Konten dari Pengguna

Pemilu 2024 dan Pilihan Umat Islam

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
12 September 2023 6:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan mendekati Pemilu 2024, sulit menakar pilihan Umat Islam yang menyebar ke berbagai kontestan, baik di legislatif maupun eksekutif. Meskipun Umat Islam Indonesia merupakan pemilih terbesar, namun aspirasi yang tegas dari para legislator ataupun calon kepala daerah dan calon presiden tidak tampak ke permukaan.
ADVERTISEMENT
Suara Umat Islam dalam Pemilu 2024 mendatang semakin mengecil mengingat tampaknya para kontestan dengan praktik politik negosiasi dan transaksional. Sementara persoalan yang melingkupi Umat Islam sangat banyak dan tak pernah benar-benar diperhatikan kecuali sekadar wacana dalam kampanye Pemilu.

Isu krusial

Ilustrasi simbol Islam. Foto Shutterstock.
Setidaknya terdapat beberapa isu krusial yang dihadapi Umat Islam Indonesia yang mestinya mendapat perhatian para calon legislator dan pimpinan negara dari level nasional sampai lokal. Keberhasilan para kontestan Pemilu 2024 menjembatani isu krusial ini dalam masyarakat Muslim Indonesia akan menentukan ke mana pilihan umat Islam nantinya.
Isu penting Umat Islam terpenting adalah pendidikan dan literasi moderat Islam. Aspirasi ini merupakan isu penting bagi umat Islam Indonesia, karena hal ini berkaitan dengan pemahaman dan penerapan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Saat ini, masih banyak umat Islam Indonesia yang belum mendapatkan pemahaman Islam moderat yang memadai, sehingga mereka tidak memahami ajaran Islam secara mendalam, kecuali hitam-putih, intoleran, dan anti-Pancasila. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pemahaman dan praktik Islam yang keliru, bahkan radikalisme dan terorisme.
Isu krusial lain Umat Islam hari ini yang patut juga para pemimpin memikirkannya adalah persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial. Kedua isu ini berkaitan dengan keadilan sosial yang diajarkan oleh Islam.
Masih banyak umat Islam Indonesia yang hidup dalam kemiskinan dan kesenjangan sosial. Jurang kemiskinan yang masih dalam membuat keresahan sosial dan konflik antarkelompok menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu dapat meledak di mana-mana.
Sebagai warga bangsa mayoritas di negeri ini, Umat Islam masih sering menjadi aktor diskriminasi dan intoleransi. Ini dapat terjadi karena alasan perbedaan dalam hal SARA, sehingga dapat saja menyebabkan konflik dan kekerasan dengan kelompok agama lain. Tapi para elite kita tampaknya relatif masih menyukai berbagai konflik itu untuk menjaring suara Umat Islam Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penggunaan isu-isu krusial sekeliling Umat Islam Indonesia setiap kampanye terus saja bergulir tanpa solusi. Suara Umat Islam cenderung tunggangan ketimbang kenyataan dari janji-janji elite di masa kampanye.

Demokrasi Islam

Ilustrasi Islam dan Radikalisme. Foto Shutterstock.
Salah satu nilai dasar paling penting dalam kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia adalah demokrasi, seperti yang ditunjukkan oleh konstitusi negara, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Namun masyarakat Indonesia termasuk para pemimpin Islam, belum benar-benar memahami demokrasi sepenuhnya.
Mereka masih kurang memahami demokrasi secara substansial. Para pemimpin Islam kebanyakan memahami demokrasi secara tekstual, sementara nilai-nilai Islam biasanya pun literal, tanpa mempertimbangkan konteks budaya dan sejarah yang membentuk keindonesiaan kita. Realitas itu tersebabkan mereka menginterpretasi Islam secara sempit dan kaku, serta cenderung menggunakan ajaran yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
ADVERTISEMENT
Pemimpin Islam Indonesia yang tidak benar-benar memahami demokrasi dapat berdampak negatif pada kehidupan bersama di antara anak bangsa. Demokrasi dan relasinya dengan Islam sangat kuat melalui prinsip-prinsip inklusifitas; yakni pentingnya penekanan asas-asas kebebasan, kesetaraan, dan toleransi.
Menurut Bung Hatta banyak pemimpin Islam tidak memahami politik dan demokrasi Indonesia dengan baik. Hal ini disebabkan oleh kurangnya mereka mengakses pendidikan politik berkualitas tinggi yang telah sejarah ajarkan sejak masa pergerakan nasional sampai hari ini. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang teori dan praktik demokrasi substansial itu, pendidikan politik yang baik sangat penting, menurut Bung Hatta.
Hal inilah yang mendorong Bung Hatta hendak mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDI) pada tahun 1966. Bagi Bung Hatta, PDI dapat menjadi “rumah demokrasi” para pemimpin Islam yang masih saja anti-negara yang berfalsafah Pancasila ini, plus tidak bertanggung jawab sebagai seorang wakil rakyat.
ADVERTISEMENT
Sayang keinginan mulia Bung Hatta tak kesampaian karena ketakutan rezim Orde Baru kala itu. Mereka masih kuatirkan kharisma Bung Hatta pasca tumbangnya Sukarno dari kekuasaan. Suharto pun menggunakan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) yang sangat berkuasa, bahkan mampu menjatuhkan Sukarno pada 1966 untuk "menekan" Bung Hatta agar mengundurkan niatnya membentuk parpol baru.
ADVERTISEMENT
Lima bulan lagi Pemilu 2024 akan mendatangi Umat Islam. Maka dari itu, perhatikan aspirasi keindonesiaannya, dan pilih partai atau orangnya. Sudah saatnya Umat menyerukan; Islam, Yes. Politik moderat Islam, Yes.