Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Legenda Watu Maladong Asal Nusa Tenggara Timur
18 September 2024 11:55 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Legenda Watu Maladong adalah salah satu jenis cerita rakyat di Indonesia. Cerita ini tepatnya berkembang di Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur .
ADVERTISEMENT
Watu Maladong menceritakan asal-usul Pulau Sumba yang memiliki alam yang subur. Cerita ini diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Legenda Watu Maladong
Terdapat berbagai referensi yang menceritakan legenda Watu Maladong.
Inilah kisah legenda Watu Maladong asal Nusa Tenggara Timur berdasarkan Makan, CP, & Ndapa Lawa, S. (2022). Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerita Rakyat Watu Maladong. HINEF: Jurnal Rumpun Ilmu Pendidikan.
Dahulu kala, di pulau Sumba hiduplah seorang petani yang bekerja di kebun. Pada suatu pagi, sang petani yang melihat kondisi kebunnya sangat terkejut ketika melihat tanaman miliknya hancur berantakan.
Ia begitu marah, namun segera mengamati sekeliling dan menemukan jejak babi hutan. Petani tak habis pikir bagaimana babi-babi itu bisa masuk ke dalam kebunnya. Padahal sekeliling kebun tersebut sudah dipagari dengan tinggi.
ADVERTISEMENT
Pintu masuk kebunnya selalu tertutup dan dikunci apabila petani pulang ke rumah. Malam itu petani memutuskan bermalam di kebun. Ia menunggu kebunnya sambil membawa tombak sakti yang diberi oleh leluhurnya.
Nama tombak tersebut adalah Numbu Ranggata. Petani itu duduk di atas pohon sambil mengamati kebun dengan teliti. Ternyata dugaan petani ini benar.
Tak berapa lama menunggu, ia mendengar suara kawanan babi hutan mendatangi kebunnya. Kawanan babi itu masuk pagar kebunnya dengan mudah.
Petani itu mengamati babi-babi itu merusak kebunnya dan sedang asyik memakan ubi keladi persis di bawah pohon tempat ia duduk. Petani itu kemudian melemparkan tombak Numbu Ranggata miliknya.
Tombak tersebut akhirnya mengenai perut salah satu babi itu. Kawanan babi itu langsung pergi meninggalkan kebun begitu mengetahui ada temannya yang terluka.
ADVERTISEMENT
Babi-babi itu pergi membawa Numbu Ranggata milik petani tersebut. Pagi-pagi sekali petani itu mulai mengikuti jejak kaki babi yang berdarah itu.
Petani itu merasa marah karena tombaknya dibawa kawanan babi karena tombak itu adalah tombak sakti warisan leluhurnya. Jejak darah babi berhenti di tepi pantai.
Petani pun bingung bagaimana mungkin kawanan babi itu datang dari pulau lain. Hal itu membuat sang petani termenung di tepi pantai.
Tiba-tiba sang petani dikagetkan oleh sebuah suara yang menyapanya. “Apa yang sedang kau lamunkan hai manusia?”, tanya seekor penyu yang rupanya bisa berbicara.
Lagi-lagi sang petani terkejut. Belum pernah ia bertemu dengan hewan yang mampu berbicara dengan manusia.
ADVERTISEMENT
Sang petani akhirnya menjelaskan apa yang dialaminya kepada penyu. "Aku bersedia untuk mengantarmu ke pulau seberang. Aku berharap kau akan mencari tombakmu yang hilang di sana.”, kata penyu kepada petani.
Petani pun akhirnya menerima tawaran penyu. Ia kemudian naik ke atas punggung penyu. Setelah menempuh perjalanan sehari semalam, penyu dan petani itu tiba di pulau seberang.
"Jika kau butuh bantuanku, panjatlah pohon tinggi yang ada di pinggir laut dan panggillah ke arah laut, aku akan datang menjemputmu”, kata penyu. Tak lama kemudian, penyu itu berenang kembali ke tengah laut.
Petani berjalan di pinggir laut sambil berharap ada orang tempat ia bertanya. Tidak lama kemudian, ia melihat sebuah rumah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
ADVERTISEMENT
Ia cepat-cepat pergi ke rumah itu dan mengetuk pintu. Pemilik rumah itu ternyata adalah seorang nenek yang tinggal sendiri. Nenek itu memberi sedikit makanan dan minuman kepadanya.
Ia pun menceritakan kisahnya kepada nenek tersebut. Nenek itu menjelaskan bahwa yang merusak kebun bukan babi namun siluman babi yang memiliki ilmu gaib. Babi itu berasal dari pulau ini.
Petani itu senang karena pertanyaannya tentang babi yang merusak kebunnya telah terjawab. Ia bertekat membawa kembali tombak miliknya setelah bertemu dengan siluman babi.
Nenek yang baik hati itu mengajarkan ilmu gaib yang ia miliki pada sang petani. Setelah beberapa hari di rumah nenek, petani akhirnya pergi ke kampung yang telah ditunjukkan nenek itu.
ADVERTISEMENT
Di kampung itu, hari demi hari ia mendengar baik-baik cerita orang. Ia berharap mendapat informasi yang penting. Pada suatu malam ia mendengar pembicaraan orang tentang kepala suku yang sakit.
Rumah kepala suku tersebut berada di dalam hutan. Banyak orang yang telah datang untuk mengobatinya namun tidak ada yang berhasil. Petani tersebut ingin mencoba mengobati kepala suku.
Keesokan paginya, petani pergi kepada kepala suku itu. Atas ijin keluarga kepala suku, petani akhirnya bisa melihat kondisi kepala suku.
"Kalau saya boleh tahu apakah perut bapak tertikam sebilah tombak?”, tanya sang petani pada kepala suku. Kepala suku dan keluarga yang ada di dalam kamarnya pun terkejut.
Kepala suku mengangguk sambil berkata “Iya, perutku tertikam tombak. Jika kamu bisa mengobati sakitku, saya akan memberikan apa yang kamu mau”. Besok pagi saya akan membawa obat untuk diminum”, kata petani tersebut sambil pamit pulang.
ADVERTISEMENT
Sore harinya, petani datang ke rumah nenek dan menceritakan semua yang terjadi. Nenek itu lalu memberikan obat untuk diberikan pada kepala suku.
"Jika kepala suku itu sembuh, mintalah tombak saktimu dan minta juga batu yang bernama Watu Maladong. Batu itu dapat menjadi mata air dan menumbuhkan tanaman”, kata nenek. Nenek itu juga memberikan petani obat yang telah diracik.
Obat ajaib yang diberikan oleh petani ternyata berhasil. Kepala suku mengucapkan terima kasih kepada petani. "Apa permintaanmu sebagai balasan kebaikan hatimu menyembuhkanku?” kata kepala suku.
"Jika tidak keberatan, Saya minta tombak dan Watu Maladong milikmu”, kata petani dengan suara pelan-pelan. "Baiklah, saya akan memberikannya kepadamu tapi kau harus mengalahkanku.", kata kepala suku.
ADVERTISEMENT
Jika kau setuju, saya menunggumu malam ini untuk bertarung di belakang rumahku. Petani itu mengiyakannya. Ia pulang ke rumah nenek itu di pinggir laut sambil membawa tombak Ranggata yang dikembalikan kepala suku padanya.
"Jangan merasa takut. Kamu bisa mendatangkan petir jika kamu arahkan tombakmu ke langit. Petir itu akan menyambar siapapun lawanmu.", kata nenek. Setelah mendengar kata-kata nenek itu, ia berharap dirinya sudah mampu bertarung dengan kepala suku.
Semua keluarga kepala suku itu sedang berkumpul di belakang rumah. "Lawanlah anak sulungku. Jika kamu bisa mengalahkan dia, kamu pun telah mengalahkan saya.”, kata kepala suku. Pertandingan malam itu sangat sengit.
Karena sudah kelelahan, petani tersebut mengarahkan tombaknya ke atas langit. Kemudian datanglah kilat yang menyambar anak-laki itu sehingga hangus terbakar. Akhirnya, kepala suku memberinya Watu Maladong sesuai dengan janji.
ADVERTISEMENT
Batu ini ada tiga buah. Dua buah berjenis kelamin laki-laki dapat mencurahkan makanan berupa padi dan jagung. Satu lagi berjenis kelamin perempuan dan dapat mencurahkan makanan yang berupa ubi.
Ketiga batu tersebut bergerak sendiri dan patuh pada siapa saja yang ia layani. Jika muncul di atas tanah Sumba ia akan menyemburkan air tanah yang tak akan habis.
Setelah memperoleh batu tersebut, petani berterima kasih dan mohon pamit pada nenek tua yang telah banyak membantunya. Lalu, ia memanjat salah satu pohon di pinggir pantai untuk memanggil penyu.
Penyu membawanya kembali ke pulau tempat tinggal petani tersebut. Tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih kepada penyu yang telah membantunya menyebrangi pulau.
ADVERTISEMENT
Watu Maladong yang dibawa petani itu memberikan empat mata air di Sumba yang tak pernah kering walaupun musim kemarau. Serta menumbuhkan padi, jagung dan ubi.
Legenda Watu Maladong dapat dibaca sebelum tidur sebagai dongeng. Cerita ini memiliki nilai moral agar tidak takut memperjuangkan keinginan meski banyak rintangan yang menghadang.
Baca juga: Tradisi Fahombo Batu: Tahapan dan Maknanya