks yang lebih luas dari perkembangan masyarakat dan keanekaragaman budaya.
ADVERTISEMENT
keragaman budaya dan nilai-nilai moral dalam masyarakat Indonesia, menyoroti munculnya fenomena sosial baru yang berkaitan dengan kejahatan seksual, seperti praktik “kohabitasi” (kumpul kebo) di mana laki-laki dan perempuan yang belum menikah tinggal bersama. Perilaku ini dianggap sebagai penyimpangan dari norma-norma masyarakat dan menimbulkan kekhawatiran tentang perilaku moral dan implikasi hukum dalam konteks budaya dan hukum Indonesia. Tulisan kita kali ini menggarisbawahi interaksi yang kompleks antara praktik-praktik budaya, nilai-nilai masyarakat, dan kerangka hukum dalam menangani isu-isu moralitas dan perilaku sosial.
Gambaran Singkat Tindak Pidana
Suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana manakala (1) diatur oleh undang-undang, (2) ada pelaku “dader”, dan (3) ada korban “Slachtoffer”. Suatu subjek hukum seperti manusia (natuurlijk Persoon) dapat dikatakan sebagai pelaku kejahatan manakala ia melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan ada ancaman pidananya, baik dilakukan secara sengaja atau karena kelalaiannya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan korban ialah suatu subjek hukum seperti manusia (natuurlijk Persoon) yang mengalami kerugian atau penderitaan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Kerugian yang dialami dapat berupa (1), kerugian secara fisik, seperti luka, atau sampai hilangnya nyawa. (2) kerugian secara psikologis maupun psikososial. dan (3) kerugian secara ekonomi, sepertinya hilangnya harta benda karena dicuri oleh maling.
Hubungan antara pelaku dan korban adalah hubungan kausal, di mana tindakan pelaku menyebabkan kerugian bagi korban. Ini adalah elemen penting dalam menentukan adanya tindak pidana dan menetapkan hukuman bagi pelaku. Tanpa adanya korban yang dirugikan, tindakan tersebut mungkin tidak dianggap sebagai tindak pidana.
Penjelasan diatas ialah gambaran sederhana tentang konsep tindak pidana. Akan tetapi jika kita kembali pada pokok pembahasan kai ini, kita harus tahu pula bahwa ada tindak pidana yang tidak ada korbannya. Seperti drugs, aborsi, perjudian illegal, prostitusi, dan kohabitasi.
ADVERTISEMENT
Mengenal Kohabitasi
Kihabitasi adalah hubungan layaknya sepasang suami-istri tanpa ikatan perkawinan yang sah. Beberapa kelompok masyarakat menganggapnya sebagai bentuk perilaku menyimpang. Perspektif masyarakat dan hukum tentang kohabitasi menekankan tidak adanya ikatan perkawinan yang sah dalam hubungan di mana pasangan hidup bersama sebagai satu unit keluarga. Analisis ini mencerminkan persinggungan antara norma-norma hukum, nilai-nilai sosial, dan persepsi budaya mengenai hubungan dan pernikahan dalam konteks reformasi hukum pidana, Sehingga dalam KUHP yang baru, kohabitasi dikategorikan sebagai tidak pidana.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidaknya kita terhadap perilaku kohabitasi, kita telah dihadapkan terhadap suatu fakta bahwa perilkau seperti ini sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat. Ada begitu banyak hal yang menyebabkan mereka untuk berbuat kohabitasi.
ADVERTISEMENT
Pertama; “Pengujian Kecocokan” dalam konteks hidup bersama mengacu pada keyakinan yang dipegang oleh banyak pasangan bahwa hidup bersama sebelum menikah memungkinkan mereka untuk menilai kecocokan mereka dalam situasi kehidupan sehari-hari. Praktik ini dipandang sebagai cara untuk mengungkap potensi masalah atau ketidakcocokan yang mungkin tidak terlihat saat berpacaran saja, sehingga membantu membuat keputusan yang lebih tepat mengenai kelangsungan jangka panjang hubungan. Dengan berbagi tempat tinggal dan rutinitas, pasangan dapat memperoleh wawasan tentang kebiasaan satu sama lain, gaya komunikasi, dan pendekatan pemecahan masalah, yang dapat berkontribusi pada pemahaman yang lebih dalam tentang kecocokan dan potensi tantangan dalam hubungan yang berkomitmen.
Kedua; “Kesejahteraan ekonomi” disebut-sebut sebagai alasan utama bagi pasangan untuk memilih hidup bersama, karena hidup bersama dapat mengurangi biaya hidup seperti sewa, utilitas, dan makanan, yang mungkin lebih mahal jika ditanggung sendiri-sendiri. Mengumpulkan sumber daya dapat memberikan stabilitas keuangan yang lebih besar bagi pasangan, menawarkan pondasi ekonomi bersama yang berkontribusi pada keamanan dan kesejahteraan finansial mereka secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Ketiga; “Komitmen emosional” dalam hidup bersama menandakan tingkat dedikasi dan cinta yang mendalam dalam sebuah hubungan tanpa batasan formal pernikahan. Hal ini berfungsi sebagai cara bagi seseorang untuk menunjukkan pengabdian dan kasih sayang mereka terhadap pasangannya, menunjukkan komitmen yang serius di luar batas-batas ikatan pernikahan tradisional. Aspek komitmen emosional ini memperhatikan dinamika hubungan modern yang terus berkembang dan beragam cara individu mengekspresikan dedikasi dan cinta mereka dalam konteks hidup bersama. dan
Keempat; terjadinya perubahan norma sosial mengenai kohabitasi mencerminkan pergeseran yang signifikan dalam sikap masyarakat terhadap pengaturan hidup ini selama beberapa dekade terakhir. Kumpul kebo kini dipandang secara luas sebagai praktik yang umum dan diterima secara sosial di banyak tempat, termasuk di kalangan generasi muda, yang mengindikasikan adanya pergeseran dari pandangan tradisional tentang hubungan dan pernikahan. Pergeseran ini menggarisbawahi persepsi yang berkembang mengenai dinamika berhubungan dan struktur komitmen dalam masyarakat kontemporer.
ADVERTISEMENT
Tantangan hidup bersama termasuk perbedaan perlindungan hukum dibandingkan dengan pernikahan, potensi stigma sosial di komunitas tertentu, dan kekhawatiran tentang komitmen jangka panjang dalam hubungan tersebut, yang dapat menyebabkan masalah kepercayaan atau ketidakpastian tentang masa depan. Tantangan-tantangan ini mengkhususkan interaksi yang kompleks antara aspek hukum, sosial, dan emosional dari hidup bersama, perlu digarisbawahi terkait perlunya pertimbangan-pertimbangan khusus dalam menavigasi hubungan tersebut.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan pemahaman yang komprehensif mengenai kerangka hukum, norma-norma masyarakat, dan dinamika interpersonal yang terlibat dalam dinamika hidup bersama, sehingga dalam anggapan mayoritas ahli hukum pidana di indonesia, perbuatan kohabitasi dianggap sebagai perbuatan yang melanggar hukum dan bertentangan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, baik itu norma agama, norma sosial, maupun norma kesusilaan, dan hal ini pula yang pada akhirnya menjadikan kohabitasi sebagai suatu tindak pidana, sebagaimana dirumuskan dalam KUHP yang baru.
ADVERTISEMENT