Konten dari Pengguna

Yang Selingkuh, Yang Seru: Melihat Tema Perselingkuhan dalam Sinema Indonesia

Maulida
Alumni Kajian Budaya dan Media UGM. Penulis dan peneliti, tinggal di Rote Ndao, NTT.
23 Desember 2024 12:48 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi perselingkuhan (freepik)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi perselingkuhan (freepik)
ADVERTISEMENT
Perselingkuhan telah menjadi tema yang berulang dalam film secara global. Hal ini bukanlah tanpa alasan. Sebuah survei dari Jakpat dan Cabaca (platform penerbitan digital di Yogyakarta) dengan tajuk: “Perselingkuhan: Ngeselin yang Jadi Trending Topik”, menunjukkan bahwa terdapat 60,29 persen dari 209 responden atau orang Indonesia, menyukai tema-tema perselingkuhan dalam suatu film.
ADVERTISEMENT
Perselingkuhan sendiri selalu ada dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Tema perselingkuhan juga kerap kali ditemukan dalam segala hal mulai dari novel klasik hingga film modern. Barangkali karena hal ini jauh menggerogoti inti emosi manusia yang sangat dalam, antara cinta, nafsu, dan, pada akhirnya, titik kritis dari semua itu, yakni godaan.
Representasi perselingkuhan dalam film-film Indonesia membawa makna sosial-budaya yang unik, yang mencerminkan hubungan kompleks negara ini dengan tradisi, agama, dan modernitas. Sinema Indonesia, dengan perpaduan konservatisme budaya dan pengaruh cepat media global, menyajikan tempat yang menarik untuk meneliti bagaimana perselingkuhan berfungsi tidak hanya sebagai kegagalan pribadi, tetapi juga sebagai refleksi dari kecemasan nasional.
Dalam banyak film Indonesia, perselingkuhan bukan sekadar perangkat plot tetapi refleksi dari ketidaksetaraan gender yang mengakar yang tertanam dalam norma-norma budaya tradisional dan kontemporer. Masyarakat Indonesia ditandai oleh perpaduan kompleks antara struktur patriarki yang kental dan pandangan modern yang sering kali bertentangan tentang peran gender. Penggambaran sinematik tentang perselingkuhan dalam konteks ini dapat mengungkapkan banyak hal tentang bagaimana masyarakat Indonesia bergulat dengan isu-isu kekuasaan, gender, dan seksualitas.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh utama dari hal ini adalah film tahun 2012 berjudul “Arisan!” yang disutradarai oleh Nia Dinata, yang mengkritik standar ganda moral dan seksual yang tertanam dalam masyarakat kelas menengah Indonesia. Dalam “Arisan!”, seorang pria yang sudah menikah, yang merupakan bagian dari lingkaran sosial Jakarta yang makmur, digambarkan terlibat dalam hubungan homoseksual rahasia sambil mempertahankan kedok kesopanan heteronormatif. Di sisi lain, istrinya, meskipun curiga terhadap perselingkuhannya, digambarkan terlibat dalam mempertahankan citra publik tentang keluarga yang sempurna, menekan keinginannya sendiri karena takut akan pembalasan sosial.
Dinamika ini menunjukkan sifat perselingkuhan yang bergender dalam masyarakat Indonesia, di mana perselingkuhan laki-laki sering ditoleransi atau diabaikan, sementara seksualitas perempuan menjadi sasaran pengawasan moral yang ketat.
ADVERTISEMENT
Melalui film-film seperti “Arisan!”, sinema Indonesia mencerminkan kontradiksi sosial seputar peran gender, menyoroti cara-cara norma patriarki yang dipertahankan bahkan ketika negara ini mengalami modernisasi. Perselingkuhan tokoh laki-laki, baik heteronormatif maupun non-heteronormatif, menggarisbawahi bagaimana laki-laki dalam sinema Indonesia sering digambarkan sebagai orang yang menjalankan kebebasan seksual, sementara perempuan dibatasi pada peran yang lebih kaku. Dikotomi publik/pribadi memainkan peran utama, karena tokoh perempuan harus mengarahkan keinginan mereka dalam batasan harapan sosial dan keluarga, yang mencerminkan ambivalensi terhadap perubahan norma gender.
Agama dan Moralitas: Perselingkuhan sebagai Pelanggaran Batasan Suci
Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, memiliki kerangka keagamaan yang sangat kuat yang memengaruhi moral dan etikanya. Dalam banyak film Indonesia, perselingkuhan bukan sekadar pengkhianatan pribadi, tetapi pelanggaran prinsip-prinsip agama yang sakral. Series seperti “Ipar adalah Maut” (2024), film “Perempuan Berkalung Sorban” (2009) karya Hanung Bramantyo mengangkat ketegangan antara moralitas Islam dan hasrat perempuan di Indonesia kontemporer. Dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” misalnya, tokoh utamanya adalah seorang perempuan yang dipaksa menikah karena alasan yang tidak masuk akal. Oleh karena mendapati dirinya dalam posisi keterasingan emosional dan seksual, ia kemudian mempertanyakan kembali mengenai iman dan janji pernikahannya.
ADVERTISEMENT
Narasi Perempuan Berkalung Sorban menempatkan perselingkuhan dalam wacana yang lebih luas tentang kesalehan agama, hasrat individu, dan peran perempuan dalam masyarakat Islam yang semakin modern. Perselingkuhan dalam konteks ini bukan hanya kegagalan moral, tetapi juga tantangan terhadap otoritas struktur agama dan patriarki.
Film seperti Perempuan Berkalung Sorban menawarkan kritik terhadap ketegangan antara kebebasan pribadi dan ortodoksi agama di Indonesia modern. Perselingkuhan dalam film-film tersebut merupakan simbol perjuangan yang lebih luas: keinginan untuk otonomi dalam masyarakat yang sering kali berupaya membatasi peran perempuan dalam batasan pernikahan dan kewajiban agama. Di sini, perselingkuhan merupakan tindakan pribadi sekaligus komentar sosial tentang perubahan peran perempuan di dunia Islam.
Perselingkuhan dan Benturan Tradisi dan Modernitas
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, pesatnya laju globalisasi telah memperkenalkan nilai-nilai baru yang sering kali berbenturan dengan norma-norma tradisional dan konservatif. Perselingkuhan dalam sinema Indonesia sering kali melambangkan ketegangan antara tradisi dan modernitas. Penggambaran perselingkuhan dalam series maupun film-film kontemporer mencerminkan kecemasan seputar terhapusnya nilai-nilai tradisional dalam menghadapi meningkatnya individualisme, konsumerisme, dan pengaruh budaya global.
Series “Layangan Putus” (2023) yang disutradarai oleh Benni Setiawan, yang membahas tentang perselingkuhan dalam pernikahan, mengeksplorasi bagaimana para tokoh menghadapi tekanan kehidupan modern, di mana keinginan pribadi dan harapan masyarakat akan keluarga, agama, dan karier bertabrakan. Tokoh Kinan, seorang Perempuan berpendidikan tinggi, rela meninggalkan kariernya untuk mengurus rumah tangganya. Namun, suaminya, Aris, justru perasaannya terjebak dan terpecah untuk perempuan lain yang merupakan seorang psikolog anaknya.
ADVERTISEMENT
Konflik batin, terutama pelaku perselingkuhan dalam series tersebut mencerminkan konflik masyarakat yang lebih luas antara merangkul keinginan modern dan individualistis dan mematuhi gagasan tradisional tentang komitmen dan kesetiaan. Di sini, perselingkuhan menjadi lensa untuk meneliti kompleksitas identitas Indonesia modern. Perselingkuhan bukan lagi sekadar pelanggaran moral; perselingkuhan juga merupakan eksplorasi tentang bagaimana cita-cita modern tentang romansa dan kebebasan pribadi yang mengglobal bertentangan dengan nilai-nilai komunal yang lebih diimani dalam masyarakat tradisional Indonesia.
Teknologi dan Perselingkuhan Digital: Bentuk-Bentuk Baru Pengkhianatan
Seperti di banyak belahan dunia, Indonesia telah mengalami revolusi digital, dan perubahan ini tercermin dalam cara perselingkuhan digambarkan dalam sinema kontemporer. Dengan munculnya media sosial dan komunikasi daring, perselingkuhan dalam film-film Indonesia semakin mengambil bentuk baru. Perselingkuhan tidak lagi hanya tentang perselingkuhan fisik tetapi juga dapat melibatkan pengkhianatan emosional atau virtual melalui pesan teks, hubungan daring, dan platform media sosial. Sebutlah series "Main Api" yang diperankan oleh Luna Maya dan Darius S. Perselingkuhan dalam film ini mewujud tidak hanya berbentuk kontak fisik, namun juga perselingkuhan dengan wujud digital seperti vcs atau video call sex.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun sebelumnya, film-film seperti Critical Eleven (2017) yang disutradarai oleh Monty Tiwa, juga memperlihatkan kompleksitas hubungan modern yang dieksplorasi melalui lensa komunikasi digital. Film ini berpusat pada dampak emosional dari perselingkuhan, yang awalnya difasilitasi oleh interaksi daring. Film ini mengkritik bagaimana teknologi digital dapat menciptakan jarak antara pasangan dan mengintensifkan perasaan terisolasi, tidak percaya, dan ditinggalkan secara emosional. Sementara bentuk perselingkuhan tradisional terlihat dan fisik, perselingkuhan digital memungkinkan pengkhianatan tersembunyi yang lebih sulit dideteksi dan bahkan lebih sulit untuk dimaafkan.
Dunia digital dalam film-film Indonesia menjadi cerminan bagaimana globalisasi telah mengubah dinamika hubungan. Masuknya teknologi ke dalam kehidupan sehari-hari memperumit pemahaman tradisional tentang kesetiaan dan komitmen, mengaburkan batasan antara apa yang merupakan pengkhianatan "nyata" dan apa yang dapat dibenarkan sebagai rayuan yang tidak berbahaya atau ekspresi emosional. Perspektif studi budaya terhadap film-film ini menyoroti cara-cara perselingkuhan digital mengganggu kerangka moral tradisional, menghadirkan tantangan baru bagi gagasan kesetiaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perselingkuhan dan Perebutan Wacana
Pada akhirnya, perselingkuhan dalam sinema Indonesia kontemporer dapat dilihat sebagai cerminan kuat dari perebutan wacana, negosiasi nilai-nilai tradisi dan modernitas, ekspektasi gender, dan implikasi moral dari masyarakat yang mengglobal dengan cepat.
Lebih jauh, dari persepektif ekonomi, isu perselingkuhan sering kali memiliki daya tarik komersial yang luas, mengingat tema ini “relatable” oleh berbagai kalangan dan kelas sosial khalayak.
Melihat tren peminatnya film tema ini yang begitu tinggi, tema-tema perselingkuhan dalam film maupun series tampaknya akan terus berkembang di masa mendatang dengan eksplorasi hubungan antar peran yang semakin kompleks, berikut dampak revolusi digital yang mengubah cara pemain dalam melakukan perselingkuhan.