Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Besarnya Tanggung Jawab Seorang Anak Pertama
8 Oktober 2022 6:16 WIB
Tulisan dari Sandi Kurniawan Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin sebagian dari pembaca adalah anak pertama/anak sulung. Anak pertama dituntut menjadi teladan bagi adik-adiknya, anak pertama juga memiliki beban moril yang besar terhadap orang tua, apalagi kalau anak pertama itu berasal dari kalangan menengah ke bawah. Menjadi anak pertama, memiliki tekanan tersendiri di samping mereka dituntut dewasa dalam menyikapi keadaan dan situasi.
ADVERTISEMENT
Figur yang kuat, kokoh, berpendirian, merupakan keharusan bagi seorang anak pertama. Dewasa juga merupakan sebuah keharusan bagi seorang anak pertama.
Pengangkat Harkat-Martabat Keluarga
Bukan maksud untuk menyalahkan nasib dan keadaan, namun memang demikian tampaknya. Melihat anak pertama keluarga orang lain, mereka memegang tanggung jawab yang besar kepada keluarga dan adik-adiknya. Anak pertama menjadi teladan, contoh, dan harapan keluarga. Seperti yang dikatakan dalam pepatah Minang, mambangkik batang tarandam. Pepatah tersebut memiliki makna “perubah nasib, dan menaikkan martabat orang tua.”
Anak pertama juga memegang peranan sebagai agen of change atau agen perubahan bagi keluarga mereka. Mereka mengemban tugas berat untuk merubah serta mengangkat harkat serta martabat keluarga dan orang tua mereka. Jangan heran pada umumnya anak pertama memiliki pemikiran yang lebih dewasa, karena keadaan yang memaksa mereka untuk dewasa.
ADVERTISEMENT
Masa Kecil Paling Disayang, Dewasa Paling Diharap
Orang tua Kita waktu baru menikah pasti amat menantikan kedatangan Si buah hati. Apabila Kita adalah Si buah hati tersebut, masa kecil Kita pasti penuh perhatian dan kasih sayang. Kita pasti diberikan apa yang Kita minta, tentu bila masih dalam batas wajar.
Seiring perjalanan Kita jadi dewasa, melewati fase pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga berkuliah pemikiran Kita semakin berkembang, seiring dengan pengalaman serta pengetahuan yang didapatkan. Mungkin sesekali Kita berpikir, “ Mau jadi apa Saya?, setelah ini kemana Saya akan pergi ?. “ Pertanyaan ini sering datang dan muncul apabila Kita larut dalam kesunyian di tengah lorong lamunan.
Waktu libur semester menjadi pelepas rindu pada keluarga, berkumpul, serta bercengkerama bersama. Disela waktu bersama itu pasti orang tua Kita pernah berkata “ Ini lihat adik-adik Kamu!, mereka sangat membutuhkanmu!. “ Perkataan tersebut menjadi trigger atau pemecut bagi Kita dalam berjuang menempuh pendidikan/pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Keluarga menjadi sumber semangat dalam menjalankan aktivitas, demi mencapai tujuan serta cita-cita yang diinginkan. Terkadang Kita selaku anak pertama menjadi stress apabila terlalu banyak masalah yang datang. Kita juga sering overthinking dengan semua masalah yang Kita hadapi. Sebenarnya semua itu tergantung kepada persepsi Kita. Tinggal bagaimana Kita fokus terhadap langlah-langkah yang akan Kita lakukan, demi tercapainya tujuan Kita.
Menjadi Contoh dan Teladan
Ibarat figur percontohan, itulah status Kita sebagai anak pertama. Setiap tindak-tanduk Kita dianggap sebagai contoh oleh adik-adik Kita. Kita dituntut mampu untuk mengajar serta mendidik adik-adik Kita, di samping Kita menjadi contoh bagi mereka. Bisa dikatakan pula, status anak pertama mengharuskan Kita mampu menjadi pendidik dan pengajar bagi adik-adik Kita.
ADVERTISEMENT
Kalau Kita berkaca kepada seorang guru, mereka adalah orang-orang yang cenderung sabar dalam menghadapi tingkah laku anak didiknya. Terutama guru Paud dan guru TK, mereka adalah guru yang sabar, karena mereka mengajari anak-anak hal yang paling dasar. Anak pertama juga dituntut sabar dalam menghadapi adik-adik mereka, serta mampu mengarahkan dan membimbing adik-adiknya.
Masa Depan Adalah Misteri
Jodoh, mati, dan takdir itu berada di tangan Tuhan. Namun nasib, itu ada di tangan Kita. Nasib disini bermakna, pencapaian dan cita-cita Kita. Walaupun tak ada jalan pasti untuk mencapainya, namun Kita harus berusaha dengan segenap tenaga untuk mencapainya. Kalah dalam peperangan itu lebih terhormat, dari pada lari keluar medan tempur dengan penuh kehinaan. Lebih baik gagal berkali-kali, dari pada tidak berusaha sama sekali. Sungguh kegagalan adalah kemenangan yang tertunda.
ADVERTISEMENT
Kita yang sudah masuk kedalam fase dewasa awal pasti sudah berfikiran begini, yakni tentang masa depan, dan akan jadi apa kita?. Sebagaimana yang tertulis dalam buku Filosofi Teras tulisan Henry Manampiring, “ Ada hal yang bisa Kita kontrol, dan tidak bisa kontrol.“ Masa depan adalah sesuatu diluar kontrol Kita, sementara usaha dan jerih payah Kita ada di dalam kontrol Kita. Kita harus selalu semangat dalam berjuang!.
Tidak hanya berpasrah dan meratapi nasib yang dialami. Tak usah banyak meratap!, tidak usah banyak mengeluah!. Meratap dan mengeluh adalah hal yang wajar bagi manusia, namun jangan terlalu sibuk dengan hal tersebut, sehingga Kita lupa untuk bergerak dan berusaha.
Tetap semangat dalam berjuang, Para harapan keluarga !!!
ADVERTISEMENT