Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kita Membutuhkan Cinta Saat Ini Juga
6 Februari 2021 12:58 WIB
Tulisan dari Selando Naendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kota yang kini saya tinggali tentu adalah tempat terbaik di dunia, dan pada 2 September 2020 lalu, selepas menemani beberapa kawan berenang di sungai yang letaknya berbatasan dengan kota lain, saya merasa telah menghabiskan sehari paling membahagiakan sepanjang tahun. Dua minggu kemudian, saya berencana menggorok leher saya sendiri lantaran mengira-ira kesiapan buat menghadapi hari esok. Dan ini, astaga, sama sekali bukan lelucon.
ADVERTISEMENT
Pada satu pagi, ketika menyadari bahwa segala yang tersisa di dunia pasti bakal makin memburuk, saya mengambil telepon genggam dan melihat foto-foto lama di galeri, mengamati apa-apa yang bakal saya tinggal selama-lamanya, sekaligus mengukur kekebalan saya terhadap rasa kehilangan. Jantung saya berdegup cepat, dan yang tersisa dari awan-awan di langit pada Minggu pagi cuma kesuraman: sebuah suara —yang entah asalnya dari mana —berbisik kalau saya sungguh tak akan kuat menjalani hidup.Â
Saya tahu seseorang menyimpan pisau tajam dan cairan pel yang mirip jus jeruk di dapur, dan yang bercokol di kepala saya saat itu tinggal keberanian. Itu adalah sekitar akhir September tahun lalu, tapi hari ini juga seterusnya, seseorang harus memberi saya ceramah bertahun-tahun buat menemukan cara untuk bersedih, dan saya kini menjalani hidup dengan kegembiraan meluap-luap.
ADVERTISEMENT
Seorang kawan baik, yang saya hormati betul nasihat dan cerita-ceritanya, bilang kalau saya memandangi dunia ini dengan "ideologi membahayakan". Ia paham dengan apa yang mengendap di pikiran saya selama ini (saban pertemuan, saya selalu keranjingan menjadi pembicara, dengan kepiluan-kepiluan abstrak —perempuan, masa lalu, tabungan ludes —sebagai topik utama), dan barangkali mengandaikan perpisahan dengan salah seorang kawan yang ia sayangi. Kini, saya paham dengan istilah itu, dan kami gemar sekali menertawakan dunia ini bersama-sama.
Sepanjang pertemanan kami, saya mengenalnya sebagai seorang pria dewasa yang tergolong tak banyak bicara, atau lebih tepatnya mengoceh soal banyak masalah pribadi. "Isi kepalaku sedang dalam kondisi amat baik, alhamdulillah", katanya, dan kalimat semacam itu hampir selalu ia sebut tiap kali saya mencoba melacak apa yang ia pikirkan sebagai seorang laki-laki yang bernapas: sebagai kawan, saya kira, kami harusnya berbagi kemalangan yang sama.
ADVERTISEMENT
Dan, ya ampun, mungkin baru seminggu lalu, salah seorang penulis favorit saya membuat akun Medium dan menggunggah tulisan pertamanya di sana. Ia cukup megalomania dan gemar memanggil dirinya sendiri "maestro" (ini ia sandarkan pada cerita ketika Gabriel Garcia Marquez berteriak memanggil Hemingway saat melihatnya di seberang jalan), meski tampaknya sempat punya masalah soal cara memandang dunia yang tak lagi main-main.
Di pintu kamar kosnya semasa mahasiswa, ia bercerita pernah menempel tulisan "Selamat datang, Maestro!", dan dua hari berikutnya mengukur kepantasan menggantung diri di tempat yang sama. Hari-hari ini, sadar atau tidak, kita tak pernah punya indra keenam buat memeriksa hal buruk macam apa yang mungkin bakal mendekati kita pada satu waktu. Dan untuk membebaskan diri dari segala yang berbahaya, yang kita butuhkan cuma cinta .
ADVERTISEMENT
"Ketika jatuh cinta," kata Louis de Bernières dalam Captain Corelli's Mandolin, "kau seperti berada dalam sebuah kegilaan temporal". Itu ditulis Bernières dalam rangka menceritakan kisah cinta seorang tentara Italia dan anak tabib, yang pada kalimat berikutnya, ia mencatut pembicaraan soal "letusan gempa bumi", "kawin", "perpisahan", dan "kebenaran".
Dari sebuah biografi singkat, saya lalu tahu kalau Bernières cerai dengan Cathy Gill pada 2009 dan tak pernah menikah lagi. Kalau saja tak mengigau soal cinta dan kebenaran, saya tak bakal mengira kalau ia terlalu banyak minum anggur dan perlu bertanya pada Irfan Afifi tentang apa yang sebetulnya ada pada jantung tiap orang, yang menurut pengalaman Bernières, sebatas menjadi tempat seseorang "sesak napas" ketika jatuh cinta.
Cinta, jelas belaka, tak seperti yang dibayangkan Bernières ketika memaknai kehidupan pribadinya dengan otak berembun, yang celakanya juga dilakukan oleh hampir semua penulis kisah roman di dunia ini, meski mereka berarti juga sastrawan tulen paling ulung sekalipun. Kita selama ini mengagung-agungkan kehidupan damai, makan malam romantis, dan keluarga yang rukun, kan? Dan ketika ketiganya gagal, kata Bernières, cinta adalah "apa yang tersisa" ketiga segalanya "membara". Padahal, itu tentu cuma bualan: banyak orang menyandarkan hidup pada apa-apa yang mereka cintai —pekerjaan yang baik, kegemaran, pacar mirip Julie Delpy, uang, uang, uang… — yang, bukan main, itu semua tak bakal pernah ada sisanya atau bisa direngkuh selama-lamanya.
ADVERTISEMENT
Kalau, kemungkinan terbaiknya, Bernières menganggap cinta sebagai pengembaraan (ia bukan berasal dari kata dasar yang sama dengan "membara", tentu saja), saya mungkin bisa lebih sedikit menghargainya, sebab ia boleh jadi pengikut Tarekat Kemurungan sebagaimana yang saya sebut-sebut ketika mengobrolkan beberapa lagu Efek Rumah Kaca dengan kawan saya tempo hari.Â
Apa-apa yang ada di benak Bernières ketika menulis Captain Corelli's Mandolin saya kira tak mewakili apapun, selain tentu hanya kegilaan, dan sedikit banyak, angan-angan. Dan bunuh diri , saya pikir, lahir dari hasrat dan kecintaan dan optimisme berlebih terhadap dunia ini.Â
Para psikolog dan HRD perusahaan mungkin menyebutnya "terminal pemberhentian rasa sakit", dan kebanyakan mereka juga banyak orang di dunia ini memang menganggap hidup sebagai kalender untuk bersenang-senang dan suci dari segala yang teruk. Selain mirip dengan adik saya yang keranjingan main GTA V, mereka menyandarkan hidup pada segala yang rapuh, yang itu semua bisa roboh setiap saat. Kalau saja, seperti kata Gandhi, orang-orang ini tak punya selera humor sama sekali, maka mereka pasti telah mati sedari dulu.
ADVERTISEMENT
Kalau diijinkan, semua orang tentu ingin berbagi kebahagiaan dengan kekasih yang baik, di sebuah tempat tinggal yang menyenangkan, dan bila merasa patut, bangun kesiangan dan menikmati dunia ini. Tapi untuk menggunakan pisau dan cairan pel dan kamar tidur sebagaimana mestinya, itu semua sungguh belum cukup.
Untuk menyelamatkan hidup dan hidup, saya tak perlu punya harapan muluk pada masa depan, yang darinya tak lahir pertanyaan konyol sebagaimana yang ada pada seminar motivasi tentang "bagaimana orang seyogyanya teratur menjalani hidup ini (?)". Seseorang pada suatu hari membawa saya ke tempat di mana saya tak mau memikirkan apapun, yang di sana, saya tak ingin melakukan apapun selain memejamkan mata, dan mencintai.
Maka cinta, harusnya, ialah alasan mengapa jantung kita berdegup dan tak perlu mati dulu hingga hari ini. Dan untuk berunding soal Kekasih, saya sungguh kehilangan minat buat berdebat, selain juga siap menjalani hidup ini, dengan keriaan tak terkira.
ADVERTISEMENT