Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memahami Gen Z di Tengah Benturan Antar Generasi
29 September 2024 14:31 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah kajian yang dilakukan oleh Intelligent.com, menemukan bahwa 75% perusahaan tidak puas dengan kinerja Generasi Z. Survei yang melibatkan 1.000 pebisnis tersebut di antaranya menemukan bahwa para pengusaha menilai Gen Z memiliki masalah dengan kemampuan komunikasi dan profesionalisme dalam pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Publikasi riset ini menambah daftar panjang stigma terhadap Generasi Z oleh generasi yang lebih tua. Sebelumnya, mereka sudah dilabeli sebagai generasi strawbery, generasi yang rapuh secara mental. Mereka juga diberi stigma sebagai generasi instan, generasi yang ingin mendapatkan banyak hal tanpa usaha keras. Dan masih banyak stigma lain yang disematkan pada Gen Z.
Sebenarnya, label-label tersebut tidak selalu merepresentasikan kondisi Gen Z yang sebenarnya. Berbagai label itu cenderung menyimplifikasikan realitas. Ia mengabaikan fakta bahwa Gen Z bukan kelompok yang homogen, melainkan heterogen. Karakter, perilaku serta kebiasaan mereka juga beragam.
Ada banyak hal yang menyebabkan berbagai stigma demikian mengemuka. Salah satunya, stigma-stigma negatif pada Gen Z itu terjadi karena orang menilai mereka berdasarkan sebagian kecil kasus, lalu secara sewenang-wenang menggeneralisasikan kesimpulan penilaian itu. Selanjutnya, kesimpulan tersebut berkembang sebagai keyakinan kolektif yang diamini oleh banyak orang.
ADVERTISEMENT
Selain itu, stigma demikian juga muncul karena adanya kesenjangan generasi. Kesenjangan generasi menggambarkan adanya perbedaan-perbedaan dalam aspirasi, cita rasa, pikiran, dan tindakan antara Gen Z dengan generasi sebelumnya. Kesenjangan demikian memicu terjadinya miskomunikasi, kesalahpahaman, ketegangan hingga konflik, yang biasanya bersifat laten, antara dua kelompok generasi tersebut.
Adapun muasal dari kesenjangan generasi tersebut adalah adanya perbedaan pengalaman sosiohistoris antar dua generasi. Kedua generasi tumbuh di bawah pengaruh lingkungan sejarah dan budaya yang berbeda. Generasi milenial, generasi X, dan baby boomers tumbuh serta besar di lingkungan budaya pradigital. Mereka hidup dalam lingkungan sosial dan budaya terbatas.
Kondisi demikian memungkinkan mereka untuk mengembangkan memori kolektif yang relatif homogen. Mereka juga cenderung mewarisi berbagai nilai budaya tradisional dari generasi sebelumnya yang khas dan unik. Situasi demikian memfasilitasi mereka untuk mengembangkan interaksi sosial, model komunikasi, juga cara kerja yang khas guna menyesuaikan lingkungan tersebut.
ADVERTISEMENT
Di sisi berbeda, Gen Z tumbuh di tengah dunia yang serba digital. Sejak kecil mereka akrab dengan telepon pintar, tablet atau komputer. Mereka tumbuh dalam lingkungan sosial dan budaya yang terhubung secara global. Mereka berinteraksi dengan orang dari beragam budaya dan bangsa dari berbagai belahan dunia melalui internet.
Kondisi demikian memfasilitasi Gen Z untuk mengembangkan keyakinan dan nilai-nilai budaya hibrida, percampuran dari berbagai nilai budaya dari berbagai bangsa. Mereka tidak lagi mengadopsi pandangan hidup dan nilai-nilai tradisional sebagaimana yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Cara mereka berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain, serta bekerja juga berbeda dengan generasi sebelumnya karena tuntutan lingkungan digital tersebut.
Secara psikologis, kita dapat menggambarkan bahwa “isi kepala” Gen Z relatif berbeda dengan generasi yang lebih tua. Gen Z mengimajinasikan dunia saling terhubung, bergerak cepat, dinamis, dan berfokus pada hari ini atau masa depan. Sementara generasi sebelumnya cenderung melihat dunia sebagai ruang yang terkotak-kotak, bergerak lambat, statis, dan berfokus pada masa lalu atau tradisi. Sederhananya, generasi yang lebih tua melihat dari perspektif lama, sementara gen Z melihat dunia dengan perspektif baru.
ADVERTISEMENT
Perbedaan cara dalam mengalami dunia tersebut kemudian menyebabkan kedua generasi juga memiliki standar berbeda mengenai yang ideal, yang baik, atau yang benar. Lebih lanjut, perbedaan-dalam pengalaman sosiohistoris itu juga menyebabkan Gen Z mengembangkan sikap, kepribadian, perilaku, dan gaya hidup yang khas, yang berbeda dengan karakter generasi sebelumnya.
Berbagai perbedaan tersebut yang menyebabkan kedua generasi sering berbenturan di dunia nyata. Benturan tersebut tidak hanya terjadi dalam setting pekerjaan, melainkan terjadi pada hampir semua bidang kehidupan. Benturan-benturan itu terjadi di setting keluarga, sekolah, tempat ibadah, dan di berbagai ruang publik yang lain. Yang menjadi subjek perbedaan juga beragam, mulai dari hal yang penting hingga yang remeh temeh, misalnya soal pilihan politik, keyakinan keagamaan, pengasuhan anak, makanan, fashion, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Di kehidupan sehari-hari, dalam kesenjangan generasi itu juga berlangsung relasi kuasa yang timpang. Yang mana generasi yang lebih tua umumnya menjadi kelompok yang menguasai sumber daya ekonomi, sosial, budaya, maupun politik di masyarakat. Dengan kata lain, mereka merupakan kelompok yang lebih dominan dan berkuasa.
Sebagai kelompok yang lebih berkuasa, mereka dapat menentukan standard nilai yang berlaku untuk publik. Mereka merasa memiliki hak untuk menentukan yang normal atau tidak normal, yang ideal, yang baik, yang benar dan sebagainya. Di sisi lain, berbagai nilai atau perilaku yang tidak sesuai standar mereka akan dianggap “salah”, “menyimpang”, dan sebagainya.
Berbagai stigma yang dilekatkan pada Gen Z kerapkali merupakan efek dari kekuasaan yang timpang tersebut. Generasi yang lebih tua, yang juga memiliki kuasa, dapat memproduksi dan memelihara pengetahuan, label dan stigma, sebagai hasil dari penilaian mereka terhadap generasi Z. Label itu diberikan sebagai ekspresi dari ketidaksetujuan, kerapkali juga ekspresi ketidaksukaan terhadap Gen Z yang perilakunya berseberangan dengan generasi yang lebih tua.
ADVERTISEMENT
Di sisi berbeda, sebagai kelompok subordinat, Gen Z tidak memiliki sumber daya untuk memproduksi pengetahuan guna menjelaskan dirinya, atau memberikan reaksi balik terhadap berbagai label yang diberikan kepadanya. “Perseteruan” yang timpang tersebut tersebut terus terjadi di ruang publik. Gen Z secara terus menerus menjadi objek dari berbagai stigma, tanpa dapat memberikan perlawanan. Sehingga kemudian seolah-olah berbagai stigma yang dilekatkan pada mereka tersebut benar secara faktual, padahal tidak selalu demikian yang terjadi.
Yang patut kita sadari, perseteruan antar generasi tersebut sebenarnya terus berlangsung sepanjang zaman, mengikuti siklus pergantian generasi. Generasi yang lebih muda, karena relasi kuasa yang timpang, selalu menjadi objek bulan-bulanan generasi yang lebih tua. Generasi yang sekarang membully Gen Z adalah generasi yang pada waktu mereka muda menjadi korban dari perundungan generasi sebelumnya. Dan siklus perundungan antar generasi ini terus terjadi.
ADVERTISEMENT
Dengan mempertimbangkan kenyataan demikian, saya melihat bahwa model relasi antar generasi demikian jauh dari ideal. Dalam konteks Gen Z, kita perlu melihat bahwa Gen Z adalah generasi masa depan. Sebagian mereka adalah adik-adik kita, sebagian yang lain adalah anak-anak kita. Mereka memang berbeda, dan memang harus berbeda, dalam banyak hal. Karena mereka lahir dan ada dari rahim lingkungan sosial budaya yang berbeda. Mereka lahir untuk masa depan, bukan semata untuk masa lalu dan hari ini.
Ketika mereka menampilkan perilaku berbeda, itu artinya mereka dapat beradaptasi dengan perubahan zaman. Ia bukan bentuk pembangkangan terhadap generasi sebelumnya. Perilaku yang mereka tunjukkan adalah bentuk respons terhadap zaman yang berkembang. Sangat mungkin, perilaku yang mereka kembangkan hari ini akan menjadi perilaku sosial yang umum atau biasa di masa depan. Sementara cara hidup yang hari ini dianggap “normal” oleh generasi yang lebih tua, mungkin adalah cara hidup yang akan tergusur dan dipinggirkan oleh zaman yang baru.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan generasi, siklus demikian yang selalu terjadi. Cara-cara hidup lama yang dipegang oleh generasi yang lebih tua akan didisrupsi oleh cara-cara hidup yang baru, yang dikembangkan oleh generasi yang lebih muda. Ketika Gen Z mulai menggantikan generasi yang lebih tua dalam menguasai sumber daya, cara-cara lama itu akan usang dan hilang, sementara cara-cara baru itu akan tumbuh dan berkembang.
Mempertimbangkan hal demikian, penting kiranya dikembangkan model atau pola-pola komunikasi dan interaksi antara Gen Z dan generasi sebelumnya. Salah satunya, hal itu dapat dilakukan dengan cara generasi lebih tua berperan sebagai pembimbing bagi generasi yang lebih muda. Sebagai pembimbing, mereka bersedia untuk mendengarkan pandangan dan pendapat dari generasi yang lebih muda. Termasuk untuk melihat dari perspektif generasi muda, serta mengembangkan model berkolaborasi yang dapat mengakomodasi mereka.
ADVERTISEMENT
Sikap sebagai pembimbing demikian dapat menghindarkan generasi yang lebih tua dari pandangan yang cenderung bias terhadap terhadap Gen Z. Mereka dapat memahami Gen Z secara lebih utuh. Bahwa Gen Z memang tidak tumbuh di "dunia lama", sehingga mereka tidak memiliki memori kolektif yang sama dengan mereka. Karenanya, berbagai persoalan harus didisksusikan secara mendalam agar ada titik temu dari cara pandang dua generasi.
Yang tidak kalah penting dari itu adalah pengemangan empati di antara dua generasi. Generasi yang lebih tua perlu berempati terhadap Generasi Z. Pun sebaliknya, Generasi Z juga perlu berempati terhadap generasi yang lebih tua. Empati demikian memungkinkan masing-masing generasi dapat berdiri pada posisi generasi yang lain. Dengan membayangkan dirinya sebagai bagian dari generasi yang lain tersebut, mereka dapat saling memahami satu sama lain tanpa dikotori oleh bias-bias yang bersifat apriori.
ADVERTISEMENT
Interaksi antara generasi yang didasari oleh rasa saling memahami tersebut pada akhirnya akan menciptakan relasi yang harmonis antar generasi. Bentuk relasi mengedepankan kesetaraan dan sisi baik dari kedua belah pihak. Relasi demikian menguntungkan dan memungkinkan adanya yang kesinambungan antar generasi.
Generasi sebelumnya dapat memahami dunia hari ini, dan meneropong dunia masa depan, dengan merujuk pada pengalaman Gen Z. Di sisi lain, Gen Z dapat mewarisi perbendaharaan pengalaman masa lalu dari generasi sebelumnya, yang dapat mereka jadikan sebagai bekal untuk merespons kenyataan hari ini dan menyambut dunia masa depan.