Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tanggung Jawab Moral Kaum Intelektual
8 Februari 2024 11:34 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat ini berbagai kampus di Indonesia mulai menggeliat. Para sivitas akademikanya gerah dengan kondisi demokrasi Indonesia hari ini. Mereka menyerukan pentingnya penjunjungan nilai-nilai demokrasi. Selain itu, yang tak kalah penting adalah adanya keteladanan etika dan moral di kalangan pemimpin, ketika masyarakat kini tengah mengalami polarisasi politik menghadapi Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Suara-suara dari kampus itu bagi sebagian penguasa memerahkan telinga. Mereka mencoba membuat tandingan dengan memanfaatkan kelompok yang sama. Namun para penguasa lupa bahwa hakikat kaum cendekiawan senantiasa ragu dengan kekuasaan yang tengah berjalan. Sudah tanggung jawab moril kaum intelektual kampus untuk tampil ke depan ketika masyarakatnya sedang tidak baik-baik saja, dan kala etika tak lain sekadar umpatan di lidah penguasa.
Bung Hatta, cendekiawan, mantan wakil presiden, dan salah seorang filsuf terkemuka negeri ini telah menggariskan adanya tanggung jawab moral para insan akademisi. Tanpa tanggung jawab itu mereka seperti abu di atas tungku; akan hilang diembus angin. Bila seperti itu posisi seorang intelektual kampus, bisa dipastikan masyarakat tengah berada dalam kekuasaan yang otoriter, dan etika serta moral tengah dicampakkan ke tepian sunyi nan gelap.
ADVERTISEMENT
Para intelektual kampus bukanlah pemain, atau pialang politik kekuasaan. Mereka hidup dan menjalani hidup dengan mengisi otak dan mentalnya untuk menyelami persoalan masyarakat, mencari pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat kausalitas, ditinjau dari berbagai keilmuan dan metode ilmiah, sehingga pada akhirnya menemukan kebenaran untuk disampaikan. Kebenaran mereka adalah yang bebas nilai dan tanpa pretensi menguatkan atau menggoyang kekuasaan yang tengah berkuasa, demikian Bung Hatta menulis dalam salah satu bukunya, Tanggung Jawab Moril Kaum Intelegensia (1957).
Lebih jauh Bung Hatta menjelaskan perguruan tinggi di Indonesia selain arena khazanah keilmuan, ia mesti menginsyafi dirinya sebagai abdi masyarakat. Sebagai abdi masyarakat, selain melahirkan anak-anak didik yang siap menggerakkan masyarakat dalam pembangunan, para sivitas akademika perguruan tinggi juga berada dalam keberpihakan dalam urusan moral dan etika, serta menyadari tanggung jawab sosial mereka.
ADVERTISEMENT
Jadi ketika para anak didik mereka melanggar azas-azas etika dan moralitas, maka kampus telah rugi, dan mengambil posisi terdepan mengoreksi setiap kesewenang-wenangan atas nama moral dan etika. Bung Hatta menyatakan, “Betapa pun juga universitas dipandang sebagai sumber yang tak berkeputusan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab dalam masyarakat”.
Pernyataan Bung Hatta dalam karyanya di atas masih sangat relevan dengan kehidupan kita hari ini. Usaha-usaha menutupi suara kritis dari kampus hanya akan menimbulkan penggerusan trust dari rakyat kepada para penguasa yang bertelinga tipis. Justru menyegel pintu-pintu kampus akan menghadapi gelombang perubahan lebih besar sebagaimana sejarah negeri ini telah mencatatnya.
Era 1920-an, 1960-an, 1970-an, dan 1990-an, adalah masa-masa krusial yang melahirkan perubahan di negeri ini. Perubahan-perubahan itu diinisiasi kalangan intelektual negeri ini yang gerah dengan kondisi mencekik yang mereka turut rasakan sebagai bagian dari rakyat. Mereka awalnya menyeru atas kondisi yang tak mengenakan yang terjadi, sayang penguasa kala itu justru menganggap suara mereka tak lain bunyi yang tak perlu ditanggapi.
ADVERTISEMENT
Namun era-era itu justru menjadi titik balik kejatuhan penguasa yang zalim dan lalim. Kaum pergerakan nasional berhasil menumbangkan struktur kekuasaan kolonialisme Belanda yang berurat berakar ratusan tahun. Sementara mahasiswa dan kampus menjadi gelombang gerakan keruntuhan Sukarno, dan Suharto yang di akhir masa jayanya justru tengah kuat-kuatnya sebagai penguasa. Suharto dan rezim Orde Baru tumbang oleh kekuatan sivitas kampus sehingga melahirkan Reformasi’98.
Sejak Reformasi’98 ada usaha yang relatif kuat agar kampus masuk ke gelanggang kekuasaan. Beberapa guru besar turut mendirikan partai politik dan berkompetisi dalam Pemilu di tahun 1999. Namun sebagaimana Bung Hatta ingatkan, bahwa kaum intelegensia kampus tidaklah berumah di dataran kekuasaan yang terkadang menuntut kemunafikan. Perlahan para insan kampus kembali ke dunia awalnya, tempat mereka mendidik dan menyiapkan calon pemimpin masa depan yang bermoral tinggi dengan menjunjung etika di atas kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, patut dicamkan juga penutup Bung Hatta dalam karyanya di atas. Bahwa, “Kaum intelegensia Indonesia mempunyai tradisi yang baik dalam menentukan nasib bangsa. Selagi rakyat yang banyak masih berselimut dengan kegelapan, kaum terpelajarlah yang membukakan matanya bahwa ia mempunyai hak atas hidup sebagai bangsa yang merdeka!”
Jadi hal lumrah di tengah kegerahan sivitas kampus bersuara tentang rendahnya etika dan moral pemimpin dalam berdemokrasi hari ini. Bung Hatta telah menggariskan bahwa sudah menjadi tanggung jawab moral kaum intelektual hari ini memastikan Indonesia dibangun dengan rasa keadilan, tanggung jawab, dan keberanian menghadap segala kesukaran. Salah satunya bisa jadi fitnah terhadap para guru besar yang dianggap partisan dalam Pemilu 2024 kini.
ADVERTISEMENT