Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Belajar Kebahagiaan Melalui Konsep "PERMA" dalam Psikologi Positif
25 Juni 2022 12:32 WIB
Tulisan dari Sani Rahma Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, trend kesehatan mental mulai naik-naiknya. Berbagai media sosial dipenuhi dengan edukasi terkait mental health, diantaranya dapat kita temukan di Instagram, twitter, youtube, hingga tiktok. Mulai dari profesional hingga para influencer banyak yang mengambil isu kesehatan mental menjadi konten mereka, hal ini dilakukan sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat luas tentang betapa pentingnya mental yang sehat dalam diri tiap individu sehingga individu merasakan kesejahteraan/well-being dan kebahagiaan dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Dalam Psikologi Positif, kesejahteraan digambarkan dengan flourishing yang merupakan kesejahteraan tertinggi, didasarkan pada teori hedonic dan eudaimonic. Sebelumnya, Psikologi Positif merupakan gerakan baru dalam Psikologi yang dibentuk oleh Martin Seligman pada tahun 1998. Psikologi positif menawarkan hal baru yang berfokus pada sisi positif manusia seperti kekuatan dan kebajikan dalam diri sehingga mereka bisa berhasil dalam meraih tujuan hidup dan menjadi bahagia. Sedangkan, aliran psikologi yang telah ada sebelumnya lebih berfokus pada sisi negatif seperti penyembuhan terkait mental disorder, kecenderungan merusak, serta egoisme.
Tujuan dari Psikologi Positif adalah kesejahteraan, didirikan dengan keinginan untuk membuat manusia memiliki kehidupan yang baik, kehidupan yang menyenangkan, dan kehidupan yang bermakna (Efendy, 2016). Kesejahteraan dalam Psikologi Positif digambarkan dalam istilah “flourishing” yang merupakan kesejahteraan tertinggi. Konsep flourishing dalam Psikologi Positif tidak dapat dipisahkan dari konsep kebahagiaan dan kesejahteraan. Martin Seligman mengusulkan konsep PERMA pada tahun 2006 sebagai tujuan dari Psikologi Positif dan sebagai perbaikan dari konsep Authentic Happiness di awal tahun 2000 yang meliputi 3 dimensi (positive emotion engagement, dan meaning). Konsep PERMA terdiri dari 5 pilar yang dikenal dengan flourishing.
ADVERTISEMENT
Akronim PERMA memiliki kepanjangan yang terdiri dari Positive Emotion, Engagement, Relationship/Positive, Relationship, Meaning, dan Accomplishment/Achievement. PERMA menjadi tanda maupun cara bagi individu untuk mencapai kehidupan yang flourishing, yakni keadaan seseorang yang menunjukkan perkembangan optimal dari fungsi-fungsi yang berjalan sangat baik (Usman, 2017). Individu akan menjadi flourishing atau memiliki kesejahteraan secara maksimal melalui 5 pilar tersebut, yakni memiliki kualitas emosi yang baik dan seimbang, relasi yang positif dengan orang lain, hidup yang bermakna dan memiliki tujuan baik bagi sesama, serta memiliki autonomi atau kemandirian melalui kualitas dan kuantitas dalam mencapai prestasi di kehidupan individu.
Lalu, bagaimana cara menerapkan PERMA agar flourishing dan kebahagiaan yang maksimal dapat kita rasakan di dalam kehidupan kita? Berikut akan kita kupas tuntas mengenai prinsip PERMA:
ADVERTISEMENT
1. Positive Emotion
Merupakan emosi positif yang dapat tercapai melalui dua sumber kenikmatan, yakni kenikmatan dan kesenangan. Kenikmatan berhubungan dengan hal-hal fisik, seperti makan makanan yang enak dan tidur saat lelah. Sementara, kesenangan lebih berhubungan dengan intelektual dan kreativitas.
Untuk mengetahui tentang emosi positif dalam diri kita, coba tanyakan kepada diri sendiri “seberapa sering kita merasakan emosi positif dalam hidup kita?”. Perasaan positif sangat diperlukan oleh diri kita untuk merasakan suatu kebahagiaan. Kita tidak mungkin bisa bahagia bila emosi dalam yang kita rasakan adalah sedih, kecewa, maupun marah. Oleh karena itu, cobalah untuk memunculkan emosi positif dalam hidup kita, seperti bersyukur, bahagia, cinta, harapan, keyakinan, dan lainnya.
2. Engagement
Engagement artinya adalah kelekatan, merupakan kemampuan individu untuk menikmati berbagai aktivitas sehari-hari. Hal ini bisa disadari melalui observasi pada diri, apakah kita mencurahkan seluruh perhatian baik fisik maupun psikis kepada aktivitas yang kita lakukan. Contohnya adalah ketika kita makan, cobalah untuk memusatkan perhatian kita untuk makan tanpa disibukkan dengan hal lain, lalu saat istirahat, maupun saat bekerja yakni sejauh mana kita menikmati pekerjaan yang kita lakukan. Kondisi fokus dan menikmati aktivitas yang kita lakukan ini dapat membantu meningkatkan kebahagiaan seseorang.
ADVERTISEMENT
3. Positive Relationship
Hubungan sosial merupakan hal yang mendasar bagi setiap orang. Butler & Kern (2016) dalam jurnalnya memaparkan bahwa dukungan sosial telah dikaitkan dengan lebih sedikitnya depresi dan psikopatologi kesehatan fisik, risiko kematian yang lebih rendah, perilaku yang lebih sehat, dan hasil positif lainnya. Hubungan positif mengacu pada koneksi dan tali hubungan yang dimiliki individu dengan orang lain yang bersifat positif. Menciptakan hubungan yang positif dengan orang lain dapat membantu meningkatkan kebahagiaan.
4. Meaning
Meaning adalah kehidupan yang bermakna. Semua tindakan yang dilakukan oleh individu didorong oleh suatu meaning atau makna hidup. Mengetahui makna eksistensi di dunia bisa dilakukan dengan melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang telah kita lakukan. Ketidakmampuan memaknai hidup ibarat orang yang tidak memiliki pendirian yang jelas dan mudah untuk terbawa arus kehidupan orang lain. Salah satu contoh dari meaning adalah dengan melakukan perubahan dalam lingkungan sekitar, dengan cara membantu orang-orang melalui kegiatan bakti sosial. Aktivitas ini membuat kita merasa memiliki makna dalam kehidupan kita, yakni dengan membuat kita merasa bahwa diri kita ada dan bermanfaat kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
5. Accomplishment
Artinya adalah suatu pencapaian/prestasi. Hal ini berhubungan dengan kemajuan diri, yang tidak harus berbentuk materiel, melainkan dapat berbentuk moral. Pencapaian atau prestasi individu terhadap target yang dimilikinya sangat berpengaruh terhadap tingkat kebahagiaan seseorang. Hal ini tidak lepas dari sikap optimisme yang dimilikinya. Selain itu, kemajuan diri individu ini tidak hanya ada, melainkan juga harus dirasakan atau dinikmati. Menikmati artinya adalah kita merasakan kemajuan tersebut dan mensyukuri hal itu.
Kelima aspek PERMA menjadi konsep utama bagi Psikologi Positif tentang kebahagiaan. Konsep ini berusaha mengakomodasi konsep-konsep yang ada sebelumnya. Untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup, kita bisa berpacu dengan konsep PERMA yang dimiliki Seligman ini. Namun, kita juga berhak untuk berpegang pada konsep-konsep yang lain. Last but not least, kebahagiaan tak selalu berasal dari luar, seringkali justru berasal dari dalam diri. Seperti halnya kita tidak dapat mengendalikan hal-hal di luar kendali kita, kebahagiaan ternyata cukup fleksibel karena dapat kita kendalikan juga. Ajaibnya, suatu kebahagiaan dapat kita ciptakan sendiri, tidak melulu melalui perantara orang lain. Hal inilah yang dapat kita kendalikan sehingga unsur kebahagiaan hadir dalam hidup kita dan kita merasa hidup seutuhnya.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Butler, J., & Kern, M. L. (2016). The PERMA-Profiler: A brief multidimensional measure of flourishing. International Journal of Wellbeing, 6(3). https://doi.org/10.5502/ijw.v6i3.526
Effendy, N. (2016). Konsep flourishing dalam psikologi positif: Subjective well-being atau berbeda. In Seminar Asean Psychology & Humanity, 2004(326-333).
Goh, P. S., Goh, Y. W., Jeevanandam, L., Nyolczas, Z., Kun, A., Watanabe, Y., ... & Jiang, J. (2021). Be happy to be successful: a mediational model of PERMA variables. Asia Pacific Journal of Human Resources, (1-26). https://doi.org/10.1111/1744-7941.12283
Lopez, S.J., Pedrotti, J.T., Snyder C. (2017). Positive Psychology The Scientific and Practical Explorations of Human Strengths (3 rd). California: Sage Publications.
Usman, J. (2017). KONSEP KEBAHAGIAN MARTIN SELIGMAN. Rausyan Fikr: Jurnal Ilmu Studi Ushuluddin dan Filsafat, 13(2), 359-374. https://doi.org/10.24239/rsy.v13i2.270
ADVERTISEMENT