Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Serangan Nine Eleven yang Mengguncang Dunia (3)
14 September 2020 21:41 WIB
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kini G.W. Bush Jr., President Amerika Serikat, negara super power yang kerap memposisikan diri sebagai polisi dunia berdiri di depan saya. Orangnya biasa saja. Tidak setinggi Ayahnya Bush Sr. Juga tidak setinggi pendahulunya Bill Clinton, atau penggantinya Barack Obama.
ADVERTISEMENT
Dalam hati saya terpikir, kalau saya bergulat dengan Presiden Amerika ini mungkin bisa saya kalahkan. Apalagi sisa-sisa silat masa lalu masih tersimpan.
Presiden Bush juga orangnya ramah. Cepat menyapa dan nampak sangat lincah. Di depan saya, sambil melihat orang di samping saya, Joe Potasnik, (Vice President NY Board of Rabbis) dia mengulurkan tangan ke saya untuk berjabat tangan, sambil menyapa seolah mengenal: “hey, how are you?”.
Sambil menjabat tangannya saya merespon: “I am fine, thanks Mr. President”.
Keramahan dan kehangatan Presiden Bush terasa. Ketika menjabat tangan saya, dia juga menepuk-nepuk pundak saya. Mungkin karena saya tidak tinggi jadi mudah diperlakukan demikian.
Karena waktunya singkat, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Sambil masih berjabat tangan saya memulai percakapan, atau menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan.
ADVERTISEMENT
Pada intinya tiga hal yang saya sampaikan kepada Presiden Amerika ketika itu:
Yang pertama, “Mr. President, my deepest condolence on behalf of the Muslim people, here at home and around the world” (Bapak Presiden, saya menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas nama orang-orang Islam, baik di Amerika maupun di seluruh dunia).
Nampak Presiden serius, lalu menjawab singkat dan datar: “thank you!”.
Tapi sebelum bergerak saya menambah: “Mr. President, I am representing the largest Muslim community in the world” (saya mewakili komunitas Muslim terbesar dunia).
Mendengar itu, Presiden nampak bingung. Tapi teman saya, Imam Ezekiel Pasha dari Harlem yang berdiri di samping saya menyelah: “He is from Indonesia” (dia berasal dari Indonesia).
ADVERTISEMENT
Mendengar itu Presiden tersenyum dan nampak mengangguk.
Saya kemudian dengan agak serius menyampaikan kepada Presiden Amerika: “Mr. President, God is with the Truth and justice” (Pak Presiden, Tuhan itu bersama dengan kebenaran dan keadilan).
Saya sebenarnya tidak sadar kenapa tiba-tiba saja saya sampaikan hal itu. Belakangan baru saya sadari ternyata itu adalah refleksi terhadap ucapan Bush sehari sebelumnya yang mengatakan bahwa “God is with America” (Tuhan bersama Amerika).
Nampaknya itu sebuah respons spontan untuk mengoreksi Presiden Amerika bahwa Tuhan itu tidak memihak kepada siapa-siapa. Tapi apa dan bagaimananya siapa-siapa. Jika Amerika memang “benar dan adil” maka Tuhan bersama Amerika. Tapi Jika tidak benar dan tidak adil, anda salah mengklaim kebersamaan itu.
ADVERTISEMENT
Mendengar itu, sang Presiden nampak mengangguk. Saya sendiri tidak tahu apakah beliau paham maksud saya? Dan kalaupun paham apakah dia mendengarnya dengan serius? Dalam hati saya berkata: “you did convey” (anda Sudah menyampaikan).
Nampak Presiden ingin berpindah menyalami orang di sebelah saya. Beliau orang dikenal di kota New York dan memiliki posisi terhormat. Joe Potasnik adalah salah seorang Rabbi terkenal di US. Orangnya tinggi besar, tapi ramah dan juga senang bercanda.
Tapi sebelum sang Presiden menyalaminya, saya masih menyampaikan satu hal lagi yang tadinya telah saya siapkan untuk Wali kota New York. Tapi ternyata pertemuan ini terjadi dengan President Amerika.
Saya sampaikan: “Mr. President, would it be possible for you to give a public statement that this these attacks have nothing to do with my Faith (Islam) and my Community (Muslim)” (Bapak Presiden, apakah memungkinkan untuk anda menyampaikan statemen publik bahwa serangan ini tidak ada hubungannya dengan agama dan Komunitas kami?”.
ADVERTISEMENT
Mendengar itu sang presiden tersenyum dan mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia kemudian melangkah ke sebelah dan menyalami Rabbi Joseph Potasnik. Nampak mereka serius tapi lebih kama ngobrolnya dari waktu yang ditentukan. Mungkin karena posisinya sebagai Ketua pendeta Yahudi di kota New York.
Yang pasti saya lega. Apa yang ingin saya sampaikan ke pejabat New York (Wali kota) kini telah saya sampaikan ke Presiden Amerika. Minimal tanggung jawab saya hingga pada tingkatan ini telah saya tunaikan.
Memang beban dan tantangan kepada Komunitas Muslim dalam hari-hari itu sangat berat. Bukan saja beban karena kekerasan-kekerasan yang mulai terjadi di mana-mana, khususnya kepada Komunitas Arab dan Asia Selatan. Tapi juga beban mental, dengan persepsi yang secara sistematis terbangun bahwa orang Islam itu musuh Amerika dan berbahaya.
ADVERTISEMENT
Lebih sejam bersama Bush di ruangan besar gereja St. Patrick itu. Lalu Presiden meninggalkan ruangan.
Setelah Presiden keluar ruangan kami (pada tokoh agama) diarahkan keluar ke jalan 5th Avenue dan menaiki sebuah bus yang dikawal oleh beberapa mobil polisi dan motorcades.
Saya awalnya tidak mengetahui kita akan dibawa ke mana. Maklum semuanya serba dirahasiakan. Dalam perjalanan itu saya selalu memilih berdampingan dengan Imam Ezekiel Pasha. Saya belum mengenal siapa-siapa dari Pimpinan agama New York ketika itu.
Dari Imam Pashalah saya tahu bahwa kita sedang menuju Ground Zero untuk mendampingi Presiden yang juga menuju ke sana dengan mobil khusus.
Sesampai di Ground Zero di samping jalan-jalan yang dilalui telah penuh dengan warga dengan ragam spanduk. Mereka adalah keluarga para korban yang rupanya sudah diberitahu akan kedatangan Presiden Amerika.
ADVERTISEMENT
Melihat wajah-wajah mereka yang menangis, melambaikan tangan, saya terbawa emosi juga. Saya merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dicintai (loved one). Lambaian tangan dengan bendera-bendera kecil Amerika menambah rasa emosi itu.
Kamipun di arahkan ke sebuah titik dalam lokasi Ground Zero. Saya membayangkan kembali kedua gedung tinggi itu. Maklum saya belum sempat melihatnya, apalagi menaikinya, sebelum diluluh lantahkan.
Rupanya di Ground Zero ketika itu masing-masing kelompok warga ditempatkan pada tempat tertentu untuk menjemput kehadiran Presiden Bush. Ada barisan polisi, barisan pemadam kebakaran, barisan pejabat kota, dan tentunya barisan kami para tokoh agama.
Sementara di bagian luar lokasi Ground Zero adalah warga umum dan keluarga korban. Mereka tiada henti-hentinya meneriakkan yel-yel: USA, USA, USA!
ADVERTISEMENT
Terasa sedang menonton pertandingan sepak bola antara USA dan entah dengan siapa.
Tidak lama kemudian dari salah satu sudut Ground berhenti iring-iringan kendaraan Presiden yang dikawal dengan sangat ketat. Nampak Presiden Bush turun dari mobil dikelilingi oleh pengawal (Secret Service), lalu berjalan masuk kawasan Ground Zero didampingi oleh Walikota, Rudy Giuliani, Police Commissioner Bernard Kerik, dan Kepala Pemadam kebakaran NYC.
Sesampai di dalam Ground Zero, Presiden nampak mencari onggokan bebatuan, lalu menaikinya dan mengajak Kepala pemadam kebakaran naik bersamanya.
Saya ketika itu terus terang ketika lebih banyak bingung. Selain karena ada perasaan bercampur aduk, antara sedih, marah, khawatir, bahkan ada perasaan yang tidak menentu.
Hembusan panasnya api dari bekas-bekas runtuhan gedung juga masih terasa. Bahkan bau amis, entah bau apa, juga masih terasa. Mungkin saja bau jasad korban yang terbakar.
ADVERTISEMENT
Posisi tokoh agama dari Presiden Amerika saat itu sekitar 10-15 meter. Ketika Bush berada di atas onggokan bebatuan itu, semua mata menuju kepadanya.
Orang-orang di sekitar Ground Zero juga tidak henti-hentinya meneriakkan: USA atau Live America! Suara bergemuruh itu seakan menusuk telinga.
Sambil memegang pundak Kepala Pemadam Kebakaran NYC, Bush mulai menyapa semuanya:
“Thank you! I want you to know that America today...” dan seterusnya. Intinya menyampaikan bagaimana Amerika sedang dirundung musibah. Tapi Amerika kuat dan tegar.
Satu kalimat yang keluar dari mulut Bush, yang belakangan menjadi slogan di luas: “We will forgive, but never forget” (kita akan maafkan. Tapi kita tidak akan lupakan).
Lalu apa saja isi pidato Bush di Ground Zero sore itu yang paling penting dan berdampak luas bahkan secara global?
ADVERTISEMENT
Bersambung.....!
Imam Shamsi Ali*
New York, 14 September 2020
* Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
* Presiden Nusantara Foundation