Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Orang Kaya Baru: Film Seru-seruan, Realita Gak Karuan
29 Januari 2019 16:41 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★1/2☆☆☆ | Shandy Gasella
Ody C Harahap adalah seorang dari sedikit sineas tanah air yang konsisten berkarya dan bermain di genre drama/komedi dan romance dengan konsisten pula untuk, setidak-tidaknya, berusaha menjaga mutu setiap film yang ditanganinya — pernah gagal untuk Forever Holiday in Bali dan Siap Gan! (Keduanya rilis 2018) setelah Sweet 20 (2017), dan Kapan Kawin? (2015) yang ia sutradarai dengan begitu asyik dan bermutu.
ADVERTISEMENT
Sebagai sutradara dengan filmografi 15 judul sejak debutnya lewat Bangsal 13 di tahun 2004, Ody tak pernah mengambil jalan “auteur”. Maka, dari satu film ke film lain yang ia tangani nyaris tak ada gaya atau ciri tertentu yang ia miliki yang sepatutnya dengan mudah dapat kita kenali baik secara visual maupun tema cerita yang diangkat.
Seolah-olah karyanya selalu berangkat dari pertemuannya dengan naskah skenario — bisa tulisan siapa saja — yang dianggapnya cukup baik maka jadilah. Itu pula saya rasa yang melatarbelakangi pembuatan film Orang Kaya Baru ini.
Ditulis Joko Anwar, salah seorang penulis/sutradara terbaik tanah air, yang ketika memiliki naskah skenario namun dirasa tak cocok untuk ia sutradarai maka ia berikanlah kepada orang lain seperti yang sudah-sudah seperti Arisan! (Nia Dinata, 2003), Quickie Express (Dimas Djayadiningrat, 2007), Jakarta Undercover (Lance Mengong, 2007), Fiksi (Mouly Surya, 2008), dan Stip & Pensil (Ardy Ocatvaind, 2017).
ADVERTISEMENT
Judul terakhir secara kualitas penulisan berada di bawah standar Joko — katakanlah ada standar semacam itu — sebab dari semua karya yang ia tulis dan beberapa sekaligus ia sutradarai sendiri, standar itu memang ada, dan tak ada yang kualitasnya yang menyerupai Stip & Pensil. Lantas bagaimana dengan Orang Kaya Baru, film dengan naskah tulisan Joko yang diarahkan Ody ini?
Syahdan ada satu keluarga miskin — sebenarnya tidak miskin-miskin amat, cukuplah, menempati sebuah rumah yang terletak di dalam gang sempit di Jakarta. Lukman Sardi menjadi bapak bernama Hikmat Wardana, kepala keluarga yang bijaksana, dan dicintai istri dan ketiga anaknya. Cut Mini menjadi Ibu, istri Bapak yang, yang, yang bawel, ibu-ibu bangetlah pokoknya.
ADVERTISEMENT
Derby Romero (si Sadam dari Petualangan Sherina) menjadi Duta, anak tertua, seorang sutradara teater yang tengah berjuang meniti kariernya. Raline Shah menjadi Tika, anak tengah, seorang mahasiswi yang, yang, yang begitulah, mahasiswi pada umumnya, cuma selain cantiknya yang gak umum, konon dia juga pintar. Fatih Unru menjadi Dodi, anak bungsu, murid SMP yang baik hati.
Dikisahkan Tika kemana-mana sering naik metro mini, iya, walaupun sudah ada ojek online yang sering ngasih diskon hingga 70% tapi ia lebih memilih naik metro mini untuk ke kampus — untuk memberi gagasan kepada penonton bahwa hidupnya memang sesusah itu.
Belum lagi di kampus ia disirikin oleh dua orang cewek dengan sifat tercela, anak party Jakarta — sebut saja mereka Duo Serigala, saya lupa nama karakter mereka. Nah, Tika juga punya dua sahabat yang memiliki sifat kebalikannya dari Duo Serigala, anak rumahan yang rajin belajar dan cupu. Kurang klise apa lagi.
Sementara itu, Duta tengah sibuk mempersiapkan pentas panggung yang disutradarainya, mencari-cari sponsor sendirian kesana-kemari. Dia punya dua teman cowok, yang satu Arab kribo, satu lagi barangkali anak Citayam yang ngekos di Jakarta, yang setiap kali mereka muncul, adegannya cuma mereka berdiri di atas panggung latihan sambil ngomongin soal perlunya Duta segera ngasih duit untuk bayar honor dan biaya-biaya keperluan pentas. Sedekat apa mereka sebagai sahabat, tak tergambarkan dengan cukup gamblang.
Dodi di sekolah sering diplonco oleh temannya, entah untuk alasan apa, padahal ia gak ganteng, dan orangnya cukup asyik, gak kayak Rangga di AADC? Yang memang pantes buat digebukin rame-rame. Tapi, Dodi yang bertubuh gempal, bersikap biasa-biasa saja di sekolah, diplonco oleh teman sekelasnya sendiri, belum lagi keadaan ekonominya yang memprihatinkan; sol sepatunya lepas, kaos kaki bolong, kasihan sekali, kisahnya dibuat demikian semata-mata agar penonton ikut prihatin atas nasib yang menimpanya.
Di rumah, ketika semua berkumpul pas makan malam bareng di meja makan, keadaan menjadi lebih baik. Bapak ngasih wejangan soal kehidupan, Ibu tersenyum menebar aura kasih sayangnya, dan anak-anak gembira saling melempar gurau. Inilah pesan yang ingin diberikan kepada penonton, bahwa makan malam itu mesti ngumpul, percuma kaya raya tapi gak pernah ngumpul.
ADVERTISEMENT
Hingga kemudian Tika mendapati Bapak yang tengah duduk di kursi teras sudah tak bernyawa lagi. Tetapi, kita sempat melihat Bapak masih bernapas dengan perutnya yang masih kembang-kempis dalam sebuah master shot, padahal ceritanya sudah meninggal, di sini Lukman kurang total dan Ody kurang cermat — untuk tak menyebutnya gampang puas, padahal satu kali take lagi adegan tersebut bakal tampil oke. Tapi, ya sudahlah, Bapak pun dikuburkan.
Nah, di kuburan Tika ketemu Banyu (Refal Hady), cowok ganteng dengan badan atletis kayak anak gym, tetapi Banyu bukan orang menengah atau kaya, dia yang gali kuburan, dia juga yang sempat jadi pelayan di sebuah resepsi nikahan yang sempat Tika datangi sebelumnya di awal film. Di adegan berikutnya Banyu bakal jadi waiter sebuah kedai kopi, lantas jadi tukang bersihin kaca jendela gedung-gedung pencakar langit, jadi apa-aja-lah-yang-penting-halal — tapi gak jadi model. Singkat cerita, mereka pun pacaran.
ADVERTISEMENT
Sepeninggal Bapak, datanglah seorang pengacara (diperankan Verdi Solaiman). Ia menujukkan rekaman-video-bila-kau-melihat-video-ini-berarti-saya-sudah-mati-ala-di-film-Hollywood yang memperlihatkan Bapak berbicara dengan gaya ngocol seolah-olah masih hidup, menyapa Ibu, Duta, Tika, dan Dodi.
Intinya, Bapak ngasih warisan. Tanpa sepengetahuan istri dan anak-anaknya, Bapak selama ini ternyata pengusaha sukses dengan tabungan miliaran tersimpan di bank. Bapak selama puluhan tahun ternyata pura-pura miskin, ingin keluarganya hidup merih, merasakan kesusahan supaya, katanya, dapat lebih menghargai uang. Masuk akal atau tidak, namun begitulah ceritanya. Terima saja toh Anda sudah kepalang beli tiket kan.
Dan, sesungguhnya, apa pun (cerita film) bisa masuk akal, asal argumentasinya kuat. Perlu justifikasi — pembenaran, alasan yang membuat suatu tindakan menjadi wajar atau benar, yang sayangnya sulit ditemukan di film ini. Termasuk alasan Bapak berbuat demikian tak terjelaskan dengan cukup wajar. Tetapi, berkat pesona Lukman Sardi yang ngocol namun bijaksana sebagai Bapak, akhirnya saya gak peduli-peduli amat, dan memutuskan untuk melihat ada-apa-lagi-nih?
Diberi uang miliaran rupiah, mereka beli rumah mewah seharga Rp 8 miliar. Ibu beli banyak perhiasan, semua beli Mini Cooper masing-masing, Tika beli gadget, Dodi beli sepatu mahal buat ke sekolah, Duta beli apa ya lupa. Mereka lantas jalan-jalan beli perabotan rumah. Seluruh rangkaian adegan ini dibuat dengan gaya norak dan selebay-lebaynya, seperti film Benyamin S zaman dulu yang ceritanya dia orang miskin terus kaya mendadak.
ADVERTISEMENT
Nah, karakter-karakter di film ini juga, walau pun sudah lama tinggal di ibukota, entah atas nama pembenaran apa, tingkahnya udik dan masa-sih-senorak-itu? Barangkali pembenaran yang paling masuk akal yang dimiliki pembuat film adalah, kalau gak dibuat demikian ya gak seru lah.
Selama keluarga ini menjadi orang kaya, sebetulnya tak ada cerita berarti, hanya kumpulan sketsa-sketsa kekonyolan menjadi orang kaya baru yang digambarkan sesuai imajinasi pembuat film, yang luar biasa sinetronis. Bahasa gambar film ini pun sinetronis — tetapi wajarlah toh Ody juga bukan pembuat film yang memiliki atensi lebih terhadap sinematografi seperti yang bisa kita lihat lewat film-filmnya sebelum ini.
Tetapi skenario bikinan Joko yang amat saya antisipasi, dan saya prediksi bakal cemerlang — seperti yang sudah-sudah, sama sinetronisnya. Misalnya adegan pengenalan Banyu yang didasari pada kebetulan belaka, dan adegan Banyu jemput Tika di kampus lantas mereka berdua dengan sengaja naik platform yang biasa dipakai tukang cat atau bersih-bersih kaca gedung untuk mesra-mesraan di ketinggian, itu sama konyolnya dengan adegan di film atau sinetron apa pun di mana cowok jemput pacarnya lantas ujug-ujug mereka ada di sebuah danau yang indah di sebuah kaki gunung — hanya sekadar supaya si tokoh cowok bisa berdialog, “Kamu cantik deh.”
Lagi pula secara keseluruhan jalan cerita, karakter Banyu tidak signifikan amat. Akan lebih berfaedah jika, misalnya, pembuat film lebih fokus membangun cerita dan konflik antara Tika dan dua sahabatnya yang kutu buku itu — yang terus terang tak jelas juga sedekat apa mereka di film ini, kita hanya melihat permukaan saja; mereka temenan, Tika jadi OKB lantas tak punya waktu buat mereka, Tika menjadi dekat dengan Duo Serigala, temannya ngambek, lalu di pengujung film tanpa tedeng aling mereka akur lagi.
ADVERTISEMENT
Sejak jadi OKB mereka gak pernah ngumpul untuk makan malam bersama lagi. Dodi yang paling terpukul akan kenyataan tersebut. Sebuah pesan atau kritik yang sebetulnya cukup kuat untuk menohok — katakanlah para orang kaya yang gak pernah punya waktu untuk bercengkerama, tetapi sayangnya tak dibarengi justifikasi apa-apa. Lagi pula, apakah keutuhan sebuah keluarga itu ditakar dari bagaimana cara mereka makan malam?
Makan malam bersama atau tidak, keluarga ini tak pernah digambarkan berselisih, hampir tak ada konflik berarti. Dodi seru-seru aja pulang sekolah dijemput Ibu, lantas di tengah jalan mereka bagi-bagi uang ke pengamen. Tika baik-baik saja dengan proyek tugas kuliahnya, Duta juga sukses menggelar pentas — walau kita tak pernah diberi tahu proses kreatifnya atau cerita panggungnya tentang apa, pada intinya mereka baik-baik saja.
Maka, saya tak memahami pada satu momen dalam film ketika Dodi setengah meratap berujar, “Percuma punya rumah besar, tapi kosong!” Toh, kenyataannya, miskin atau kaya atau setengah kaya atau setengah miskin atau gak miskin-miskin amat, pada satu waktu ketika anggota keluarga punya kesibukan di luar rumah, tentu saja rumah bakal kosong, kecuali kekosongan yang dimaksud memiliki makna yang berhubungan dengan keadaan psikologis, misalnya rengganggnya hubungan antar anggota keluarga, tetapi bukan itu yang terjadi pada keluarga ini. Uang tidak sampai menghancurkan mereka sebagai karakter — bila tokoh-tokoh di film ini memiliki karakter, eh punya karakter enggak sih mereka?
ADVERTISEMENT
Tadinya saya gak peduli-peduli amat dan mencoba menikmati saja sajian yang ada, tapi makin ke belakang kok makin memprihatinkan. Sebagai suguhan komedi, secara parsial, perlu diakui bahwa beberapa leluconnya memang dapat dinikmati ala carte. Tetapi, kalau cuma untuk sekadar menikmati komedi tok, kan tak perlu lewat medium film.
Film komedi, apalagi campuran drama seperti film ini, mestinya dapat menciptakan gelaran komedi yang menyatu secara organis dengan plot cerita, diisi karakter-karakter yang multidimensi — sayang lho aktor-aktrisnya sudah bermain bagus tapi karakter tokohnya sendiri setipis kartu ATM, dan di atas semua itu; reka percaya yang meyakinkan.
Film ini miskin akan hal itu. Hanya mau seru-seruan aja. Horeeee. Film selesai, tak ada yang dapat saya bawa pulang ke rumah, kecuali martabak coklat-keju yang sempat saya beli di tengah jalan. Itu pun saya makan sendiri, sebab pas sampai di rumah anak dan istri sudah bobo. Kami tak sempat makan malam bersama. Eh, jadi curhat.
ADVERTISEMENT