Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Jalan Berliku Seorang Negarawan
24 Oktober 2023 11:21 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Semua orang ingin jadi negarawan. Tapi berapa banyak mereka siap menempuh jalan berliku?
ADVERTISEMENT
Jadi negarawan berat, biar sejarah saja nan menentukan. Ia bukan status yang dapat dibeli instan. Seperti pesanan tepi jalan, yang dalam 5 menit siap saji plus pakai telur dua.
Indonesia saat ini krisis politisi yang berpotensi jadi negarawan. Negarawan adalah status dan perilaku pasca kekuasaan. Status kenegarawanan seorang politisi akan terlihat pada cawe-cawenya pasca tak lagi berkuasa.
Negarawan dalam bahasa lain adalah perilaku pensiun seorang politisi. Apakah ia masih tetap ingin berkuasa meski konstitusi melarangnya, merupakan saringan dan pintu masuk ke “rumah” seorang negarawan. Bila jawabannya masih, maka fix ia tak bisa diterima sebagian penghuni rumah para negarawan.
Bila kita buka lagi lembaran sejarah apa dan siapa politisi Indonesia pasca Orde Baru. Maka selama dua setengah dekade ini tak ada yang berubah. “Lo lagi, lo lagi!”. Tak ada tepian yang beranjak, meski air bah melanda semua arah.
ADVERTISEMENT
Era Orde Baru, Reformasi, dan Pasca-Reformasi tak banyak melahirkan negarawan. Justru yang terjadi involusi pemimpin dan kepemimpinan. Para elite muncul dari kalangan yang telah ada, mewariskannya pada istri, anak, dan menantu. Mengekalkannya melalui saluran demokrasi yang lazim, seperti partai politik.
Oleh karena itu, tak payah rakyat baku-hempas di bawah demi mendukung junjungan masing-masing. Tkh, mereka, lawan dan kawan, sama-sama mengunjungi kafe yang sama. Minum di cangkir yang sama. Dan sama-sama memesan kopi rasa yang sama. Serta tergelak bersama-sama.
Apa pun yang akan terjadi pada Pemilu 2024 nanti. Kata orang Minangkabau, kusut-kusut bulu ayam, paruh juga yang akan menyelesaikan. Maka jangan terlalu diambil pusing oleh rakyat badarai. Tetap saja fokus mencari penghidupan. Walau bagaimanapun ada banyak mulut yang mesti kita beri makan, sementara para politisi cuma mengobral janji yang tak akan bisa mengenyangkan perut anak bini.
ADVERTISEMENT
Berlikunya jalan politisi mencapai peringkat negarawan tak semata urusan keberpihakan. Jalan itu memberi mereka pengalaman yang menunjukkan besarnya arti tanggung jawab pada nasib ratusan juta manusia dan keturunan mereka di masa datang. Maka dari itu, penderitaan, kepedihan, kehilangan, dan keikhlasan adalah sebagian derita yang mesti mereka tanggungkan.
Penderitaan apa yang telah dilalui para politisi kita selain menahan hawa nafsu untuk tidak korup? Tidak korup karena adanya integritas diri, bukan takut pada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)?
Kepedihan apa yang mereka dapatkan selain sakitnya kehilangan para donatur yang pergi karena kekalahan atau tidak terpilih pasca Pemilu? Sementara uang telah habis ratusan juta, bahkan miliaran, dan cemoohan masyarakat pun datang bertubi-tubi karena kalah dalam pertarungan.
ADVERTISEMENT
Kehilangan apa yang ditanggungkan selain rasa malu oleh para politisi itu? Pentingkah rasa malu gegara kalah dalam berdemokrasi? Oleh karena itu menjadi politisi akhirnya tak diawali dengan keikhlasan dalam mengabdi pada bangsa ini. Pengabdian membawa kata kerja tanpa pamrih di dalamnya.
Bila kita kembali membuka lembar demi lembar album sejarah bangsa ini. Tergores kuat jalan berliku para pejuang negeri dalam mendirikan negara yang kita cintai ini.
Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Tan Malaka, Agus Salim, Natsir, Roem, Bung Tomo, Sri Sultan HB IX, Jenderal Sudirman, dan banyak lagi para negarawan kita. Mereka telah melalui berbagai pengalaman pahit dalam hal penderitaan, kepedihan, kehilangan, dan sulitnya mengikhlaskan semua itu kecuali demi rasa cintanya pada Ibu Pertiwi.
ADVERTISEMENT
Zaman kolonial Belanda bukanlah rezim orang bisa seenaknya membuat meme seorang pejabat ambtenaar. Bisa masuk kandang situmbin nantinya. Atau bergurau soal istri atau anak seorang pembesar, bila ingin polisi bengis marsose datang menjemput ke rumah malam-malam hari.
Demikian era Jepang menjadi hari-hari mengerikan bagi mereka yang perempuan, atau memiliki putri yang jelang dewasa. Habis mereka digerayangi, diperkosa, bahkan dipergilirkan saban malam. Jangan tanya pula ibu-ibu yang setiap malam menghapus air mata karena mendengar anaknya gugur di pertempuran melawan Belanda di tahun-tahun 1945-1949.
Secara sederhana, tiga periodisasi sejarah di atas bukanlah alam sejuk yang memberi para founding father dan pemimpin lain mudah memperjuangkan republik ini. Mereka sering dipenjara, disiksa, dikucilkan, dibuang ke daerah yang kala itu disebut “neraka dunia”. Bahkan tak sedikit dari mereka yang kehilangan orang tercinta, seperti istri dan anak kala pergi berjuang di tengah rimba belantara demi tegaknya negara-bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Setelah negeri ini berhasil keluar dari penjajahan. Merek kembali membangun negeri yang sudah porak-poranda, tak banyak mereka mengambil kecuali sekadar penyambung hidup anak-istri. Bahkan para tokoh-tokoh bangsa itu sampai hari ini tak ada kedengaran memiliki kekayaan melimpah.
Anak-anak mereka jauh dari kehidupan mewah bergelimang harta dan tahta. Anak-anak Bung Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Roem, Natsir, dan banyak lagi tidak menjual nama orang tua mereka untuk mendapatkan hak-hak khusus sebagai keturunan pahlawan. Mereka tidak menuntut karena orangtuanya tidak mengajarkan hal-hal demikian.
Pada akhirnya, lika-liku hidup yang dijalani para tokoh-tokoh bangsa tersebut membawa mereka pada pintu gerbang kenegarawanan. Jalan yang merekat teroka sesungguhnya sangat lempang dan lapang untuk dilalui.
Sayang jalan itu kini bersemak dan ditinggalkan. Orang-orang berlomba-lomba menelusuri jalan-jalan setapak yang cepat rusak karena dibuat dengan menyunat anggaran.
ADVERTISEMENT