Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pulau Rempang dan Kerempongannya
28 September 2023 10:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Soal Pulau Rempang telah membuat rempong banyak pihak, terutama warga tempatan. Pulau Rempang yang merupakan kawasan pulau seluas 16,5 km2 menjadi tujuan investor dari China, Xinyi, yang akan berinvestasi kurang lebih Rp 300 triliun. Xinyi berencana akan membangun pabrik kaca dan panel surya. Rencana pembangunan Pulau Rempang masuk ke dalam proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City.
ADVERTISEMENT
Sebagai dampak awal PSN Rempang Eco-City maka warga Rempang yang telah menghuni pulau di kawasan Kepulauan Riau (Kepri) ini mesti direlokasi pemerintah. Duduk persoalannya warga tak mau di relokasi. Mereka menyatakan pemindahan itu tak bisa diterima karena faktor psikologis dan sejarah keberadaan mereka yang telah menghuni pulau ini sejak beberapa ratus tahun lalu.
Pada 11 September 2023 lalu warga Pulau Rempang akhirnya berunjuk rasa di depan kantor BP Batam. Sayang unjuk rasa damai itu berakhir bentrok dengan aparat dan menyebabkan banyak kerugian, serta puluhan pedemo ditahan polisi.
Kasus Rempang kemudian menjadi sajian berita nasional. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun turun bicara soal pemindahan warga yang terkesan dipaksa. Presiden menyatakan relokasi warga mesti dilakukan dengan cara kekeluargaan. Melansir dari situs sekretariat negara, Jokowi telah menggelar rapat terbatas di Istana dengan memanggil para menteri terkait.
ADVERTISEMENT
Menteri investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, atas nama pemerintah memberi keterangan pada masyarakat dan warga Rempang khususnya. Ia menjelaskan Xinyi akan mengelola pada tahap awal 2,3 ribu hektare dari 7-8 ribu hektare rencana di lahan Pulau Rempang. Adapun warga terkena dampak pembangunan sekitar 900 KK, dan 300 KK telah bersedia pindah, namun masih tetap dalam wilayah Pulau Rempang.
Pemerintah pun telah menyiapkan skema pemindahan itu melalui beberapa rencana pemberian insentif. Insentif itu diantaranya pemberian tanah bersertifikat seluas 500 M2, pembangunan rumah tipe 45 untuk setiap kepala keluarga, serta uang tunggu Rp 1,2 juta per orang dan Rp 1,2 juta uang kontrak per KK sebelum rumah mereka siap dibangun.
ADVERTISEMENT
Pemerintah meyakini dengan tawaran seperti itu akan membuat warga Rempang menerima solusi dan membiarkan PSN berjalan. PSN Rempang Eco-City diklaim Pemerintah akan memberi devisa dan pembukaan tenaga kerja baru yang dapat mengurangi pengangguran di negeri ini.
Penulis sendiri tak dapat memberi opini langsung terhadap masalah ini dan menyalahkan salah satu pihak. Keduanya berada pada jalur yang sama benar menurut versi masing-masing. Kasus pemindahan sendiri pernah penulis alami kala mendiami rumah dinas dosen di Padang sekitar dua tahun lalu.
Kala itu, satu minggu setelah Presiden Jokowi mengumumkan kasus Covid-19 di Indonesia. Presiden meminta agar masyarakat tetap tenang, diam di rumah, dan pakai masker kala keluar. Kami para penghuni rumah dinas tetiba mendapat surat pengosongan rumah dari pihak kampus. Kami mereka beri waktu 3 minggu, kalau tidak akan digusur.
ADVERTISEMENT
Pihak kampus ingin membangun sebuah rumah susun untuk mahasiswa. Kami sebanyak 30 KK mesti pindah tanpa kompensasi, tiada iba, dan intimidasi. Beberapa kolega mencoba bernegosiasi dengan seorang pimpinan kampus. Mereka justru kembali dengan isak tangis karena keluarga kami kalau masih bertahan di luar rentang waktu yang mereka tetapkan akan didatangi traktor dan usir paksa.
Kami pun menulis beberapa pucuk surat berkabar pada pimpinan negeri ini, Wali kota, DPRD, Gubernur, Menteri, bahkan Presiden Jokowi. Puji syukur semuanya diam dan mengabaikan. Maklum cuma 30 KK yang terdampak dari rencana pembangunan yang puluhan miliar. Apa lagi kami cuma menumpang di rumah negara sebut seorang teman ahli hukum tata negara.
Seorang kawan yang mantan aktivis segera ajak penghuni untuk melawan secara hukum dan menguji keputusan pihak kampus ke PTUN. Perlawanan ini bersambut intimidasi dari Dekan dan pimpinan unit kampus untuk penghuni yang berasal dari kalangan pegawai. Alhasil 30 KK awal yang melawan tinggal 7 KK.
ADVERTISEMENT
Para dosen dan pegawai yang 7 KK itu pun tak kurang militansi kampus mengusir dengan halus, dan kekerasan. Kampus menggunakan preman setempat, satpam, bahkan aparat. Sampai satu kali ratusan aparat, satpam, dan preman mengepung rumah salah seorang penghuni dosen perempuan, dan menghancurkannya tepat di depan suaminya yang tengah stroke, dan anak kecilnya.
Perlawanan melalui jalur hukum terus berjalan. Sayang pada akhirnya di PTUN penghuni mendapatkan keputusan yang membingungkan. Pertama PTUN menolak permohonan kami untuk membatalkan surat keputusan pengusiran. Kedua PTTUN tidak menerima argumen kampus soal penggusuran itu. Sebagai awam dalam hukum, penghuni bingung dan mengambil tindakan dengan banding.
Sayang banding kemudian “dipermainkan” banyak pihak yang berkepentingan, akhirnya amar putusan PTUN Medan sampai hari ini tak sampai ke tangan penghuni. Meski intimidasi tak pernah berhenti pada penghuni yang bertahan, penulis sendiri bahkan pernah akan disidang Dekan menggunakan UU Kepegawaian, perlahan 2021 lalu 7 KK yang bertahan memilih mundur. Mereka penuh isak dan perasaan tak rela meninggalkan kenangan kuat pada rumah yang menaungi mereka dari badai, terik, dan dingin.
Pada esensinya setiap manusia ingin bertahan dari tempaan alam dan beban hidup. Setiap kondisi buruk secara alamiah membuat manusia menyesuaikan diri serta menzonasi rasa aman dan nyaman. Zonasi rasa aman dan nyaman ini terkadang negara abai, dan tiba-tiba ingin merenggutnya atas nama pembangunan.
ADVERTISEMENT
Keabaian dan perenggutan zona rasa aman serta nyaman ini yang coba dilakukan negara pada warga Rempang, dan warga negara lain. Kalau sudah begitu untuk siapa pembangunan ini ditujukan bila terjadi pelanggaran terhadap harkat martabat manusia, meski dari segi kuantitas “cuma” untuk 1 jiwa.
Cak Nur (Nurcholish Madjid), seorang filsuf negeri ini pernah menyatakan, pelanggaran dan penindasan kepada harkat dan martabat seorang pribadi adalah tindak kejahatan kepada kemanusiaan universal, suatu dosa kosmis, dosa yang amat besar”!