Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Filosofi Reog Ponorogo Kesenian Budaya yang Erat Unsur Magis
24 Juni 2024 21:37 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Simak penjelasan lengkapnya, di sini!
Filosofi Reog Ponorogo
Andini Idha, dkk dalam jurnal Universitas Pahlawan berjudul Sejarah dan Filosofi Reog Ponorogo Versi Bantarangin menjelaskan bahwa Reog Ponorogo menampilan berbagai tarian tradisional di area terbuka dan fungsinya untuk hiburan rakyat dan erat dengan unsur magis.
Reog Ponorogo muncul sejak tahun 1235 M dan bermula dari kisah atau dongeng dalam istana dan menyebar ke masyarakat satu dan masyarakat lainnya.
Kisah asal-usul Reog mempunyai beragam versi, yakni versi Bantarangin, Versi Batara Katong, dan versi Ki Ageng Kutu Suryangalam.
Pada penampilan Reog Ponorogo ada penari Singo Barong atau Pembarong yang memakai kostum Barongan dan Dadak Merak berukuran besar.
Dadak Merak terbuat dari bulu merak yang kemudian disusun pada lembaran rotan atau bambu. Pembawa barongan hanya mengendalikan dengan gigi atau rahang.
ADVERTISEMENT
Pada Versi Ki Ageng Kutu Suryangalam, Singo Barong merupakan manifestasi dari seekor macan yang ditunggangi oleh seekor burung merak. Konon macam atau harimau adalah gambaran Prabu Brawijaya V pemimpin Kerajaan Majapahit yang gagah perkasa.
Sedangkan burung merak adalah gambaran Putri Campa (istri Prabu Brawijaya V). Kedua binatang tersebut digabungkan sebagai kritik dominasi permaisuri dalam pemerintahan sang raja.
Kemudian ada Bujang Ganong yang senang menggoda Singo Barong. Bujang Ganong ini adalah gambaran Suryongalam, yakni pujangga kerajaan Majapahit yang dipercaya menciptakan seni Reog Ponorogo sebagai sindiran terhadap sang raja.
Selanjutnya pasukan Majapahit yang lemah di bawah kepemimpinan Prabu Brawijaya V digambarkan sebagai laki-laki penari berkuda dengan perilaku feminin dan lemah gemulai menggunakan kebaya atau disebut jathil.
ADVERTISEMENT
Warsini dalam Jurnal of Social Science and Education berjudul Nilai Pendidikan Moral yang Terkandung Dalam Seni Reog Ponorogo sebagai Media Pengembangan Islam di Ponorogo menjelaskan bahwa terlepas dari versi sejarah Reog Ponorogo yang beragam, Reog Ponorogo adalah sebuah tradisi masyarakat Ponorogo yang terus lestari sampai sekarang.
Reog Ponorogo juga mempunyai nilai moral yang tinggi tentang cinta tanah air, yang di dalam tradisi ini ada ajaran tentang ketekunan, ketenangan, siaga, ketangguhan, mampu mengantisipasi, lincah, terampil, perhatian, responsif, penyayang, peka, penuh wibawa, dan dihormati.
Kesenian Reog Ponorogo juga bertujuan mempererat tali silaturahmi seluruh masyarakat Ponorogo.
Demikianlah penjelasan filosofi Reog Ponorogo yang menarik untuk diketahui. (eK)