Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Buffon
6 Juni 2017 19:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Marini Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika Albert Camus, Eduardo Galeano, dan Jonathan Wilson menulis kesoliteran penjaga gawang dengan melankolis, Buffon menceritakannya dengan jenaka.
ADVERTISEMENT
Menulis Buffon adalah perkara sulit. Ini seperti berusaha untuk bercerita tentang orang yang setiap hari kau temui tapi tidak pernah bicara banyak. Ada banyak hal yang kau tahu tentangnya. Tapi tetap saja kau tidak bisa berbicara banyak, tak sanggup bicara lugas, karena yang kau tahu itu bukan pengenalanmu sendiri.
Kesulitan saya bercerita tentang Buffon agaknya mirip dengan kesulitan untuk bercerita tentang abang. Usia kami tak berbeda jauh. Benar-benar tak beda jauh, tak sampai hitungan jam. Kami cuma berbeda dua menit. Buat saya, ia abang dua menit. Tapi biarpun hanya dua menit, saya tetap harus memanggilnya abang. Hih! Kami kembar sepasang. Syukurlah nama kami tak mirip. Kami pun tak identik walau kata orang, jika diperhatikan baik-baik bakal mirip juga. Tapi sebenarnya saya tak peduli-peduli amat dengan itu semua.
ADVERTISEMENT
Waktu kanak sampai remaja, tentu kami tinggal serumah. Ada sejumlah temannya yang juga jadi teman saya. Bahkan kami beberapa kali masuk di kelas yang sama. Saya juga ingat, di pelajaran komputer dulu kami jadi teman sebangku karena nomor absen kami memang berdekatan. Dan tentu saja, itu pelajaran yang paling membuat saya rikuh. Tapi ya apa boleh bikin, namanya juga keputusan sekolah.
Walau tinggal serumah, belajar di kelas yang sama, menonton dan bermain bola bersama – sebenarnya kami tak pernah bicara banyak. Secara emosional, kami tak dekat. Saya bukannya tak tahu kapan abang merasa sedih, marah, gembira ataupun kalut. Tentu saya tahu. Yang tidak saya tahu adalah apa yang ia pikirkan pertama kali waktu menerima kabar meninggalnya bapak. Apa yang muncul dalam hatinya waktu keberadaannya dibanding-bandingkan. Pelarian macam apa yang ia dapatkan dari permainan daring, mengapa ia berhenti melukis. Atau apa-apa saja yang membuatnya senang bukan main waktu pertama kali berpacaran. Ya, hal-hal semacam itu. Hal-hal yang membutuhkan pengenalan personal dan mendalam.
ADVERTISEMENT
Saya sering mencoba untuk berbicara tentang kembaran saya ini. Menjelaskan dia seperti apa, ini dan itu – laiknya saudara kembar. Namun, akhirnya saya paham bahwa ada banyak hal yang tidak saya mengerti secara mendetail. Dan entah apa sebabnya, saya yakin dia juga seperti itu. Perihal kedekatan dan kedalaman memang tak pernah bicara soal hubungan darah. Lantas, belakangan, ketidakmengertian saya membuat saya jadi percaya bahwa kami adalah antitesis dari saudara kembar.
Saya merenung-renung perihal macam ini saat melihat slogan yang diserukan akun resmi Juventus beberapa saat setelah mereka diluluhlantakkan Real Madrid 1-4 di final Liga Champion akhir pekan kemarin. Mereka bilang “It’s Time to be Proud”, lengkap dengan foto Allegri dan Buffon yang mencolok. It’s time to be proud, waktunya untuk berbangga. Bapa di surga.
ADVERTISEMENT
Ketika James Horncastle memandu sesi wawancara dengan Buffon untuk The Guardian, ia membukanya dengan pertanyaan menyoal saran apa yang hendak diberikan Buffon kepada siapa pun yang ingin menjadi seorang penjaga gawang.
“Ganti cita-citamu. Jangan mau jadi penjaga gawang,” demikianlah Buffon menjawab pertanyaan tadi.
Buffon tadinya tak punya niatan untuk menjadi kiper. Keinginannya untuk menjadi penjaga gawang muncul saat menyaksikan laga Kamerun dan Argentina pada 1990. Adalah kiper Kamerun Thomas N’kono yang mengusik perhatiannya. Ia gemar menyaksikan Thomas saat meninju bola. Dan lagi, katanya, sebagai pesepak bola muda Buffon cenderung bosan untuk 'berlari'. Agaknya bagi Buffon, keputusan untuk banting stir menjadi seorang penjaga gawang adalah gabungan dari kebosanan, rasa penasaran dan kebanggaan. Untuk unsur yang terakhir (kebanggaan), bayangkan rasanya menghalau sepakan pesepak bola ternama dengan meninju bola. Aih, sangar.
ADVERTISEMENT
Bagi Buffon, menjadi penjaga gawang adalah perihal masokis dan egosentris. Buffon mengerti dan mengakuinya. Barangkali contoh mudahnya seperti ini: Bayangkan jika kau menjadi satu-satunya orang yang berhadapan dengan pemain yang siap menendang bola ke arah gawang yang kau kawal. Kalian berdua sama-sama sendirian. Satu lawan satu. Tapi pemain itu adalah orang yang beberapa saat sebelumnya lolos dari penjagaan teman-temanmu. Ia memang belum mencetak gol, tapi kau berdiri di sana, satu lawan satu berhadapan dengan dia yang 'menang' dari kepungan barisan pertahananan kesebelasanmu. Dan ditambah lagi, kalau kau salah sedikit saja, lawanmu pasti berhasil menambah angka.
Pada setiap pertandingan, final ataupun penyisihan, turnamen maupun persahabatan, klub ataupun tim nasional, Buffon diperhadapkan dengan hal ini. Ia bilang bahwa satu-satunya yang pasti dari menjadi penjaga gawang adalah kebobolan gol. Satu-satunya perihal pasti adalah bahwa akan selalu ada gol yang bersarang di gawangmu. Dan kepastian semacam ini, jelaslah bukan kepastian yang menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Bagi Albert Camus, kiper adalah seseorang yang berada di jauh garis riuh permainan ketika gol kemenangan dicetak ke gawang lawan. Namun demikian, ia adalah orang yang teramat dekat dengan ancaman.
Di depan penjaga gawang berdiri berlapis-lapis pemain. Mereka di depan sana saling bantu. Namun kesalahan yang dibiarkan akan menarik pemain lawan berlari mendekati garis gawang. Dan penjaga gawanglah yang membayar kesalahan itu. Lantas Eduardo Galeano, dalam bukunya yang berjudul Soccer in Sun and Shadow menulis, satu-satunya yang bisa dilakukan seorang penjaga gawang untuk menghibur diri adalah memakai kostum warna-warni.
Jika Albert Camus, Eduardo Galeano, dan Jonathan Wilson menulis kesoliteran penjaga gawang dengan melankolis, Buffon menceritakannya dengan jenaka.
Saya ingat wawancara sekitar 2005 yang dilakukan oleh seniman Meksiko, Martina Castillo Deball. Di sesi wawancara itu, Martina mempertanyakan apakah Buffon paham bahwa dalam bahasa Inggris namanya itu berarti badut – atau katakanlah joker.
ADVERTISEMENT
Saya menonton Buffon bersepak bola sejak ia mengenakan seragam Parma. Di pemandangan saya, Buffon adalah sosok yang cukup menyebalkan. Bagi saya, kalau mau jadi penjaga gawang bertingkahlah sebagai penjaga gawang. Tak perlu banyak intrik dan tingkah macam Inzaghi, menarik perhatian wasit dan membikin onar. Drama biarlah menjadi milik dia yang bertugas di depan. Siapa pun yang bertugas di belakang, jagalah gawang itu sebaik-baiknya. Drama sering membikin kacau. Itu tak akan membuatmu terlihat hebat, malah jadi seperti lelucon.
Buffon menanggapi perihal namanya itu dengan kejenakaan dan pengertian sekaligus. Katanya ia memang suka berpikir bahwa ia adalah badut di atas lapangan. Tugas badut adalah menghibur semua orang dan tak jarang dengan memainkan peran bodoh. Buffon sadar bahwa ia sering bertindak bodoh. Tapi menurutnya pula, dengan menjadi badut, ia sedang menjaga hubungan antara olahraga dengan sirkus. Dan bukankah sepak bola memang seperti itu? Ia adalah gabungan dari olahraga dan sirkus. Sportivitas dan emosional. Akal sehat dan romantisme.
ADVERTISEMENT
Buffon berkostum Juventus selama 16 tahun dengan pemahaman seperti itu. Namun, Juventus memiliki Superman bernama Buffon selama 16 tahun.
Superman itu alien teramat kuat. Ia bisa terbang, mengangkat benda-benda yang beratnya tak masuk akal, matanya mengeluarkan laser, tubuhnya kebal peluru. Ia memang bakal babak belur dihajar Kryptonite, namun sehebat apa pun kekalahan Superman, ia akan segera bangkit dan kembali menjadi pahlawan.
Bagaimana pun juga, Buffon adalah anak kandung sepak bola Italia. Sepak bola yang teramat mengagungkan kemenangan. Dalam bukunya yang berjudul Italian Job, Gianluca Vialli dan Gabrielle Marcotti menjelaskan perbedaan antara suporter Inggris dan Italia. Suporter Inggris adalah orang-orang yang menghidupi jargon “If you can’t support when we lose, you can’t support us when we win”. Makanya tak heran, kalah atau menang suporter akan terus bersama klub. Bagi mereka menjadi suporter adalah identitas.
ADVERTISEMENT
Sedangkan sepak bola Italia tidak mengenal budaya suporter yang demikian. Keduanya menjelaskan bahwa suporter Italia memperlakukan fanatisme sepak bola sebagai iman. Jika ada yang dirasa mengusik iman, mereka akan turun ke lapangan. Menuntut perombakan di sana-sini. Vialli dan Marcotti menganalogikannya dengan gereja. Jika ada yang tak beres dengan gereja, jemaat pasti menuntut perubahan majelis dan hal-hal sejenis.
Lihatlah apa yang terjadi saat Lazio kalah di derby Della Capitale. Yang pertama kali diserang adalah pemain Lazio yang sedang ada di dalam bus. Atau peristiwa saat Kaka dan Abbiati harus turun tangan menenangkan ultras Milan yang mengamuk di luar stadion pasca ditahan imbang Genoa karena kecewa dengan performa tim yang semakin merosot. Contoh terbaru adalah suporter Inter Milan yang memilih untuk meninggalkan stadion 20 menit sebelum pertandingan berakhir saat Inter tampil buruk melawan Sassuolo di Giuseppe Meazza. Mereka juga membentangkan spanduk yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti, "Kalian tidak pantas mendapatkan dukungan kami. Kami akan pergi makan siang saja".
ADVERTISEMENT
Saya percaya Buffon paham dengan sepak bola Italia yang seperti ini. Apalagi selama 5 tahun pula, ia dilatih oleh Antonio Conte – bila masa melatih Juventus dan tim nasional Italia digabung. Antonio Conte adalah pelatih yang enggan berkompromi dengan kekalahan. Perkara sepak bola adalah perkara kemampuan dan otak, bukan persoalan hati. Makanya, tak ada istilah kekalahan yang membanggakan dalam sepak bola ala Conte. Ruang ganti Juventus dan Italia adalah ruangan yang melihat kekalahan sebagai perihal najis. Buffon boleh terlihat sangar di lapangan, tapi Conte terlampau garang di ruang ganti, di ruang makan, di sesi latihan dan di pinggir lapangan.
Menyaksikan seruan penggugah semangat dan kebanggaan pasca kakalahan telak di partai krusial sama seperti menyaksikan saya yang berusaha menjelaskan seperti apa kembaran saya itu kepada orang lain. Di partai final itu, tak ada yang pantas dibanggakan dari kekalahan Juventus. Dan saya pikir, hari itu, Juventus tak pernah sungguh-sungguh mengenal Buffon.
ADVERTISEMENT
---
Saya tak pernah sekalipun membayangkan bagaimana rasanya berjalan meninggalkan podium seolah tak melihat trofi Liga Champion. Berjalan sambil memikirkan kata-kata apa yang bakal disampaikan di konferensi pers. Atau lelucon-lelucon apa saja yang bakal saya lontarkan beberapa minggu setelahnya.
Namun, agaknya selalu ada hal yang menyadarkan kita tentang musim yang buruk. Semacam disadarkan bahwa sebenarnya kita baru saja kalah saat berhadapan satu lawan satu dengan apa pun yang membawa kita jauh ke ujung garis pertahanan. Kita ada di bawah mistar, melompat ke arah yang salah. Lantas menyaksikan lawan berpesta merayakan gelar juara.