Konten dari Pengguna

Kekerasan Berbasis Gender (KBG) Terhadap Kelompok Rentan Oleh Pasukan Perdamaian

Senia Listya Utari (Senia)
Mahasiswa S1 Program Studi Hubungan Internasional Universitas Udayana
24 Oktober 2024 17:07 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Senia Listya Utari (Senia) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tentara. (Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/soldier-near-concrete-pillars-holding-semi-automatic-gun-with-scope-163443/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tentara. (Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/soldier-near-concrete-pillars-holding-semi-automatic-gun-with-scope-163443/)
ADVERTISEMENT
Pasukan Penjaga Perdamaian untuk Perdamaian Dunia
Organisasi internasional merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem internasional. Tujuan dan visi misi yang diemban oleh organisasi internasional biasanya berjalan beriringan dengan sesuatu yang dicita-citakan oleh pemerintah dan warga negaranya. Organisasi internasional adalah bentuk dari hasil interaksi dan hubungan baik yang dijalin oleh satu negara dengan negara-negara lainnya yang didasari oleh tujuan untuk bekerja sama mencapai kepentingan yang sama atau bersinggungan. Maka dari itu, negara-negara di dunia berinisiatif untuk membentuk suatu wadah berupa organisasi yang mampu menghimpun negara-negara dalam mencapai perjanjian organisasi dengan tujuan menjalin kerja sama dan hubungan yang baik dalam skala internasional. (Adelia et al, 2024). Tujuan suatu organisasi internasional dapat berupa apapun yang akan diwujudkan melalui kerja sama dan hubungan yang baik antar negara-negara yang setuju menjadi anggotanya. Organisasi internasional biasanya dibentuk untuk mengatur dan menangani masalah dalam tingkat internasional yang tidak dapat ditangani hanya oleh satu negara. Maka dari itu, mereka biasanya menangani berbagai macam isu, khususnya keamanan dan perdamaian dunia yang tidak mampu dilakukan oleh satu negara.
ADVERTISEMENT
Sejumlah organisasi internasional telah menetapkan tugas dan kewajiban mereka sebagai penjaga dan pemelihara perdamaian dunia serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). PBB hadir sebagai organisasi internasional yang memiliki kewenangan untuk melakukan aksi intervensi dengan tujuan untuk memperjuangkan dan menegakkan HAM serta mengembalikan kestabilan keamanan wilayah tersebut (Surya Edi et al., 2019). Hal tersebut tertera dalam Piagam PBB Bab VII Pasal 39 yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Selain itu, bukti tekad PBB terkait keamanan juga tercantum pada Pasal 1 Piagam PBB 1945 yang memuat tujuan PBB untuk pemeliharaan perdamaian, keamanan internasional serta bertujuan untuk mengambil tindakan bersama secara efektif demi melenyapkan ancaman pada pelanggaran perdamaian dengan penyelesaian secara damai, sesuai hukum internasional dan prinsip-prinsip keadilan, sekaligus mencari penyelesaian terhadap pertikaian-pertikaian internasional atau keadaan-keadaan yang dapat mengganggu perdamaian, sehingga Dewan Keamanan (DK) PBB, yang dipilih oleh negara-negara anggota, kemudian dibentuk dan diberikan mandat untuk menjalankan fungsi tersebut (Mayaut et al., 2022). DK PBB yang memiliki kekuasaan tersebut kemudian membentuk operasi perdamaian melalui resolusi DK PBB yang menetapkan tugas dan fungsi serta kapasitas untuk operasi pasukan penjaga perdamaian. Produk dari Pasal Piagam PBB tersebut adalah organ yang dibentuk demi kelancaran tugas serta fungsi untuk pemeliharaan perdamaian internasional yang disebut dengan Pasukan Penjaga Perdamaian (United Nations Peacekeeping Force). Selain itu, Piagam PBB bab VII Pasal 39 juga mengamanatkan bahwa DK PBB dapat memutuskan untuk mengerahkan kekuatan bersenjata yang bersifat besar dalam proses penciptaan perdamaian dunia, yang otorisasinya diberikan kepada sejumlah organisasi regional, seperti Komunitas Ekonomi Negara-negara dari Afrika Barat (ECOWAS), North Atlantic Treaty Organization (NATO), maupun negara-negara yang mempunyai koalisi bersedia untuk melaksanakan tugas pemeliharaan maupun penjagaan perdamaian (Mayaut et al., 2022). Hal tersebut mengimplikasikan kekuasaan yang dipegang oleh organisasi internasional berskala besar seperti PBB dapat mengerahkan kekuatan dan memiliki hak intervensi terhadap negara-negara yang sedang berkonflik.
ADVERTISEMENT
Kasus Kekerasan Seksual yang Relevan
Sejumlah pasukan perdamaian yang tergabung dalam Misi Unit Afrika di Somalia, yaitu AMISOM, dituduh melakukan pelecehan seksual dan eksploitasi terhadap perempuan di Somalia. Kejadian tersebut berlangsung di kamp-kamp pengungsi dimana seharusnya para pengungsi diberikan keamanan dan mempertahankan hak-hak asasi mereka sebagai manusia maupun pengungsi daerah yang sedang berkonflik. Laporan dari Human Rights Watch yang berjudul, “The Power These Men Have Over Us’: Sexual Exploitation and Abuse by African Union Forces in Somalia” mendokumentasikan pelecehan seksual dan kekerasan yang dialami oleh perempuan dan gadis Somalia di kamp pengungsi yang terletak di ibukota Somalia, Mogadishu, semenjak tahun 2013. Pasukan Uni Afrika telah memanfaatkan berbagai macam strategi, termasuk bantuan kemanusiaan, untuk memaksa para perempuan tersebut untuk melakukan hubungan seksual dengan bergantung pada perantara Somalia, sehingga mereka juga melakukan pemerkosaan dan tindakan seksual kepada perempuan yang datang ke kamp pengungsi AMISOM untuk berobat. Human Rights Watch mewawancarai seorang perempuan yang mengunjungi salah satu kamp di Burundi dan berujung diperkosa oleh para prajurit setelah diarahkan ke area sepi di dalam kamp oleh salah satu penerjemah Somalia, juga perempuan yang miskin dan kekurangan makanan diperkosa sebelum akhirnya diberikan uang oleh para prajurit perdamaian tersebut (Human Rights Watch, 2014).
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2015, PBB menyatakan bahwa kasus pelecehan seksual oleh salah satu tentara Perancis terhadap gadis yang belum mencapai usia dewasa di Republik Afrika Tengah tahun lalu. Sang gadis menjadi hamil diluar nikah dan melahirkan seorang anak (Antara News, 2015). Tentara tersebut merupakan bagian dari Operasi militer Sangaris yang diluncurkan oleh Perancis di Republik Afrika Tengah semenjak Bulan Desember 2013 yang bertujuan untuk meredakan kerusuhan antar-etnis. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mewawancarai salah satu saksi yang melihat kejadian pelecehan seksual di Bangui dilakukan oleh tentara Sangaris terhadap anak-anak remaja yang berusia di kisaran 8-14 tahun, kemudian mereka diberikan makanan oleh para tentara setelah melakukan hal tidak senonoh tersebut (The Guardian, 2016). Terdapat tuduhan dari pihak lain yang sedang dalam penyelidikan tentang 14 tentara Sangaris yang menjadi pelaku pelecehan seksual atas anak-anak tersebut dengan imbalan makanan yang terjadi antara Desember 2013 sampai Juni 2014 (Antara News, 2015). Kemudian pada Bulan Juni 2016, jaksa Paris juga mengumumkan status penyelidikan atas dugaan tentara Perancis yang telah memukuli warga di Republik Afrika Tengah yang masih berada di tahap awal.
ADVERTISEMENT
Kritik Feminisme yang Relevan Terhadap Maraknya Kekerasan Seksual oleh Pasukan Penjaga Perdamaian
Organisasi internasional mengemban tugas menjaga perdamaian dunia dan dapat melakukan berbagai strategi yang dianggap efektif dalam meredakan konflik di berbagai belahan dunia. Hal tersebut dilakukan dengan mengirimkan kontingen pasukan militer mereka ke negara-negara yang berkonflik. Sayangnya, tujuan baik yang dibawa oleh organisasi internasional yang relevan, seperti PBB, dengan representasi tentara penjaga perdamaian mereka tidak selalu berjalan mulus dan bagaikan pedang bermata dua dalam pengimplementasiannya di dunia nyata. Strategi ini dianggap justru menciptakan budaya kekerasan seksual terhadap kelompok minoritas dan yang lemah dengan menciptakan para predator yang berasal dari pasukan penjaga perdamaian. Mereka cenderung menggunakan paksaan terhadap kelompok rentan, yaitu wanita dan anak-anak, untuk memuaskan hasrat seksual mereka, bahkan tidak jarang menggunakan senjata dan ancaman verbal (Manukily, 2023). Selanjutnya, para korban akan diberikan imbalan berupa makanan ataupun uang (Nordas & Rustad, 2013). Selain itu, status mereka yang merupakan pasukan penjaga perdamaian juga menjadi salah satu faktor penting karena terdapat implikasi bahwa para tentara tersebut menyalahgunakan kekuasaan mereka demi meraih kepentingan pribadi. Feminisme mengkritik hal tersebut disebabkan oleh struktur patriarkal yang sangat kental dalam institusi militer dan perdamaian. Militerisme merupakan salah satu perwujudan toxic masculinity yang mengagungkan kekuatan fisik, dominasi, dan kontrol. Mereka yang mengikuti pelatihan militer ditanamkan nilai-nilai yang mengedepankan kekuatan dan dominasi sebagai alat utama dalam mencapai tujuan.
ADVERTISEMENT
Terdapat banyak organisasi internasional yang masih berfokus pada strategi dan metode yang maskulin dalam menyelesaikan konflik. Ironisnya, pasukan penjaga perdamaian sering kali menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan keamanan dan penciptaan perdamaian. Letak permasalahan dalam strategi mereka adalah bergantung pada kekuatan militer dibandingkan cara yang lebih halus namun efektif untuk meredakan konflik yang terjadi di dalam sebuah negara. Mereka masih memandang keamanan dari perspektif kontrol teritorial dan kekuatan bersenjata, sehingga mengabaikan pendekatan non-kekerasan atau penyelesaian konflik yang berbasis dialog yang mungkin lebih efektif dalam merespon kebutuhan keamanan komunitas di negara tersebut. Masih banyak lembaga yang tidak mempertimbangkan keamanan manusia sebagai salah satu aspek penting dalam bidang keamanan. Kajian hubungan internasional yang kontemporer tidak lagi hanya berfokus pada militer, konflik dan pertahanan perbatasan, tetapi juga menekankan pada fenomena human trafficking, global warming, kelaparan, terorisme, kemiskinan, penyebaran penyakit, dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari isu-isu yang dikategorikan dalam keamanan manusia (Mumtazinur & Wahyuni, 2021). KBG merupakan salah satu fenomena dalam keamanan manusia karena mengancam keamanan kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak, sehingga melucuti mereka dari hak-hak asasi mereka sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Imunitas hukum terhadap pelaku KBG adalah bentuk kekebalan hukum yang diberikan kepada pasukan penjaga perdamaian. PBB telah memberikan status non-kombatan kepada pasukan penjaga perdamaian, sehingga dilindungi oleh hukum humaniter internasional (Mayaut et al., 2022). Regulasi tersebut diharapkan dapat melindungi pasukan tersebut dari tuduhan pelanggaran hukum atau tuduhan menggunakan kekuatan bersenjata secara sewenang-wenang, sekaligus menunjukkan kejelasan status mereka ketika melaksanakan misi di wilayah yang berkonflik. Maka dari itu, mereka tidak boleh diserang dan penyerangan terhadap mereka dinyatakan sebagai pelanggaran hukum atau pelanggaran hukum humaniter internasional serta hukum hak asasi manusia. Hal tersebut menjadi salah satu faktor sulitnya untuk melawan atau menuntut mereka apabila menyalahgunakan hak dan kebebasan mereka untuk melakukan kekerasan seksual terhadap para korban dan pengungsi di negara yang sedang berkonflik. Banyak kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian tidak dapat diproses dan ditindaklanjuti secara efektif oleh negara asal pelaku atau organisasi internasional itu sendiri karena tentara tersebut terikat dengan kebijakan itu. Feminisme memandang hal tersebut sebagai cerminan bias gender dalam sistem internasional karena perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan kelompok rentan lain yang tidak dipertanggungjawabkan demi menjaga hubungan diplomatik atau stabilitas politik global.
ADVERTISEMENT
Kekerasan Berbasis Gender (KBG) yang dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian menunjukkan bahwa implementasi konsep pasukan perdamaian, meskipun dibentuk oleh organisasi internasional yang besar seperti PBB dengan tujuan untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia, menjadi kontraproduktif. Pasukan penjaga perdamaian seharusnya mengutamakan perlindungan terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, namun justru terlibat dalam tindakan kekerasan seksual dan menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk mencapai kepentingan pribadi. Kritik feminisme terhadap kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian menekankan bagaimana budaya patriarkal dan nilai-nilai maskulinitas yang dominan dalam struktur militer mengarah pada kekerasan dan dominasi sebagai metode penyelesaian konflik. Pendekatan militeristik dalam bidang keamanan tersebut mengesampingkan aspek keamanan manusia sebagai salah satu bagian penting dari bidang keamanan sehingga mengabaikan metode yang lebih damai dan sensitif terhadap kebutuhan komunitas lokal. Selain itu, imunitas hukum yang diberikan kepada pasukan perdamaian juga menciptakan hambatan dalam mengadili dan menindaklanjuti kasus pelecehan seksual oleh pasukan penjaga perdamaian terhadap para perempuan dan kelompok rentan yang menjadi korban kekerasan seksual. Meskipun perlindungan hukum bagi pasukan penjaga perdamaian bertujuan untuk melindungi mereka dari gencatan senjata selama bertugas di daerah konflik, namun merupakan pedang bermata dua yang kebal dari proses hukum. Dalam kata lain, feminisme mengkritik bahwa sistem internasional masih cenderung bias terhadap gender karena lebih mengutamakan stabilitas politik global dibandingkan memperjuangkan perlindungan hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya. Maka dari itu, pendekatan yang berpusat pada keamanan manusia dianggap penting untuk mencegah kasus-kasus KBG dalam misi perdamaian.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Adelia, C., Salsabila A, A., & Sari, P. T. (2024). Peran Organisasi Internasional di Dalam Suatu Negara. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 1(6). https://doi.org/10.5281/zenodo.10492347
Surya Edi, I., Kumala Dewi, P., & Kawitri Resen, P. (2019). Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Pada Misi MINUSTAH di Haiti Tahun 2004-2017. DIKSHI (DISKUSI ILMIAH KOMUNITAS HUBUNGAN INTERNASIONAL), 1(2). Retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/hi/article/view/52522
Mayaut, F., Tahamata, L.C., & Leatemia, W. (2022). Perlindungan Hukum Internasional Bagi Pasukan Penjaga Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa. TATOHI: Jurnal Ilmu Hukum, 2(10), 1004 – 1017. DOI: https://doi.org/10.47268/tatohi.v2i10.1440.
Nordås, R., & Rustad, S. C. A. (2013). Sexual Exploitation and Abuse by Peacekeepers: Understanding Variation. International Interactions, 39(4), 511–534. https://doi.org/10.1080/03050629.2013.805128
Manukily, C. (2023). Meninjau Kasus Kekerasan Seksual Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Kongo dari Sudut Pandang Neoliberalisme.
ADVERTISEMENT
Mumtazinur dan Wahyuni, Yenny S. (2021). Keamanan Individu (Personal Security) dan Qanun Hukum Keluarga: Tinjauan Konsep Keamanan Manusia (Human Security). El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga, Vol.4 No.1 Januari-Juni.
Human Rights Watch. (2014, September 8). Somalia: Sexual Abuse by African Union Soldiers. Human Rights Watch. https://www.hrw.org/news/2014/09/08/somalia-sexual-abuse-african-union-soldiers
The Guardian. (2016, September 27). Witness to soldiers’ sexual abuse in Bangui speaks out on finding safe haven. Data.unhcr.org; United Nations High Commissioner for Refugees. https://data.unhcr.org/es/news/15060
Antara News. (2015, September 3). PBB: tentara Prancis lecehkan gadis di Republik Afrika Tengah. Antara News; ANTARA. https://www.antaranews.com/berita/516058/pbb-tentara-prancis-lecehkan-gadis-di-republik-afrika-tengah