Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Lengser Keprabon, Jokowi Pamit
6 Oktober 2024 8:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Budi Prayitno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dua pekan lagi atau tepatnya 20 Oktober mendatang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan lengser keprabon atau mengakhiri masa jabatannya selama satu dekade memimpin Indonesia. Jokowi yang berangkat dari Wali Kota Solo dua periode, lalu terpilih sebagai Gubernur DKI pada 2012, dan mulai terpilih sebagai presiden sejak 2014 merupakan pemimpin populis yang dianggap mendobrak patronase politik yang elitis dan berjarak dengan rakyat.
ADVERTISEMENT
Jargon "Jokowi adalah Kita" pada satu dekade lalu mampu menyihir banyak kalangan. Jokowi bukan siapa-siapa, tidak punya partai politik, bukan trah elite, tetapi dipersonifikasikan sebagai rakyat kecil yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Gaya blusukannya yang tak berjarak dengan rakyat mampu mengeliminasi formalitas jabatan politik sekaligus jabatan publik selama ini. Publik pun terkesima.
Apalagi pada periode pertamanya yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jokowi menawarkan berbagai kebijakan sebagai solusi atas permasalahan bangsa dengan program Nawa Cita dan Revolusi Mental. Singkatnya, kebijakan yang ditawarkan adalah negara akan hadir untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali. Negara juga akan mendorong mentalitas warganya untuk melakukan lompatan dari bangsa bermental kuli akibat dijajah ratusan tahun menjadi warga bermental pemenang yang siap bersaing dengan bangsa maju lainnya.
ADVERTISEMENT
Pada pemilihan presiden periode kedua, Jokowi yang berpasangan dengan Ma'aruf Amien kembali mendapat mandat rakyat untuk menjadi presiden kedua kalinya. Dengan dukungan koalisi partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) serta topangan militan dari barisan relawan, stabilitas politik pemerintahannya di parlemen terjaga. Pada dua periode kepemimpinannya, Jokowi membangun infrastruktur secara masif. Proyek mercusuar ini diklaim sebagai upaya mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia yang terlambat dalam pembangunan infrastruktur. Banyak pihak mengapresiasi mahzab developmentalism-nya, tapi tak sedikit pula yang mencibir. Dia dielu-elukan pengikut dan sekutunya, tetapi dicaci maki pengkritik dan lawan politiknya.
Testing the Water
Keberhasilan Jokowi membangun infrastruktur secara masif, melewati pandemi covid-19, dan stabilitas dukungan politik seolah membawa dirinya pada posisi jumawa. Adagium politik yang disampaikan oleh Lord Acton "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" seolah menemukan relasinya. Dalam beberapa video di kanal youtube, mantan Gubernur Lemhanas, Andi Widjojanto, menyampaikan bahwa dirinya diminta presiden untuk melakukan kajian mengenai kemungkinan perpanjangan masa jabatan.
ADVERTISEMENT
Sejumlah elite dan pialang politik juga membangun isu perpanjangan masa jabatan presiden dengan dalih kurang optimalnya kepemimpinan presiden akibat pandemi covid-19. Testing the water yang dilakukan ini menuai reaksi publik. Jokowi muncul mengklarifikasi isu ini di hadapan media. Pola yang dimainkan ini mengingatkan kita pada bagaimana demokrasi ditumbangkan oleh mereka yang muncul dari rahim demokrasi dan populisme. Alberto Fujimori, ataupun Hugo Chaves adalah contoh bagaimana bangunan demokrasi ditumbangkan dengan dalih-dalih konstitusional. (Levitsky, Ziblat : 2018)
Hari-hari berikutnya jagat politik kita diwarnai dengan demonstrasi dan polarisasi. Sejak masa Pilpres hingga jelang pendaftaran Pilkada serentak 2024, cawe-cawe presiden disinyalir tidak berhenti begitu saja. Instrumen demokrasi diamputasi dengan berbagai dalih dan praktik legalisme otokratik. Dalam diamnya terlihat dia berupaya mengantarkan dua anak dan satu menantunya menduduki jabatan politik. Satu berhasil, satu gagal, satu sedang berkontestasi.
ADVERTISEMENT
Perilaku politik ini menuai arus balik dari kalangan intelektual. Ada yang lupa bahwa demokrasi pada dasarnya bersandar pada dua hal pokok yaitu yang tertulis dan tidak tertulis. Apabila yang tertulis saja dilanggar, maka yang tidak tertulis akan mengikutinya. Aturan tidak tertulis berupa fatsoen atau norma politik itu menjadi pagar lembut demokrasi. Meski tidak tertulis, dan tidak terlihat, bukan berarti dia tidak ada. Dia menjadi kode etik yang telah menjadi pengetahuan umum dan harus diterima, dihormati, dan ditegakkan oleh semua orang (Levitsky, Ziblat : 2018).
Norma fundamental demokrasi yang dilanggar inilah yang kemudian meluluhlantakkan doktrin terhadapnya sebagai orang baik. Populisme yang menjadi modal dasarnya muncul di pentas politik nasional kini berganti menjadi serangan berupa kritikan, hujatan, dan sindiran. Keluarga besarnya menjadi bulan-bulanan melalui postingan, meme, video pendek, hingga stiker whatsapp di media sosial.
ADVERTISEMENT
Jokowi Pamit
Menyadari masa kekuasaannya akan segera berakhir, selama sebulan terakhir, Jokowi menyampaikan permohonan maaf secara singkat di berbagai kesempatan. Dia mengatakan sebagai manusia pasti penuh kekurangan, kekhilafan, dan ketidaksempurnaan.
Satu dekade kepemimpinan bukan waktu yang pendek. Entah apa yang ada dibenak publik selama masa kepemimpinannya satu dekade ini, semuanya saya serahkan kepada benak sidang pembaca. Yang pasti dari catatan saya pribadi, berbagai kebijakan yang dia janjikan dan dengung-dengungkan tidak melahirkan apapun kecuali banalitas dalam tindakan politiknya. Di luar pembangunan infrastruktur yang masif dan meningkatnya beban hutang, janji penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen, perbaikan birokrasi, hingga revolusi mental, terasa seperti pepesan kosong ketika kita hadapkan dengan realitas yang dihadapi sebagian besar masyarakat kita akhir-akhir ini.
ADVERTISEMENT