Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mark Ruffalo Memberikan Penampilan Terbaiknya dalam 'I Know This Much Is True'
12 Mei 2020 17:45 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★★☆ | Shandy Gasella
Kemarin (11 Mei 2020) atau 10 Mei waktu Amerika Serikat, HBO menyiarkan episode perdana dari serial pendek terbarunya berjudul ‘I Know This Much is True’, ditulis dan disutradarai Derek Cianfrance, sutradara muda berbakat yang pernah menghasilkan karya seperti ‘Blue Valentine’ dan ‘The Place Beyond the Pines’ yang saya favoritkan. Serial ini bakal bergulir dalam enam episode, dan ditayangkan setiap pekan, tidak dirilis seluruh episode sekaligus seperti yang biasa kita dapati dari Netflix atau platfom streaming sejenis.
ADVERTISEMENT
Di tengah situasi pandemi corona seperti sekarang, manakala banyak orang mesti mengurung diri di rumah, bagi yang mampu, memang ada baiknya berlangganan layanan video on demand, daripada saban hari nonton berita yang isunya seputar corona saja atau rerun sinetron di chanel televisi nasional yang tak berfaedah. Bisa stres kita dibuatnya. Lagipula rata-rata biaya langganan streaming untuk satu bulan setara kok dengan harga dua kali nonton film di bioskop, dan kita dapat pilihan tontonan yang melimpah.
Berdurasi hampir satu jam, episode perdana serial yang diadaptasi dari novel setebal 900 halaman karya Wally Lamb ini, ternyata bikin sedih, hati remuk, ambyar seambyar-ambyarnya. Bagi yang familiar dengan sejumlah karya Derek sebelum ini, hal tersebut mestinya sudah terbaca, tapi tetap saja, rasanya saya tak begitu siap dengan apa yang ia sajikan kali ini.
Berat. Berat bukan dalam arti bahwa ceritanya sulit dipahami, tetapi berat lantaran ceritanya kelam, miris, menyedihkan. Ditambah penampilan Mark Ruffalo (‘Avengers’, ‘Dark Waters’) yang begitu kuat sebagai dua karakter kakak-adik beda penampilan dan perangai, semakin menambah bobot dan atmosfer gelap serial ini terasa sedemikian nyata dan mengganggu.
ADVERTISEMENT
Syahdan di Three Rivers, Connecticut, hidup dua kakak-beradik kembar bernama Dominick dan Thomas (keduanya diperankan Mark Ruffalo lewat gelaran akting terbaiknya). Dominick seorang duda berprofesi sebagai tukang cat rumah, sedangkan Thomas memiliki gangguan mental paranoid schizophrenic. Di awal episode kita berkenalan dengan Thomas duluan. Dia sedang berada di sebuah perpustakaan, lantas kita melihatnya meracau tentang ayat-ayat alkitab, dan tak diduga-duga, ia menghunuskan pisau lalu menyembelih lengannya sendiri... hingga putus! Itu adalah sebuah pengorbanan kepada Tuhan, katanya.
Adegan tersebut ditampilkan di depan efektif memberi kita gagasan tentang separah apa kondisi mental yang diderita Thomas. Dan apa dampaknya bagi Dominick sebagai kakaknya yang berkewajiban untuk menjaganya. Tindakan Thomas memutilasi tangannya sendiri tak berakhir di rumah sakit, tetapi hal itu juga membawanya ke sebuah fasilitas kesehatan yang mirip dengan penjara. Thomas dibawa secara paksa ke sana bak seorang pesakitan, dan Dominick tak berkenan membiarkannya.
Adegan di mana ia mesti melawan para petugas di fasilitas kesehatan tersebut, memohon agar saudaranya dilepaskan agar dikembalikan ke rumah sakit semula, namun ditolak begitu saja, menyaksikannya marah, menangis meraung, membayangkan nasib Thomas yang naas, menyebutnya kasihan atau menyedihkan saja rasanya kurang mewakili apa yang saya rasakan. Pedih tak terperi.
ADVERTISEMENT
Belum lagi Dominick baru saja kehilangan ibundanya akibat kanker. Thomas, karena kondisi mentalnya, tak terlihat begitu terpukul, tetapi bagi Dominick ibunya ialah segalanya, sosok pelindung di masa kecilnya manakala ia sering mendapatkan perlakuan kekerasan baik secara verbal maupun fisik dari ayah tirinya.
“Siapa ayah kandung kami, Bu?” Rengek Dominick pada satu masa kepada ibunya ketika masih sehat wal afiat. Hingga akhir hayatnya, ibunya tak pernah memberi tahunya perihal keberadaan sang ayah yang tak pernah diketahuinya itu. Berlembar-lembar tulisan tangan berbahasa Italia kemudian diserahkan ibunya kepada Dominick sebagai harta warisan peninggalannya. “Ini tulisan kakekmu.” Ibunya berkata lewat napasnya yang tersengal.
Tulisan itu kemudian dibawa Dominick ke seorang penerjemah, yang kemudian setelah menerima naskah tulisan kakeknya tersebut, menghilang entah ke mana membawa serta tulisan kakeknya. Kejadian-kejadian sial bertubi-tubi menimpa Dominick. Dan Derek Cianfrance tak menggambarkan karakternya sebagai sosok yang ‘likeable’ seperti yang lumrah kita jumpai pada sosok seorang karakter utama.
ADVERTISEMENT
Setiap peristiwa, dan ini baru episode pertama, yang menimpa Dominick, kita dapat melihat betapa tak berdaya dirinya. Sungguh kasihan. Pedih, melebihi pedihnya drama-drama Korea yang sekarang lagi ngehits.
Dan begitulah Derek Cianfrance yang piawai bercerita tentang kepedihan, lewat bantuan penata kamera Jody Lee Lipes ('Manchester by the Sea', 'Extremely Loud & Incredibly Close'), situasi muram hadir lewat palet warna abu-abu (kadang abu kebiruan), dan shot-shot extreme close up yang menghadirkan rasa pengap, seolah ingin agar kita selalu tercekat, juga biar kita tak memerhatikan keadaan sekeliling selain para ensambel pemain yang hampir semuanya bermain baik, terutama tentu saja Mark Ruffalo.
Barangkali banyak yang belum tahu, termasuk saya sendiri yang baru mengetahui fakta ini, ialah Scott Ruffalo, adik kandung Mark Ruffalo di kehidupan nyata, tewas terbunuh di bulan Desember pada tahun 2008. Hingga kini tak pernah terungkap siapa yang membunuhnya. Tak terbayangkan bagaimana rasanya kehilangan saudara sendiri yang kita cintai, tak terbayangkan bagaimana Mark Ruffalo menghadapi tragedi tersebut.
ADVERTISEMENT
Apakah hal tersebut mempengaruhi Mark dalam berperan sebagai Dominick dan Thomas, saya tak tahu pasti, tetapi saya merasakan nuansa bahwa tragedi itu nampaknya membawa bobot tersendiri pada penampilannya, yang bahkan kata ‘luar biasa’ saja belum cukup untuk menggambarkannya. Situasi ketidakberdayaannya untuk selalu menjaga dan melindungi sang adik, dan bagaimana ia memperlihatkannya, misalnya lewat adegan ketika Thomas dibawa paksa ke fasilitas, menembus sekat realitas. Saya turut merasakan kepedihannya.
'I Know This Much Is True' bukan sebuah tontonan yang mudah, bukan sejenis tontonan yang saya senang untuk merekomendasikannya. Tetapi, sekelam apa pun kisah yang hendak disampaikan serial pendek ini, bila ditulis sebaik dan sesensitif ini, pada waktunya -- dan saya harapkan pada episode pamuncak, kita mendapatkan katarsis yang setimpal, sesuatu yang dapat mengisi batin kita. Dan saya percaya sutradara sudah menyiapkannya untuk kita.
ADVERTISEMENT