Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Anomali Ekonomi
22 September 2024 10:18 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Budi Prayitno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepanjang setahun terakhir, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik di sejumlah daerah di Indonesia menghiasi pemberitaan di media massa. Data resmi Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, jumlah PHK dari Januari hingga akhir Agustus mencapai 46.240 pekerja. Jumlah ini diyakini jauh melebihi kondisi riil karena banyaknya PHK yang tidak dilaporkan. Sektor yang paling banyak terpukul adalah industri manufaktur dan tekstil.
ADVERTISEMENT
Banyaknya PHK ini menambah panjang daftar pengangguran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka pengangguran per Februari 2024 mencapai 7,2 juta. Meski diklaim pemerintah mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, termasuk pada saat pandemi covid-19, data tradingeconomics.id menempatkan Indonesia pada posisi pertama pengangguran tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Selain angka pengangguran bertambah, empat tahun terakhir kondisi perekonomian masyarakat kita juga mengalami tekanan. Daya beli masyarakat menurun tetapi tekanan kebutuhan ekonomi dan psikologis meningkat.
Data yang dirilis BPS pada Agustus 2024 menunjukkan terjadinya penurunan kelas menengah hampir 10 juta jiwa. Dari sebelumnya 57,33 juta jiwa menjadi 47,85 juta jiwa. Imbasnya, jumlah masyarakat kategori kelas menengah rentan (aspiring middle class) meningkat dari 128,85 juta jiwa menjadi 137,5 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Realitas ini tampaknya selaras dengan fenomena makan tabungan yang dialami masyarakat kita. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan penurunan nominal tabungan di atas Rp. 100 juta. Dari 586.9a57.525 rekening di perbankan nasional, sebanyak 580.011.407 merupakan rekening dengan nilai tabungan di bawah Rp. 100 juta. (Kompas.com, 11/9). Dari data itu kita ketahui sebanyak 98,8 persen isi tabungan masyarakat kita ada di bawah Rp. 100 juta. Hal ini menjadi gambaran bagaimana bantalan ekonomi masyarakat kita tidak terlalu kuat apabila terjadi kondisi force majeure terhadap mereka.
Anomali
Tidak tersedianya lapangan pekerjaan di sektor formal, tingginya angka pengangguran, serta beratnya beban hidup yang dirasakan masyarakat umum seperti membalik klaim pemerintah tentang keberhasilannya membangkitkan pertumbuhan ekonomi. Sepuluh tahun dibawah pemerintahan Jokowi, berbagai upaya untuk mendongkrak investasi dan pertumbuhan ekonomi dilakukan.
ADVERTISEMENT
Di sektor regulasi, pemerintah mengesahkan Omnimbus Law UU Cipta Kerja, Perpres No. 10 tahun 2021 tentang Daftar Prioritas Investasi, peraturan pemberian insentif dan kemudahan berusaha, peraturan klasifikasi bidang usaha terbuka bagi penanaman modal, hak atas tanah, pelayanan keimigrasian, serta fasilitas perizinan import. Sementara pada sektor infrastruktur, pemerintah membangun infrastruktur secara masif seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, tol laut, bendungan, kereta cepat, jalan dan jembatan, serta Ibu Kota Nusantara.
Hasilnya adalah investasi penanaman modal asing ataupun penanaman modal dalam negeri berhasil dikerek. Data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan investasi sepanjang lima tahun terus menunjukkan trend peningkatan. Pada 2020, realisasi investasi sebesar Rp. 817 triliun, Rp. 901 triliun (2021), Rp. 1.207 triliun (2022), Rp. 1.418, 9 triliun (2023), dan pada tahun 2024 ini target investasi baik asing maupun dalam negeri dipatok Rp. 1.650 triliun
ADVERTISEMENT
Lalu kenapa kondisi ekonomi seperti mengalami stagnansi dan tidak ada trickle down effect dirasakan masyarakat? Jika menilik ke belakang, investasi yang masuk bukanlah investasi padat karya. Sebagai contoh adalah pembangunan infrastruktur. Proyek-proyek strategis itu menggunakan pendekatan hi-tech yang lebih mengedepankan penggunaan teknologi tinggi untuk mempercepat penyelesaian pekerjaan. Akibatnya tidak banyak tenaga kerja terserap.
Demikian juga dengan investasi yang masuk. Data Realisasi Investasi Menurut Sektor per Juni 2024 yang dikeluarkan Kementerian Investasi/BKPM selama 10 tahun terakhir menunjukkan investasi yang masuk merupakan investasi padat modal atau teknologi, khususnya di sektor sekunder dan tersier, seperti industri mesin, mineral non logam, kendaraan bermotor, transportasi, telekomunikasi dan sebagainya. Sehingga wajar serapan tenaga kerjanya pun belum maksimal. Dari data realisasi invetasi Triwulan II yang dikeluarkan BKPM, total serapan tenaga kerja hingga semester II ini diklaim mencapai 1.902.665 orang.
ADVERTISEMENT
Tantangan Pemerintahan
Memerhatikan berbagai data riil, tantangan di lapangan, dan akan segera berakhirnya pemerintahan Joko Widodo – Maaruf Amien, presiden terpilih Prabowo Subianto memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk mengurai masalah tersebut.
Pertama, di tengah meningkatnya investasi, pemerintah perlu mendorong investasi di sektor padat karya sehingga serapan tenaga kerja menjadi lebih banyak dan mampu menekan angka pengangguran terbuka yang masih mencapai 7,2 juta orang. Tanpa investasi di sektor padat karya, mustahil angka pengangguran akan turun. Pada aspek ini, pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana mendorong kualitas SDM agar memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja, termasuk menyediakan pelatihan kerja yang sesuai dengan kebutuhan indsutri per sektor dengan tingkat upah yang layak.
Kedua, regulasi kemudahan izin berusaha sudah dikeluarkan pemerintah, tapi pada prakteknya masih banyak sekali pungutan liar yang dilakukan penyelenggara negara terhadap investor. Data ini terkonfirmasi dengan berbagai pemberitaan tertangkapnya sejumlah kepala daerah dalam kasus suap perijinan. Perlu ada penegakan hukum yang mampu mencegah dari hulu hingga hilir terjadinya ruang pungutan liar sehingga investor merasa nyaman.
ADVERTISEMENT
Ketiga, stabilitas politik yang kondusif. Politik dan ekonomi selalu berkelit kelindan. Pemerintahan Prabowo dengan koalisinya harus menjamin stabilitas politik dan ekonomi dengan meminimalisasi berbagai isu yang berpotensi mengganggu jalan pemerintahannya dalam kerangka demokratis. Dengan demikian target pertumbuhan ekonomi bisa dilecut di atas asumsi RAPBN 2025 sebesar 5,3 persen.
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi pemerintahan Prabowo memang tidak sesederhana di atas kertas saja, tetapi political will yang baik dalam rangka membangun perekonomian di tengah kondisi global yang mengalami stagnasi ekonomi semoga dapat membawa kondisi Indonesia menjadi lebih baik dari sekarang.