Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
22 Menit: Film Aksi Kisah Nyata Tanpa Konteks
23 Juli 2018 14:14 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★☆☆☆ | Shandy Gasella
Perempatan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, diguncang ledakan bom pada Kamis tanggal 14 Januari 2016 pukul 10.40 WIB. Sejumlah teroris bersenjata meledakkan bom di tempat parkir Menara Cakrawala, di depan gerai Starbucks persimpangan Sarinah, lantas dua ledakan berikutnya terjadi di sebuah pos polisi tepat di persimpangan Sarinah, dan ledakan lainnya terjadi di dalam gerai Starbucks.
ADVERTISEMENT
Film '22 Menit' arahan Eugene Panji ('Cita-citaku Setinggi Tanah', 'Naura & Genk Juara') dan Myrna Paramita ini mencoba mengangkat peristiwa kelam tersebut menjadi suguhan film aksi. Judul '22 Menit' merujuk pada waktu yang relatif singkat, yakni 22 menit yang dibutuhkan jajaran unit antiterorisme dalam meringkus para pelaku teror tersebut.
Film dibuka tepat pada waktu bom meledak di dalam gerai Starbucks. Api berkobar, puing-puing bangunan dan debu bertebaran. Suara mendengung, dan teriakan para korban ledakan terdengar secara off screen. Lantas, di layar kita melihat ada animasi jam digital yang menunjukkan waktu 10:40 lalu bergerak mundur beberapa menit untuk menampilkan sejumlah flashback.
Sebelum ledakan bom itu terjadi, lewat beberapa flashback, kita dikenalkan pada beberapa tokoh yang nantinya bersinggungan langsung dengan peristiwa ledakan bom tersebut.
AKBP Ardi (Ario Bayu, 'Buffalo Boys', 'Pintu Terlarang'), polisi yang juga merupakan anggota unit antiterorisme, sedang menyiapkan sarapan pagi untuk puterinya di rumah dan bersiap mengantarkannya ke sekolah.
ADVERTISEMENT
Anas (Ence Bagus, 'Yowis Ben', 'The Underdogs'), seorang office boy yang kantornya terletak di sekitar Sarinah, pagi itu sarapan dan berbincang bersama sang kakak, Hasan (Fanny Fadillah,'Maling Kutang', 'Asoy Geboy'), dan ibunya di rumah mereka yang sederhana. Anas hendak membantu kakaknya itu untuk menjadi office boy juga di tempatnya bekerja, mengingatkannya untuk menyiapkan berkas-berkas lamaran dan agar datang ke Sarinah pagi itu juga.
Firman (Ade Firman Hakim, 'Bidah Cinta', 'Lima'), seorang polisi lalu lintas yang pada saat peristiwa bom terjadi, tengah bertugas di pos polisi Sarinah yang kemudian menjadi target ledakan bom teroris. Firman sedang galau lantaran hendak dimutasi ke daerah perbatasan Indonesia-Filipina, dan hubungannya dengan sang kekasih sekaligus calon istri terancam bubar.
ADVERTISEMENT
Menarik bagaimana kisah Firman dan sang kekasih ini disampaikan lewat adegan back to back yang menampilkan Firman yang sedang berada di pos lantas di-"bully" rekan-rekannya, dan adegan sang kekasih yang sedang berada di kantornya yang juga sama galaunya, sedang membahas permasalahannya tersebut bersama seorang temannya.
Dialog Firman bersama teman-temannya di pos polisi, dan dialog sang kekaksih bersama temannya di kantor berkelindan. Penulis naskah Husein M Atmodjo dan Gunawan Raharja cukup jeli membangun sekuen tersebut menjadi suguhan yang jenaka, namun, secara keseluruhan, naskah skenario tulisan mereka tidak cukup pantas dan berisi dalam mengangkat kisah nyata peristiwa terorisme di Sarinah tersebut.
Bagaimana kisah film ini bergulir sedikit banyak mengingatkan saya pada film 'Vantage Point' (2008) arahan Pete Travis. Dalam film tersebut, sebuah percobaan pembunuhan terhadap Presiden Amerika diceritakan dan diceritakan kembali secara berulang-ulang lewat flashback dari beberapa perspektif tokoh-tokoh yang berbeda. Lewat cara tersebut, lambat laun kita mengerti siapa, mengapa, dan bagaimana percobaan pembunuhan terhadap presiden itu dapat terjadi.
ADVERTISEMENT
Tetapi tim pembuat film '22 Menit' ini tidak secermat tim pembuat film 'Vantage Point', barangkali perlu kita akui kecerdasan orang bule memang di atas rata-rata kecerdasan bangsa kita. Buktinya, konsep 'Vantage Point' tersebut hanya dipakai dalam film ini sebagai gaya-gayaan editing saja; biar film maju-mundur-maju-mundur, padahal, bila disampaikan secara linear pun, kisah film dan resepsi kita terhadapnya tak bakal berubah.
Kisah Anas dan Hasan hadir untuk memberitahu bahwa ada rakyat kecil yang menjadi korban, kisah AKBP Ardi dan Firman memberitahu bahwa polisi juga manusia biasa yang memiliki keluarga dan kisah asmara layaknya semua orang.
Ada beberapa potongan kisah lain dari beberapa tokoh lain yang signifikansinya terhadap cerita hampir nihil seperti misalnya tokoh-tokoh yang diperankan Ardina Rasti, Ajeng Kartika, hingga Vincent Rompies sebagai penyiar radio yang tampil on screen, padahal kita dengar suaranya saja tak kan menjadi masalah. Dengan hadirnya dia lewat beberapa adegan, saya pikir ia punya kisah tersendiri, dan ternyata tidak.
ADVERTISEMENT
Peristiwa teror bom di Sarinah terjadi lebih dari dua tahun lalu. Pelaku teror, siapa mereka, dan motifnya pun sudah terungkap. Tetapi, film ini sama sekali tidak menampilkan secuil pun motif atau alasan di balik sejumlah orang yang pagi itu datang ke Sarinah lantas menembaki warga sipil dan polisi, juga membom sejumlah tempat untuk menciptakan teror. Ini dosa terbesar yang dilakukan pembuat film dengan tidak menampilkannya.
Sayang sekali bahwa kerja sama yang terjalin antara pembuat film dan pihak kepolisian Republik Indonesia kurang termanfaatkan dengan baik. Informasi seputar para pelaku teror, motif, dan bagaimana mereka beraksi tentu dimiliki pihak kepolisian, beberapa data tersebut bahkan sudah banyak dimuat media massa.
Andai saja penulis naskah film ini mau bekerja lebih baik lagi dan lebih capek lagi mengulik hal tersebut, cerita film barangkali bisa menjadi lebih menarik dan menampilkan kisah yang lebih utuh.
ADVERTISEMENT
Aksi yang dilakukan AKBP Ardi dalam meringkus para pelaku teror yang anonim di film ini terlihat menjadi aksi biasa seperti layaknya peringkusan begal atau perampokan. Padahal semestinya kita mendapatkan kesan yang lebih dari itu. Pada kenyataannya, ini adalah aksi Kepolisian dalam upaya melawan terorisme, yang menurut para pengamat terorisme, berafiliasi langsung dengan ISIS.
Mengapa gerai Starbucks dan pos polisi di Sarinah diledakkan? Mengapa ada warga asing dan anggota polisi yang ditembak oleh pelaku teror? Bila saja pembuat film mau menjawabnya, memberikan kisah dari sisi pelaku teror, misalnya dengan menampilkan mereka yang membenci kepolisian sebagai musuh mereka, juga kebencian terhadap bule lantaran pola pikir para teroris yang menganggap orang barat menentang mereka dan ISIS. Konteks ini absen dalam cerita film.
ADVERTISEMENT
Sayang, kesempatan memfilmkan peristiwa besar dengan dukungan pihak kepolisian yang juga besar, tidak dibarengi dengan tekad yang cukup besar dari pembuat filmnya sendiri; kesempatan membuat film yang dapat dijadikan kapsul waktu terbuang begitu saja. Film ini tidak bisa dijadikan penanda sejarah lantaran kehilangan konteks dari peristiwa yang diangkatnya.