Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kematian dan Keberanian
12 Desember 2020 16:14 WIB
Tulisan dari Selando Naendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Kalaupun ternyata aku mati besuk, sepertinya enggak bakal terjadi apa-apa, deh. Maksudnya: kamu, bapak, adik, dan kakak tak akan menangis. Lalu semuanya hanya akan berlalu," kata Ibu kepada saya, ketika suatu pagi saya duduk di depannya dan meminum teh buatannya yang sudah berubah menjadi dingin.
ADVERTISEMENT
Mendengar ucapannya, saya mengambil tegukan pertama (saya biasa minum dengan tiga kali tegukan), menunjukkan gerak-gerik tubuh tanda setuju, lalu berpikir bahwa kematian memang tak pernah terlalu berlebihan hari-hari ini.
Mungkin sekitar lima tahun lalu, saya ingat mantan pacar saya mengatakan hal sejenis. Meresponnya: saya ketakutan lalu menulis "aku sayang kamu" di BBM dan memberi nasihat bahwa kita tak perlu terlalu cengeng menjalani hidup. Saya pikir, hidup memang berubah, dan kaki kita membesar, dan ketakutan kita pada kematian selalu menciut-melar, sebagaimana kesiapan kita menghadapi mimpi-mimpi buruk: tapi apa itu mimpi-mimpi buruk?
Tempo hari, salah satu penulis favorit saya, Dea Anugrah, mengunggah sebuah cuitan di akun Twitternya pada pukul empat sore: "Langit cerah, burung terbang, kucing tidur siang, manusia bertanya: semua ini buat apa?"
ADVERTISEMENT
Saya membacanya lalu menaksir apa yang sedang ada dalam kepala seorang pria 29 tahun yang disebut-sebut sebagai "sastrawan lokal masa depan yang mumpuni", punya uang, dan —kalau tak salah —tengah membangun sebuah rumah di Depok yang ia sebut sendiri sebagai "kota terbaik di dunia ".
Saya tak tahu apakah Dea adalah tipe penulis yang gemar tidur siang, tentu saja. Tapi, mensejajarkan cuitannya dengan kalimat ibu saya yang menyandang gelar sarjana sastra dari Uninversitas Sarjanawiyata Tamansiswa pada 1990-an, saya bertanya-tanya: apakah sastra membuat orang cenderung berpikir melankolis?
Ketika tahu bahwa Ernest Hemingway menembak kepalanya dengan shotgun yang biasa ia pakai untuk berburu merpati, saya menyadari, sastra memang membawa konsekuensi amat logis berupa rasa kecewa yang akut terhadap hidup, pada dada setiap yang mengakrabinya. Ia, yang disebut Octavio Paz sebagai "ekspresi rasa kehilangan terhadap segala yang penting", membawa seseorang melayari sudut-sudut gelap dan menemukan apa-apa yang morat-marit dari dunia ini. Dan melayari kegelapan, dengan tujuan buat melampauinya, saya rasa, tentulah proyek yang mulia.
Tapi, astaga, tak semua orang keranjingan bekerja dan suka dengan yang gelap-gelap.
ADVERTISEMENT
Saya menyukai kegelapan, tak bisa tidur kalau tak berada dalam ruangan yang gelap, dan pernah pada satu ketika, dengan kepercayaan diri serupa peraih nobel, bilang ingin mendirikan Tarekat Kemurungan kepada salah seorang teman yang rutin mengajak saya mengaji. "Lagu kebangsaannya pakai Melankolia-nya Efek Rumah Kaca," kata saya.
Ia membiarkan saya menyelesaikan kalimat, mengira saya sedang punya masalah psikologis, dan menyatakan hendak memberi kultum ketika kami bertemu. Berbulan-bulan setelah itu, saya harap ia tak menganggap kesedihan sebagai masalah dan lumayan longgar buat membaca tulisan ini.
Dan beberapa waktu lalu, pada seorang kawan lain, saya bertanya tentang dosa seorang penulis yang dengan congkak menulis prosa tentang pengalaman ruhaninya. Ia yang, sebab kematangan spiritualnya, saya percayai hampir 97% kata-katanya tak menjawab pertanyaan itu, lalu menyebut nama Sutan Takdir Alisjahbana, seorang penyair dan pengikut Tarekat Naqsyabandiyah, yang puisi-puisinya disukai Dian Sastrowardoyo, meski kakeknya (Subagio Sastrowardoyo) konon sempat merasa muak dengan pidato Takdir di Taman Ismail Marzuki pada 1982 karena menganggap penilaian Takdir terhadap sastra kelewat "kabur dan kasip". Pada sebuah Rabu malam yang gelap dan gerimis, saya lalu menelusuri puisi-puisi Takdir di internet.
Dalam "Air Mata" (1935), Takdir bilang tak bakal menahan tangis yang datang dari "Chalik yang satu", sebab ia "hendak merasa nikmat" hingga panas air matanya "ngalir pada pipi". Tentu, ia tak menulis puisi ini sebagaimana para kawula muda sekitaran sini menjelma aktivis kesehatan mental, yang sambil ongkang-ongkang menulis cuitan di Twitter meniru lirik lagu Dewa 19: "menangislah bila harus menangis". Di hadapan Takdir, kesedihan dan tangis sama sekali bukan kerawanan.
ADVERTISEMENT
Dalam puisi lain yang berjudul "Perjuangan" (1935), Takdir menolak menjalani hidup yang "tenteram dan damai", sebab "hidup ialah perjuangan". Dan dalam perjuangan, yang "semata lautan segara" dan "alam semesta", ia berkata bahwa Tuhan berada "di dalam dada".
Sepanjang jejak kepenulisan saya yang, meski tak menghasilkan apa-apa, membuat ayah membanggakan saya sebagai esais terbaik di kelurahan, hampir semua tulisan saya bisa selesai lantaran dilatarbelakangi kepiluan-kepiluan bercorak tertentu. Saya memang tak bisa menjabarkannya secara teknis: tapi, rasa-rasanya, ada semacam seekor serangga yang seperti memasuki kepala saya dan membisikkan kata-kata buat ditulis. Hingga hari ini, saya masih mendapati jantung saya berdegup, belum pernah berdiskusi soal well being dengan HRD sebuah media yang telah menggembosi otak saya selama tiga bulan, dan, kalau boleh dibilang, lumayan semangat menjalani hidup ini.
ADVERTISEMENT
"Aku tak berpikir semua penulis bersedih," kata penyair kontemporer terlaris Selandia Baru, Lang Leav, dalam novelnya, "Sad Girls", "sebaliknya: semua yang bersedih pasti menulis." Hari-hari ini, saya kira, orang tak perlu punya kerawanan pada kesedihan, atau merasa kecil dan gemetar di depan hidup, yang buat menjalaninya, kata Albert Camus, selalu butuh keberanian lebih besar ketimbang bunuh diri .
Dan beberapa pekan sebelum memutuskan berhenti, tulis Dea Anugrah, Hemingway bilang pada A.E. Hotchner, kawannya, bahwa ia tak punya bahkan cuma salah satu dari "kesehatan, pekerjaan yang lancar, keriaan bersama kawan-kawan, dan kenikmatan di ranjang" yang harusnya bisa membuatnya semangat dan tak takut buat menjalani hidup.
Saya mengambil tegukan kedua dan ketiga pada gelas dan di hari yang lain, lalu membayangkan penderitaan itu, dengan semangat hidup yang masih terjaga sampai sekarang. Dunia ini, saya kira, meski mempertemukan saya pada segala yang saya cintai, memang perlu disadari sebagai sebenar-benar mimpi buruk: segalanya datang, hanya akan berlalu, dan tak bakal pernah bisa saya rengkuh selama-lamanya.
ADVERTISEMENT
Saya boleh dan bebas membaca novel-novel Hemingway atau Camus atau keduanya, tentu saja. Tapi, sebelumnya, saya perlu membayangkan keduanya duduk dan berdebat di sebuah rumah makan gelap yang hampir tutup di Wonosari, Gunungkidul, yang menurut saya adalah kota terbaik di dunia—sambil berpikir bahwa kematian harusnya memang tak pernah terlalu berlebihan.