Konten dari Pengguna

Review 'Mangkujiwo': Film Horor yang Menimbulkan Ketidaknyamanan

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
4 Februari 2020 15:16 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★★☆ | Shandy Gasella
Poster film 'Mangkujiwo' | Dok. MVP Pictures
zoom-in-whitePerbesar
Poster film 'Mangkujiwo' | Dok. MVP Pictures
Kisah kuntilanak tak pernah ada habisnya dikulik dalam film-film horor kita. Tak terhitung (coba saja hitung sendiri kalau tidak ada kerjaan) sudah berapa banyak film yang mengisahkan sesosok hantu gentayangan yang dipercaya berasal dari perempuan hamil yang mati penasaran tersebut.
ADVERTISEMENT
Lantas apa yang membuat ‘Mangkujiwo’, film terbaru garapan Azhar Kinoi Lubis (‘Kafir’, ‘Ikut Aku ke Neraka’) ini istimewa atau berbeda dari yang sudah-sudah?
Film ini istimewa lantaran cerita ditulis oleh Dirmawan Hatta, salah seorang sineas yang paling saya perhitungkan di jagat perfilman nasional, namanya memang belum mentereng, tetapi sejumlah filmografinya seperti ‘King’ (2009), ‘The Mirror Never Lies’ (2011), ‘Toilet Blues’ (2013), ‘Optatissimus’ (2013), ‘Bulan di Atas Kuburan’ (2015), dan ‘Another Trip to the Moon’ (2015) telah membuktikan kemampuannya sebagai seorang pencerita yang azmat.
Ia belum pernah menulis cerita horor, tetapi pada dasarnya, setiap film yang skenarionya ia tulis sejauh ini, selalu kaya akan detail pada plot yang dinamis, karakter-karakter yang ajeg dengan fondasi latar belakang yang kuat, serta dialog-dialog yang — ah, saya sebetulnya tak suka menyebutkan istilah ini tetapi apa boleh buat, memang mesti saya sebutkan; dialognya bernas! Dan bernas itu berarti lebih dari sekadar cerdas atau sok-sok cerdas, tetapi setiap ujaran yang diutarakan karakter dalam film dapat kita percayai memang seperti demikian itu mestinya si karakter itu berbicara.
ADVERTISEMENT
Bahkan sebelum syuting pun, film ini sudah mendapatkan garansi bahwa setidak-tidaknya, urusan cerita sudah aman. Tinggal bagaimana sutradara mengeksekusinya saja.
Adegan film 'Mangkujiwo' | Dok. MVP Pictures
Nah, sejak menggarap ‘Kafir: Bersekutu dengan Setan’ (2018), Azhar “Kinoy” Lubis dengan sederet karya-karyanya sebelum itu yang tak pernah saya reken, pada akhirnya dan entah bagaimana, berhasil menunjukkan talentanya sebagai sutradara film yang layak diperhitungkan. Jika Anda sempat menonton ‘Blusukan Jakarta’ (2016) lantas lompat menonton ‘Kafir’, Anda bakal mengira bahwa kedua film tersebut seolah dibuat oleh dua orang yang berbeda, yang satu amatiran, satunya lagi pro kelas maestro di bidangnya.
Lewat ‘Mangkujiwo’, Kinoy kembali membuktikan bahwa kesalahan di masa lalunya dapat ia tebus. Itu yang ia lakukan, terus memperbaiki dan mengasah kepiawaiannya dalam mengarahkan film. Ba’da ‘Kafir’ dan ‘Ikut Aku ke Neraka’ (2019), kini Kinoy sedang menelusuri jalan yang benar.
ADVERTISEMENT
Syahdan seorang wanita bernama Kanti (Asmara Abigail--yang semakin bersinar), mantan ronggeng, dipasung dan disekap di dalam kandang sapi oleh Ki Lurah (Landung Simatupang--yang berperan singkat nan memikat). Ada alasan gelap di balik pemasungan Kanti, begitu pun ketika Brotoseno (Sujiwo Tejo, ‘Gundala’, ‘Kafir’), lelaki tua misterius, kemudian datang menjemput Kanti dan menempatkannya di sebuah rumah lain untuk kembali dipasung. Dan, Brotoseno memiliki motif yang jauh lebih gelap nan 'jahat'.
Misteri tentang siapa Kanti, mengapa ada orang-orang yang memperlakukannya demikian, diungkap secara perlahan, lapis demi lapis, lewat plot yang menawarkan drama politik penuh intrik yang sangat 'Jawa', dan beruntunglah film ini diisi jajaran pemain seperti Sujiwo Tejo, Djenar Maesa Ayu, Roy Marten, dan Asmara Abigail yang bermain bagus-bagusnya.
ADVERTISEMENT
Duet Sujiwo Tejo dan Djenar Maesa Ayu di pengujung film menjadi salah satu bagian terbaik film ini. Keduanya seringkali tampil sebagai pemain pendukung, tetapi di sini mereka lah bintangnya. Apalah arti seorang aktor hebat bila ia tak mendapatkan karakter yang ditulis dengan baik, ya kan?
Dengan penulisan skenario yang lebih fokus pada pembangunan dan perkembangan karakter-karakternya, juga cerita yang bukan sekadar tentang seorang perempuan yang hamil lalu terbunuh lantas menjadi setan gentayangan, film memang jadi terasa berat, mengalun dengan lambat. Untung saja, secara teknis sinematografi di bawah arahan Roy Lolang (‘Toba Dreams’, ‘Quickie Express’), film ini memanjakan mata dengan pergerakan kamera yang tak hanya dinamis, tetapi setiap frame-nya seakan dihasilkan lewat perhitungan-perhitungan estetika yang matang. Kalau kata moviegoer zaman sekarang, film ini sinematis banget.
ADVERTISEMENT
Departemen musik juga layak dipuji lantaran baru kali ini, seingat saya yang lupaan ini, ada film horor non-indie yang musiknya tidak asal bunyi, apalagi asal berisik dan ngagetin.
Dalam menciptakan atmosfer drama misteri yang memikat ini, hampir semua departemen cast dan kru saling melengkapi. Bila ada cacatnya, itu pun tak sampai gawat amat, yakni penampilan Yasamin Jasem (‘Keluarga Cemara’, ‘Bangkit!’) sebagai Uma yang terasa miss cast. Saya percaya ia aktris yang punya potensi, tetapi bukan untuk perannya di film ini sebagai gadis desa pedalaman yang semestinya tidak tampil seperti yang ia tampilkan dalam film.
Mangkujiwo’ menjadi salah satu film horor, atau saya lebih suka menyebutnya sebagai drama garis miring misteri garis miring slasher favorit saya tahun ini, untuk beberapa alasan, misalnya dalam sebuah adegan yang menampilkan Kanti tengah hamil besar dan ia didatangi makhluk-makhluk gaib, bagaimana sutradara Kinoy menampakkan makhluk-makhluk tersebut membawa nostalgia ke era film-film horor circa 70-80an.
ADVERTISEMENT
Makhluk-makhluk yang tampil tersebut tak seperti hasil olahan grafis komputer, tetapi tampak praktikal, dan binatang-binatang menjijikkan di film ini pun tampak begitu meyakinkan, dan saya percaya banyak binatang betulan yang dipakai seperti pada adegan tikus yang disembelih Brotoseno misalnya. Itu gila, dan betul-betul membuat mual. Sebuah horor berhasil ketika kita dapat dibuat merasakan ketidaknyamanan sekaligus excitement.
Adegan kemunculan Kanti di rumah Cokrokusumo (Roy Marten--dalam peran yang penting setelah seringkali kebagian peran remeh selama tiga puluh tahun terakhir ini), di rumah itu saat anak-anak buahnya menggila, saya tepuk tangan menyaksikan episode 'manusia ketemu setan' yang ditampilkan seedan itu.
Film horor atau genre apa pun dengan naskah skenario yang ditulis baik seperti ini, juga didukung kru dan cast yang mumpuni, menjadi alasan mengapa saya tak pernah kehilangan harapan atas sinema Indonesia kiwari. Semakin ke sini semakin banyak bakat-bakat baik bermunculan.
ADVERTISEMENT