Konten dari Pengguna

Aksesori Politik Pengakuan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

12 Januari 2023 13:51 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SETARA Institute tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Jokowi menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Foto: Dok. Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Foto: Dok. Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Sesaat setelah menerima laporan kerja Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat Masa Lalu, Presiden Jokowi membuat pernyataan yang intinya mengakui dan menyesali adanya pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Hal ini merupakan bagian dari aksesori politik kepemimpinan Jokowi dalam memenuhi janji kampanyenya saat di 2014 hendak mencalonkan diri sebagai presiden.
Sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden. Namun, tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM.
Tim yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 17/2022 ini hanya bekerja tidak lebih dari 5 bulan. Dengan komposisi anggota yang kontroversial dan metode kerja yang tidak jelas, mustahil bisa merekomendasikan terobosan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara berkeadilan.
Presiden Jokowi menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Foto: Dok. Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden
Tim ini hanya ditujukan untuk memberikan legitimasi tindakan bagi Presiden Jokowi membagikan kompensasi kepada para korban tanpa proses rehabilitasi yang terbuka, dan tanpa mengetahui siapa sesungguhnya pelaku-pelaku kejahatan itu.
ADVERTISEMENT
SETARA Institute menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM.
Persis dan konsisten dengan yang telah disampaikan oleh Kemenkopolhukam, bahwa Tim PPHAM memang tidak mencari siapa yang salah.
Namun, lebih kepada menyantuni dan menangani korban untuk dilakukan pemulihan. Fakta ini adalah dampak dari ketiadaan mandat pemenuhan hak atas kebenaran (right to the truth) sebagai dasar untuk menentukan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses peradilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non yudisial.
Presiden Jokowi menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Foto: Dok. Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden
Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial.
Ada lompatan logika (logical jumping) yang dipraktikkan oleh pemerintah, yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran. Namun, telah mengambil jalur non-yudisial sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas.
ADVERTISEMENT
SETARA memandang cara kerja Tim PPHAM sengaja didesain untuk melahirkan aneka kontradiksi dan paradoks dalam diskursus dan gerakan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu.
Menkopolhukam Mahfud MD memberikan keterangan pers terkait penyerahan laporan Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu. Foto: Youtube/Sekretariat Presiden
Sekalipun berkali-kali Menkopolhukam, Mahfud MD, menyampaikan bahwa jalur yudisial tetap terbuka, tetapi dengan keputusan politik presiden yang hanya menempuh jalur penyantunan pada korban.
Maka, keputusan Presiden Jokowi akan menjadi referensi dan preseden sikap lanjutan bagi Jokowi pada dua tahun terakhir kepemimpinannya atau bagi presiden selanjutnya.
Di sinilah kecerdikan Jokowi merespons isu politik penyelesaian pelanggaran HAM. Di satu sisi, berhasil memetik insentif politik sebagai pemecah kebekuan; tapi di sisi lain, juga dicatat sebagai presiden yang berhasil menutup ruang bagi kerja lanjutan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, melalui jalur yudisial.
ADVERTISEMENT