Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kejayaan Media Cetak bagi Ibu Pengecer Koran
6 Juli 2021 21:50 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:49 WIB
Tulisan dari Sevilla Nouval Evanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebelum maraknya media daring di dunia, media cetak pernah punya masa kejayaan yang begitu cerah. Bahkan, hal itu pun berdampak sampai pedagang eceran yang menggantungkan nasibnya dari menjual koran dan tabloid selama bertahun-tahun. Jalanan sepi sebelum ramai, gedung yang tak ada menjadi ada, atau teknologi yang akhirnya tercipta jua.
ADVERTISEMENT
Suara klakson motor dan mobil bercampur dan terdengar cukup bising dari pinggir Jalan Jkt - Bogor. Di samping padatnya jalan raya Minggu pagi, seorang ibu paruh baya duduk sembari menata koran-koran, tabloid, serta beberapa teka-teki silang yang dijualnya.
Begitu sampai, saya disambut dengan senyuman hangat dan sapaan ringan: “Pagi, cari koran, ya?” Belum sempat saya menjawab, seorang bapak datang. Dengan singkat dan jelas, ia langsung meminta satu Surat Kabar Kompas. “Eh, si Bapak datang! Ini, Pak,” ujar ibu bernama Ida itu. Kemudian, seraya mengucap hamdalah, ia beralih pada saya yang mematung.
Sudah 28 tahun Ida berjualan koran di ujung Jalan W R Supratman. Wanita 53 tahun itu pun merasakan perbedaan nyata soal minat baca masyarakat di sekitarnya yang berubah dari media cetak ke serba digital. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pembaca media daring yang kini telah mencapai lebih dari dua kali lipat pembaca media cetak menurut data dari AC Nielsen.
ADVERTISEMENT
Merantau dari Medan sejak 1993, tak sekali pun Ida berpindah tempat. Baginya, berjualan koran adalah mata pencaharian satu-satunya untuk menghidupi diri dan keluarga. Berawal dari gerobak yang terisi penuh dengan berbagai jenis media massa cetak, hingga kini berganti jadi pondok kecil beratap spanduk dengan beberapa koran, tabloid, dan rokok di meja serta air mineral di dalam sebuah kulkas yang rusak. “Enggak ada modal buat gantinya,” ungkap ida sambil membuka pintu kulkas yang tak dingin.
Koran-koran itu dulunya sangat diburu. Untuk koran nasional, misalnya, bisa ludes sekitar 50-80 buah dalam sehari. Berbeda dengan yang dirasakannya kini. Terkadang, Ida harus menghadapi kenyataan bahwa tak satu koran pun terjual. Kendati begitu, ia menganggap berita-berita di surat kabar punya banyak keunggulan. Salah satunya, pembaca jadi mudah menemukan berita pilihan dari rubrik yang diminati. “Kalau di online, kadang suka enggak komplet, ‘kan?” katanya.
ADVERTISEMENT
Saya terkejut saat Ida menunjukkan buku catatannya yang penuh. Rupanya, ibu dari empat anak itu selalu membaca koran dan mencatat hal-hal yang menurutnya penting. Halaman demi halaman disingkapnya, hingga terlihat catatan tentang doa-doa yang didapatnya dari rubrik Khazanah di surat kabar Republika.
“Rasanya, saya kayak sekolah lewat koran,” tutur Ida. Ia pun kembali memperlihatkan potongan artikel yang dikumpulkannya dari koran. “Sekarang, sih, jarang yang baca koran, semua ada di hp (handphone),” tambahnya.
Minat baca masyarakat Indonesia memang telah bergeser ke platform digital. Hal ini berdampak telak pada industri media cetak. Sebagai contoh, ditutupnya Koran Tempo cetak pun merupakan upaya penyesuaian tren global yang terjadi terhadap media massa.
Ditambah lagi, pandemi yang jadi hambatan bagi media cetak tentunya juga berdampak pada pengecer seperti Ida. Meski harus membiayai kedua anaknya yang tinggal di pondok pesantren dan sang suami yang menyandang strok, nyatanya Ida kerap makin merugi sejak pandemi melanda.
ADVERTISEMENT
“Saya sering nombokin koran yang enggak laku,” ujarnya. Ia bahkan sempat berpikir untuk berhenti menjual koran dan tabloid. “Saya mau, Mbak, berhenti,” katanya lantang dengan suara yang bergetar di balik masker.
Saya tak pernah menduga air mata akan terlihat di pelupuk mata Ida. Seorang ibu yang gemar membaca ini mulai menangis, mengingat koran merupakan satu-satunya mata pencaharian yang bisa diampunya. Bagi Ida, kebutuhan hidup adalah alasan kuat yang membuatnya terus menjual koran. Namun, kini, ia tak mendapat keuntungan yang signifikan dari pekerjaannya.
Setelah menyeka air mata, Ida menceritakan anak-anaknya secara sepintas. Menurutnya, anak-anaknya adalah alasan terbesar Ida untuk bertahan. “Meskipun sering nombok, hati saya rasanya penuh karena bersyukur terus. Anak saya selalu ingetin untuk ngelihat ke orang-orang yang di bawah (selalu bersyukur).”
ADVERTISEMENT
Sembari menunggu pembeli-pembeli yang akan datang, Ida membaca koran atau Al-Qur’an. Terkadang, ia kembali membuka catatan miliknya untuk melihat doa-doa. Saat pelanggan datang, Ida akan kembali menyapa dengan ramah dan mengucap hamdalah setelah melayani mereka.