Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Sejarah Topeng Malangan sebagai Warisan Budaya Lokal
23 Mei 2024 18:57 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Topeng Malangan merupakan salah satu kearifan lokal yang dimiliki oleh Kota Malang . Sejarah Topeng Malangan sendiri menjadi topik yang menarik untuk diketahui.
ADVERTISEMENT
Artikel di bawah ini akan menjelaskan lebih lanjut tentang sejarah Topeng Malangan sebagai warisan budaya lokal yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Sejarah Topeng Malangan
Dalam buku Ethnomatika - Belajar Konsep Matematika Menggunakan Budaya Nusantara karya Dian Eka, dkk, dikatakan bahwa ada banyak jenis Topeng Malangan dan juga tokoh yang dibedakan dari fitur wajahnya.
Topeng Malangan memiliki ciri khas tersendiri, seperti pemaknaan bentuk hidung, mata, bibir, warna topeng , dan ukirannya. Topeng Malangan memiliki lima warna dasar, yakni merah, hijau, kuning, putih, dan hitam.
Setiap warna tersebut memiliki makna tersendiri. Putih mewakili sifat jujur, suci, dan berbudi luhur. Kuning melambangkan kemuliaan.
Hijau menggambarkan kedamaian. Merah melambangkan angkara murka, licik, atau keberanian. Sedangkan hitam berarti kebijaksanaan.
ADVERTISEMENT
Topeng Malangan ditampilkan dalam acara tertentu, misalnya pernikahan, selamatan, atau acara resmi menyambut tamu penting. Namun, Topeng Malangan paling sering digunakan dalam pagelaran wayang topeng.
Sejak awal kemunculannya, Topeng Malangan sudah mengalami beberapa kali perubahan, baik dari segi fungsi dan bahan yang digunakan.
Dahulu kala, topeng memiliki makna religius seperti sebagai sarana ritual yang terbuat dari batu, bahkan emas dan logam lain. Namun saat ini berfungsi sebagai bagian dari seni dan budaya juga terbuat dari kayu.
Saat ini juga, Topeng Malangan tidak hanya diproduksi untuk tujuan seni, tapi juga sebagai souvenir khas Kota Malang yang dijual dalam berbagai ukuran.
ADVERTISEMENT
Pada masa itu, keluarga besar Raja Majapahit, Prabu Hayam Wuruk, merupakan seniman tari topeng. Hayam Wuruk dulunya adalah penari. Ayahnya adalah penendang dan ibunya adalah sinden.
Setelah sempat vakum, kesenian ini diangkat kembali pada tahun 1890 oleh Raden Sjarip, Bupati Malang saat itu, meskipun juga tidak terlalu populer.
Demikian adalah sejarah Topeng Malangan sebagai warisan budaya lokal Kota Malang. (SP)