Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pemulihan Ekonomi Nasional Pasca-Pandemi dan Ancaman Krisis Lingkungan
11 Juli 2021 5:25 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:01 WIB
Tulisan dari Sarah Novianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita telah menyaksikan bahwa dalam waktu yang singkat ini pandemi COVID-19 telah berdampak pada perekonomian dunia dan membuat negara-negara kepayahan untuk mengembalikan stabilitas ekonomi mikro dan makro. Hal tersebut dikarenakan terganggunya aktivitas industri, bisnis, perdagangan akibat pembatasan sosial yang berujung pada menurunnya permintaan akan barang dan jasa.
ADVERTISEMENT
Perusahaan kecil maupun besar terkena imbas kemudian terpaksa melakukan pemangkasan termasuk pengurangan tenaga kerja yang mengakibatkan gelombang PHK massal. Akibatnya angka pengangguran dan kemiskinan pun meningkat. Efek domino pandemi terhadap ekonomi nasional inilah yang kemudian memengaruhi global supply chain, laju ekonomi dunia merosot dan terjadi krisis sosial ekonomi.
Dalam menanggapi krisis tersebut pemerintah Indonesia kemudian mengambil langkah pemulihan ekonomi nasional untuk mengembalikan stabilitas ekonomi dengan membuat berbagai kebijakan yang dinilai problematis. Pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi memang memerlukan pendanaan yang sangat besar, umumnya negara-negara berkembang mengambil jalan pintas dengan berutang dan membuka selebar-lebarnya investasi asing pada sektor industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan. Stimulus ekonomi pun diberikan dengan harapan dapat memberikan trickle-down effect.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia sendiri melakukan pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi dengan mengalokasikan dana sebesar Rp. 699, 43 triliun. Di antara dana tersebut dialokasikan pada sektor industri ekstraktif yang dalam pembangunannya dengan cara pembukaan hutan dan gambut untuk pertambangan mineral salah satunya adalah batu bara kemudian perkebunan sawit dan industri lainnya.
Sektor industri ekstraktif tersebut tersebar dari pulai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Pemerintah memfasilitasi para investor melalui lembaga khusus yang mengurusi investasi yakni Kementerian Investasi, serta melalui simplifikasi aturan yang diatur dalam UU Cipta Kerja dan UU Minerba, dengan dalih untuk kemudahan berbisnis demi pemulihan ekonomi pasca pandemi. Sektor industri ekstraktif tersebut tersebar dari pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua.
ADVERTISEMENT
Namun dalam penerapan kebijakan tersebut justru menimbulkan pergolakan dan protes dari masyarakat. Pergolakan dan protes rakyat muncul karena kebijakan-kebijakan pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi dengan membuka investasi asing untuk proyek dan pembangunan infrastruktur melalui skema utang luar negeri dirasa hanya akan meliberalisasi dan swastanisasi sektor-sektor industri ekstraktif yang pada gilirannya akan menambah kerusakan lingkungan hidup.
Kebijakan dan regulasi ini dianggap hanya akan mengistimewakan korporasi saja, sedangkan rakyat hanya akan mendapat limbah dan kerusakan alamnya. Selama ini industri ekstraktif faktanya telah menimbulkan kerusakan seperti pencemaran air, udara, tanah hingga menimbulkan bencana alam seperti longsor, banjir, kebakaran hutan yang pada akhirnya mengancam keselamatan dan keamanan masyarakat.
Pengesahan UU Minerba pada 12 Mei 2020 dan UU Cipta Kerja pada 2 November 2020 dinilai cacat. Rakyat menilai UU tersebut gagal dan illegal, serta harus dibatalkan segera demi keselamatan rakyat dan lingkungan hidup. Protes datang dari para nelayan, petani dan masyarakat adat yang kehilangan sumber penghidupan akibat kerusakan alam dan penggusuran paksa.
ADVERTISEMENT
Rakyat bersama mahasiswa dan LSM mendesak serta menuntut UU Cipta Kerja dan UU Minerba melalui sidang rakyat dan pengajuan judicial review atas pasal-pasal yang bermasalah yang hanya memanfaatkan situasi pandemi untuk kepentingan korporasi. Rakyat merasa seakan dipaksa untuk menyerahkan kontrol atas tanah airnya untuk diambil alih oleh pemerintah yang dianggap hanya untuk melayani kepentingan korporasi atas nama pemulihan ekonomi nasional.
Rakyat menilai bahwa pemerintah telah melakukan otoritarianisme dengan melakukan opresi, pembungkaman hak berpendapat dan berekspresi, larangan memiliki pandangan politik yang berbeda, kriminalisasi dan lainnya. YLBHI mencatat beberapa kebijakan-kebijakan Presiden Joko Widodo yang mengarah pada otoritarianisme semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Beberapa kebijakan-kebijakan otoritarianisme adalah pemberangusan hak atas kebebasan berpendapat, kriminalisasi melalui UU ITE, pemberangusan masif hak menyampaikan pendapat di muka umum, melegalkan kriminalisasi pemilik hak atas tanah dengan dalih komponen cadangan serta masih banyak lagi. Kriminalisasi seringkali dilakukan terhadap para aktivis lingkungan dan warga yang menolak tambang dilakukan untuk membungkam suara mereka.
ADVERTISEMENT
Jaringan Advokasi Tambang mencatat sepanjang 2020 sebanyak 69 warga telah menjadi korban kriminalisasi kasus pertambangan. Konflik pertambangan ini banyak terjadi di provinsi Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sulawesi Tengah. Pemerintah memanfaatkan pasal pemidanaan untuk kriminilisasi demi melindungi proyek pertambangan yang dipegang oleh swasta dan asing.
Kekerasan yang dilakukan polisi untuk menekan masyarakat telah menimbulkan abusive of power atau penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Tak segan pemerintah mengerahkan aparat kepolisian untuk menghadapi rakyatnya sendiri, alih-alih menyelesaikan atau meredam protes seringkali melakukan pelanggaran HAM.
Kita tidak bisa menafikan fakta bahwa sistem ekonomi global dengan kapitalismenya telah berdampak besar pada menurunnya kedaulatan negara, di mana korporasi dan investor global yang memiliki power kapital yang kuat telah memengaruhi negara dalam mengambil suatu kebijakan agar sesuai dengan kepentingan mereka. Power yang mereka miliki tersebut pada akhirnya dianggap telah membuat negara tunduk pada telunjuk korporat karena ketergantungan ekonomi dan utang luar negeri. Akibatnya negara terpaksa ‘menggadaikan’ bumi, air, dan kekayaan alam untuk dikelola oleh asing.
ADVERTISEMENT
Selain itu MNC’s dan TNC’s yang menanamkan modalnya di negara-negara berkembang notabene merupakan milik negara-negara maju. Dominasi negara-negara maju tersebutlah yang sebenarnya ada di balik MNC’s. Hal ini menunjukkan adanya politik dominasi negara maju atas negara berkembang yang membuat negara berkembang dibuat selalu ketergantungan terhadap investasi asing dan utang luar negeri.
China sebagai emerging power melalui Belt and Road Initiative memberikan banyak utang luar negeri ke Indonesia untuk pendanaan proyek-proyek di Indonesia termasuk di sektor industri ekstraktif. Indonesia tetap harus hati-hati jangan sampai logika kedaruratan membuat Indonesia terjebak dalam debt trap karena tidak mampu melunasi utangnya.
Pada gilirannya relasi power yang tidak setara ini mengakibatkan pemerintah negara-negara berkembang seperti Indonesia kehilangan kendali politik domestik karena dikontrol oleh kepentingan korporat global melalui opresi dan intervensi tidak langsung terhadap kebijakan-kebijakan negara untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Demokrasi dan lingkungan hidup pun akhirnya dikorbankan dan rakyat kehilangan suara. Melalui kebijakan yang represfif terhadap rakyat, pemerintah dinilai telah melakukan otoritarianisme, hal ini bisa mengindikasikan kemunduran demokrasi.
ADVERTISEMENT
Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dalam bukunya How Democracies Dies, menyatakan bahwa ada 4 negara atau pemerintah yang diindikasikan otoriter. Pertama, adanya penolakan atau setidaknya memiliki komitmen yang lemah terhadap aturan main yang demorkratis. Kedua, pemberangusan oposisi. Ketiga, memberi toleransi atau bahkan menganjurkan kekerasan aparat ke warga. Keempat adalah pembatasan kebebasan sipil, kebebasan akademik, dan media.
Pemerintah Indonesia seringkali melakukan tindakan represif kekerasan terhadap masyarakat dan aktivis yang menolak dan mengkritisi kebijakan terkait industri ekstraktif dan lingkungan hidup.Siapapun yang menolak proyek pembangunan industri ektraktif yang merusak dianggap anti modernisasi dan anti pembangunan.
Jangan sampai orientasi keuntungan telah mengalahkan perlindungan terhadap masyarakat dan lingkungan hidup. Pemerintah Indonesia jangan sampai tunduk pada korporasi asing dengan dalih untuk moderninsasi dan pembangunan. Kapitalisme telah melahirkan pemerintahan yang otoriter, alih-alih untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi nyatanya hanya berorientasi kepentingan bisnis semata.
ADVERTISEMENT
Masa-masa kritis seperti ini seharusnya dijadikan momentum bagi pemerintah Indonesia untuk mentransformasi kebijakan ekonominya ke arah yang lebih pro lingkungan, pembangunan berkelanjutan dan kerakyatan.
Pemerintah diharapkan lebih bijak dalam mengelola negara dan fokus terhadap penanganan pandemi, pemberantasan korupsi dan peningkatan kualitas demokrasi dan penguatan ekonomi hijau. Indonesia sebagai negara hutan hujan tropis yang memiliki arti penting bagi dunia, harus menjadikan kelebihan ini sebagai posisi tawar dalam bernegosiasi dalam investasi dengan negara lain, hal ini dikarenakan aksi iklim Indonesia sangat memengaruhi politik internasional. Jika hutan Indonesia rusak maka dampaknya sangat besar, selain berdampak pada kelangsungan hidup rakyat Indonesia namun juga berdampak terhadap krisis iklim dunia.