Konten dari Pengguna

Dibalik Rencana Prabowo Menambah Kementrian

Setyo Purwoto
Saya Setyo Purwoto mahasiswa Pendidikan Sejarah UNNES asal Grobogan. Aktif di PMII & GenBI berpengalaman dalam tim dokumentasi dan media. Di Kumparan saya menulis sejarah & isu sosial menggabungkan perspektif akademis dengan gaya jurnalistik
16 September 2024 8:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Setyo Purwoto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Rencana presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menambah jumlah kementerian menjadi lebih dari 40 telah memicu perdebatan intens di antara para pengamat dan masyarakat luas. Keputusan ini, yang "katanya" bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam pemerintahan. Pasalnya rencana ini justru kebalikan dari rencana pak Jokowi sebelumnya yang berusaha untuk merampingkan kementerian-kementerian agar lebih efisien sekarang Prabowo justru menambah kementerian yang ada.
ADVERTISEMENT
Visi misi Prabowo yang mengangkat tema keberlanjutan ini mulai dipertanyakan oleh masyarakat. Selain itu hal ini juga menimbulkan kekhawatiran akan peningkatan peluang untuk korupsi dan nepotisme. Karena korupsi dan nepotisme sudah mengakar dari puncak pemerintahan tertinggi yakni presiden wakil presiden hingga ke tingkat daerah yang paling rendah sekalipun semuanya pasti tak luput tindak pidana korupsi.
Sejarah Indonesia telah mencatat beberapa kasus korupsi yang melibatkan kementerian, dimana pejabat tinggi terlibat dalam penyalahgunaan dana dan kekuasaan. Hal ini tentunya akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat akan pejabat-pejabat pemerintah serta kementerian yang akan dibangun nantinya. Contoh yang paling mencolok adalah skandal korupsi yang terjadi di Kementerian Agama di mana dana Bantuan Operasional Pendidikan yang jumlahnya sangat besar untuk pengadaan Alquran disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Kasus ini menunjukkan bahwa penambahan kementerian tanpa sistem pengawasan yang kuat dapat membuka celah baru bagi tindakan korupsi. Kementerian-kementerian lain pun tidak luput dari adanya praktik korupsi seperti Kemeninfo yang mana anggaran untuk pengadaan tower 4G di korupsi secara besar-besaran. Kementerian olahraga yang sudah pasti ada korupsi sehingga terjadi pergantian menteri secara terus-menerus. Bahkan di dalam kementerian pendidikan sendiri yang mana tugasnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus dikotori oleh praktik korupsi ini.
Kekhawatiran lain muncul terkait dengan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang baru-baru ini ramai di protes oleh seluruh pekerja di Indonesia seharusnya digunakan untuk membantu masyarakat memperoleh rumah yang layak. Namun, ada potensi bahwa dana ini bisa disalahgunakan oleh pejabat kementerian untuk kepentingan pribadi mereka sendiri apalagi seperti yang kita tahu bahwa IKN atau proyek ibukota Nusantara masih panjang dan masih memerlukan dana yang sangat banyak karena pemerintah tidak mampu untuk menarik investor asing maka ini merupakan jalan yang diambil pemerintah untuk mendapatkan dana.
ADVERTISEMENT
Ada kekhawatiran bahwa anggaran yang harusnya digunakan untuk membangun rumah-rumah rakyat ini justru dimanfaatkan untuk membangun rumah para pejabat. Yang mana kita sudah mendapatkan info anggaran resmi dari pemerintah bahwa rumah yang akan dibangun untuk para pejabat di IKN adalah 14 miliar per unit yang itu pun masih dianggap tidak layak oleh bapak menteri kita bapak Luhut Panjaitan. Ini menambah daftar panjang kecurigaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola dana rakyat dengan benar. Selalu saja proyek-proyek yang dijalankan oleh pemerintah ini tidak pernah berhasil seperti proyek food estate yang dijalankan oleh Prabowo sendiri di bawah kementerian pertahanan yang sudah menghancurkan berhektar-hektar hutan padahal tujuannya sendiri hanyalah menanam singkong namun semuanya gagal dan tidak membuahkan hasil.
ADVERTISEMENT
Skeptisisme juga muncul mengenai ketegasan presiden dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi. Komitmen Prabowo untuk memberantas korupsi ini sudah dipertanyakan sejak awal pencalonan dirinya menjadi presiden di awal tahun 2024. Prabowo yang ditanyai oleh moderator debat pun memberikan jawaban bahwa ia akan menaikkan gaji para ASN dan pejabat sehingga para pejabat tidak perlu lagi untuk melakukan korupsi. Hal ini tentunya merupakan pola pikir yang salah sebab orang yang korupsi itu merupakan orang yang ngerusak secara mental dan moral bukan secara finansial.
Harapannya ke depan presiden terbaru kita dapat menyadari hal ini. Meskipun telah ada beberapa langkah yang diambil, masih banyak kasus korupsi besar yang belum terselesaikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, komposisi pemerintahan yang banyak diisi oleh individu-individu dari kalangan oligarki dan pembisnis menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana kebijakan pemerintah akan bebas dari pengaruh kepentingan pribadi dan kelompok. Fenomena ordal ini begitu menyebalkan di seluruh wilayah di Indonesia kita pasti menemukan fenomena ordal. Fenomena ini terjadi dikarenakan ketika seseorang sudah mempunyai jabatan atau kekuasaan maka dia dapat secara leluasa untuk memasukkan atau memberikan rekomendasi kepada seseorang agar menduduki jabatan kosong dalam pemerintahan. menjadi semakin relevan mengingat beberapa anggota pemerintahan sebelumnya yang berasal dari latar belakang serupa telah terlibat dalam praktik korupsi.
Selain memutus partisipasi rakyat untuk terlibat aktif secara langsung dalam pemerintahan kementerian yang baru dibentuk akan kacau jika diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten sesuai bidangnya. Bukankah akan sangat disayangkan jika anggaran yang berasal dari pajak-pajak rakyat dan orang-orang miskin di Indonesia justru dimanfaatkan oleh para penguasa?
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, sangat penting bagi presiden terpilih untuk menunjukkan komitmen yang kuat terhadap pemberantasan korupsi. Ini tidak hanya melibatkan penambahan jumlah kementerian, tetapi juga memperkuat sistem pengawasan dan penegakan hukum. Presiden harus memastikan bahwa setiap bentuk korupsi dapat diidentifikasi dan ditindaklanjuti dengan tegas dan transparan. Hanya dengan demikian, kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat dipulihkan dan ditingkatkan.